Menjadi Batak itu tidak mudah. Â Bukan soal adat dan istiadatnya. Â Bukan. Â Tapi soal tampangnya. Â
Tampang orang Batak rupanya sudah punya pola  di benak khalayak.  Rahang persegi, jidat lebar, mata bersorot tajam, kulit sawo matang agak kasar.  Itu pola umum.  Lain dari itu, kebatakannya diragukan.
Itulah yang terjadi pada Poltak. Â Kerap diragukan kebatakannya. Â Gara-gara tampangnya tidak meyakinkan.
Saat pertama kali masuk asrama mahasiswa di satu kota di Jabodetabek tahun 1980, penghuni asrama terheran-heran melihatnya. Â Seorang penghuni senior yang sangat ingin tahu kemudian bertanya setengah menduga, "Kamu Cina Medan, ya."Â
 "Tidak, Kakak.  Aku orang Medan.  Asli Batak," jawab Poltak lugu. Â
"Bah! Tak ada tampang Batak kau kulihat," tukas Sang Senior yang rupanya asli Silimbat, Toba.
Teman-teman seasrama berpikir Poltak itu orang Cina karena, kata mereka, tampaknya mirip aktor kungfu Wang Tao.  Tapi ada juga yang bilang mirip atlet bulutangkis Han Jian. Entahlah, Poltak sendiri merasa tampangnya  mirip Han Sa Plast. Pasaran.
Lain waktu, dalam suatu kebaktian ekumene mahasiswa, kenalan-kenalan barunya tak seorang pun yang yakin Poltak itu Batak. "Paling tidak, kau itu orang Menado," kata salah seorang kenalan barunya memaksa. Â Lha, jelas-jelas Batak kok ya dipaksa mengaku Menado, sih.
"Orang-orang ini kurang piknik rupanya," bathin Poltak. Â Tampang Batak itu tidak selalu ditandai rahang persegi, jidat lebar, dan kulit sawo matang. Banyak juga orang Batak yang berwajah bulat atau oval dengan kulit kuning atau hitam manis.
Derita diragukan kebatakannya seolah berkelanjutan. Â Sewaktu mengadakan riset ekonomi di Balige, Poltak mewawancarai sejarah rantau sejumlah warga etnis Cina yang mengusahakan toko di sana. Â
"Leluhur kami orang Hokkian dari Fujian,"  salah seorang pengusaha yang menjadi responden menjelaskan asal-usulnya.  Lalu bertanya balik, "Kalau, koko  leluhurnya dari mana?"  Â