Bagi jiwa anak kecil, batas duka dan suka itu setipis helai rambut dibelah tujuh. Lebih tipis dari membran, sehingga jiwa bisa rembes bolak-balik dalam sekejap.
Sekurangnya, itu berlaku pada Poltak. Dari duka karena kematian kakeknya, jiwanya kini sudah berenang di telaga suka. Â
Kemarahan kepada Binsar dan Bistok udah pupus. Beruntung kedua karibnya itu  tempo hari gesit mengelak dan kabur, sehingga kepala mereka luput dari sambaran batang daun nira yang ditebaskan Poltak. Lantaran kematian kakek Poltak mereka jadikan guyonan.
Sebenarnya, kalau Poltak mau, dia waktu itu bisa melampiaskan amuknya mementungi kedua sobatnya itu. Sebab Binsar sudah jatuh berguling-guling di lereng bukit Partalinsiran. Sementara Bistok, si kaki tampah itu, kepayahan berlari turun, selayaknya seekor bebek lari turun gunung. Demi melihat kondisi kedua temannya itu, terbitlah belas kasih Poltak, lalu pupuslah amarahnya.
"Ei, Jonder! Berta! Kenapa ribut!" Guru Marihot membentak.
"Jonder, Gurunami. Kurang ajar dia!" jawab Berta sewot. Wajahnya merah padam.
"Kenapa kau Jonder!" Suara Guru Marohot menggelegar. Jonder tertunduk, pantatnya gosek-gosek di bangku, salah tingkah.
"Tadi Jonder intip kolor Berta pakai kerrok, Gurunami." Tiur menjawab. Berta membenamkan wajahnya di atas meja. Marah, malu.
"Jonder!" Poltak berbisik membentak Jonder, sambil melotot.
Sambil tetap menunduk, Jonder menoleh ke arah Poltak. "Merah," bisiknya.Â
"Aku tak tanya warnanya. Â Bodat kau!" Poltak mengacungkan tinjunya.