Tapi sebenarnya ada gejala hipokrisi di sini.  Dalam struktur Dalihan Natolu, setiap orang (laki-laki) memiliki tiga  status/peran hulahula (pemberi isteri), dongantubu (kerabat semarga), dan boru (penerima isteri) sekaligus.  Jika dia tidak memiliki anak perempuan, maka dia tidak akan pernah menjadi hulahula (pemberi isteri), status terhormat dalam masyarakat adat Batak. Artinya, dia tidak akan pernah bisa menjadi mataniari, matahari, sumber berkah.  Selamanya hanya menjadi dongantubu dan boru.  Â
Status semacam itu menjadi cacat sosial juga jika berbicara tentang nilai keberhasilan orang Batak yaitu hamoraon (kaya), hagabeon (berketurunan), dan hasangapon (mulia).  Sebab jika bicara kemuliaan, maka lazim menunjuk pada anak laki-laki dan anak  perempuan yang sukses dalam hidupnya.Â
Terlebih dalam masyarakat Batak ada pepatah "durung do boru tomburan hulahula", boru adalah tangguk sedangkan hulahula adalah pinggan sajian ikan. Â Artinya, anak perempuan sebenarnya adalah sumber perhatian, cinta kasih, bagi orangtua.
Karena itu sering seseorang yang takpunya anak perempuan mangapian, iri hati, saat menyaksikan orang lain yang mendapat perhatian dan kasih sayang dari  borunya.  Jika hulahula memerlukan bantuan, maka lazimnya borulah yang selalu menyiapkan diri untuk membantu.  Bukan anak laki-lakinya.
Gejala hipokrisi terjadi di situ karena di satu sisi orangtua tidak mewariskan harta benda (modal) kepada anak perempuannya, tetapi di sisi lain berharap perhatian, kasih sayang, dan bantuan dari anak perempuannya itu. Â Orang Batak berharap anak perempuannya menjadi kaya, tapi tidak dibekali dengan modal yang memadai. Â
Beruntung sekarang ini perempuan Batak mendapat kesempatan pendidikan yang kurang-lebih setara dengan anak laki-laki. Â Kalau dulu, anak laki-laki selalu didahulukan.
Begitulah. Â Perempuan Batak sejatinya tidak mengalami masalah "hilang marga". Â Masalah utama mereka adalah ketakadilan gender, marginalisasi sosial dalam konteks masyarakat hukum adat, yang membuat perempuan Batak tidak memiliki kuasa politis dalam masyarakatnya, kendati mungkin memiliki kekuasaan ekonomis, karena kegigihannya mencari nafkah. Â
Masalah ketakadilan gender dan marginalisasi sosial itulah yang mestinya diangkat ke permukaan, dan dicarikan solusinya secara bersama-sama. Sebab pesan perempuan kepada dunia hanya akan mencapai sasaran, seperti halnya pesan laki-laki, jika dan hanya jika prasyarat kesetaraan gender terpenuhi.(*)