Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Batak: Bukan Soal Hilang Marga tapi Ketakadilan Gender

2 Desember 2020   14:02 Diperbarui: 3 Desember 2020   08:55 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan Batak (Foto: sopo-toba.blogspot.com)

Marga perempuan Batak tak akan hilang, seperti juga marga lelaki Batak tidak akan hilang. Selama dia keturunan etnis Batak asli, dalam arti masuk dalam garis silsilah keluarga, maka suatu marga tetap akan melekat padanya, tak perduli apapun gendernya.  Itu prinsip penyematan marga pada individu Batak.

Karena itu, frasa "marga perempuan Batak tidak hilang" pada artikel rekan Gurgur Manurung agaknya kurang pas (lihat "Marga Perempuan Batak Tidak Hilang dan Makna Pesan bagi Dunia," K. 2.12.20).  Marga perempuan Batak hanya lesap pada marga suaminya, sebagai konsekuensi logis bekerjanya struktur patriarki (yang patrineal) dalam masyarakat Batak. 

Arti lesap di situ, dalam konteks adat Batak, perempuan itu setelah menikahakan mengenakan marga suaminya dulu baru marga asalnya.  Misalnya, Riama Manurung yang menikah dengan Poltak Tambunan akan menuliskan namanya, dalam hal ini nama adat,  sebagai Riama Tambunan br Manurung (br., boru).  Tapi nama formalnya dalam dokumen kependudukan, pendidikan, gereja dan lain-lain tetaplah tertulis Riama Manurung.

Dalam masyarakat Batak yang patrilineal, memang laki-lakilah, bukan perempuan, yang menjadi pembawa atau penerus garis marga.  Tapi tidak menjadi penerus marga tak berarti bahwa perempuan menjadi kehilangan marganya. 

Jadi masalahnya bukan soal kehilangan marga, melainkan apakah menjadi penerus marga atau bukan.  Bagi laki-laki, jika tidak memiliki keturunan anak perempuan, soal ini menjadi masalah.  Sebab tanpa anak laki-laki, marga leluhurnya akan terputus pada dirinya, dalam arti tak diteruskan kepada generasi berikutnya. 

Artinya, kontribusi laki-laki itu terhadap kelestarian marga dinilai nol.  Banyak yang menganggap soal seperti ini sebagai cacat sosial, sehingga memaksakan diri untuk menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki.

Persoalan mendasar perempuan Batak bukan soal marga yang lesap, melainkan status marginalnya dalam konteks masyarakat hukum adat Batak. Sejak dari unit huta, kampung, perempuan tidak punya hak atas golat, tanah adat kampung.  Hak atas tanah sepenuhnya berada pada laki-laki, penerus marga, yang disebut sebagai marga raja huta. 

Perempuan yang menikah, jika diterima tinggal di kampung itu, maka disebut sebagai marga boru atau marga penumpang.  Pengecualian terjadi pada marga boru huta yang diberikan suatu wilayah tanah untuk membuka kampung sendiri.

Adat pertanahan pada unit huta itu kemudian diterapkan juga pada unit keluarga.  Anak perempuan tidak memiliki hak waris atas tanah orangtuanya.  Jika dia mendapatkan sebidang tanah setelah menikah, maka itu lazimnya adalah hauma pauseang, sebidang sawah yang dihadiahkan ayahnya sebagai ulos na so ra buruk, kain yang tak kunjung lapuk, sehingga anak perempuan itu memiliki nilai sosial tinggi dalam keluarga suaminya.

Di kemudian hari, jika sudah memiliki keturunan, anak perempuan itu bisa pula datang meminta tambahan tanah (sawah) kepada orangtuanya, dalam hal ini telah menjadi hulahulanya.  Karena hulahula (pemberi isteri) adalah sumber berkah untuk boru (penerima isteri), permohonan semacam itu lazim dipenuhi, sepanjang masih ada tanah dan dimohonkan secara adat.  Tentu dengan persetujuan saudara-saudara laki-lakinya pula.

Dalam masyarakat adat Batak, anak laki-laki memang dianggap sebagai sijujung goar,  penjunjung atau orang yang meninggikan nama keluarga.  Itu konsekuensi dari status sosialnya sebagai penerus marga dan pewaris harta benda orangtuanya. Maksudnya, sudah diberi warisan harta benda, maka dia wajib meninggikan martabat keluarganya.

Tapi sebenarnya ada gejala hipokrisi di sini.  Dalam struktur Dalihan Natolu, setiap orang (laki-laki) memiliki tiga  status/peran hulahula (pemberi isteri), dongantubu (kerabat semarga), dan boru (penerima isteri) sekaligus.  Jika dia tidak memiliki anak perempuan, maka dia tidak akan pernah menjadi hulahula (pemberi isteri), status terhormat dalam masyarakat adat Batak.  Artinya, dia tidak akan pernah bisa menjadi mataniari, matahari, sumber berkah.  Selamanya hanya menjadi dongantubu dan boru.   

Status semacam itu menjadi cacat sosial juga jika berbicara tentang nilai keberhasilan orang Batak yaitu hamoraon (kaya), hagabeon (berketurunan), dan hasangapon (mulia).  Sebab jika bicara kemuliaan, maka lazim menunjuk pada anak laki-laki dan anak  perempuan yang sukses dalam hidupnya. 

Terlebih dalam masyarakat Batak ada pepatah "durung do boru tomburan hulahula", boru adalah tangguk sedangkan hulahula adalah pinggan sajian ikan.  Artinya, anak perempuan sebenarnya adalah sumber perhatian, cinta kasih, bagi orangtua.

Karena itu sering seseorang yang takpunya anak perempuan mangapian, iri hati, saat menyaksikan orang lain yang mendapat perhatian dan kasih sayang dari  borunya.  Jika hulahula memerlukan bantuan, maka lazimnya borulah yang selalu menyiapkan diri untuk membantu.  Bukan anak laki-lakinya.

Gejala hipokrisi terjadi di situ karena di satu sisi orangtua tidak mewariskan harta benda (modal) kepada anak perempuannya, tetapi di sisi lain berharap perhatian, kasih sayang, dan bantuan dari anak perempuannya itu.  Orang Batak berharap anak perempuannya menjadi kaya, tapi tidak dibekali dengan modal yang memadai.  

Beruntung sekarang ini perempuan Batak mendapat kesempatan pendidikan yang kurang-lebih setara dengan anak laki-laki.  Kalau dulu, anak laki-laki selalu didahulukan.

Begitulah.  Perempuan Batak sejatinya tidak mengalami masalah "hilang marga".  Masalah utama mereka adalah ketakadilan gender, marginalisasi sosial dalam konteks masyarakat hukum adat, yang membuat perempuan Batak tidak memiliki kuasa politis dalam masyarakatnya, kendati mungkin memiliki kekuasaan ekonomis, karena kegigihannya mencari nafkah.  

Masalah ketakadilan gender dan marginalisasi sosial itulah yang mestinya diangkat ke permukaan, dan dicarikan solusinya secara bersama-sama. Sebab pesan perempuan kepada dunia hanya akan mencapai sasaran, seperti halnya pesan laki-laki, jika dan hanya jika prasyarat kesetaraan gender terpenuhi.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun