Mohon tunggu...
Radhiya Afma
Radhiya Afma Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Hai, salam kenal. Kalian boleh mampir ke akun sosmed yang aku tautkan ❤️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bukan Sampah

13 Maret 2024   19:33 Diperbarui: 13 Maret 2024   19:43 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara Ibu berdesing menampar telinga Maya yang tengah menggunakan penyuara telinga. Tanpa menghentikan suara merdu dari Panji Sakti yang tengah menyanyikan lagu Kepada Noor, Maya melepaskan penyuara telinga dan merapikan polesan lip ink berwarna Extra dengan satu olesan terakhir. Ia menengok ruang keluarga, ruang tamu, dan teras, tapi Ibu tidak ada. Hanya ada suara burung yang saling bersahutan.

Tidak lama, terdengar suara orang muntah-muntah dari arah kamar mandi. Maya pun segera berjalan ke sana dan mendapati Ibu yang sedang memijat-mijat tengkuk adiknya, Gendis.

Gendis terlihat sangat ingin mengeluarkan isi perutnya, meski begitu ia hanya bisa mengeluarkan suara-suara yang mengundang Maya juga ingin muntah.

Maya dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan setelah sebelumnya ikut mengeluarkan suara serupa Gendis. Belum saja berhasil menjauh dari kamar mandi, Ibu menghentikannya. Selain meminta tolong untuk mengambilkan minyak kayu putih, Ibu juga meminta Maya untuk menenangkan Arusha yang menangis di dalam kamar Gendis.

Untuk mengambil minyak kayu putih, itu hal gampang. Namun, untuk menenangkan Arusha? Maya melambaikan bendera putih. Laki-laki berusia 2 tahun itu terlalu berisik bagi Maya.

"Gimana mau punya suami, kalau sama anak kecil aja ndak suka? Kamu itu kenapa toh ndak bisa dibilangin? Mau sampai kapan kamu begini, Maya? Umurmu sudah kepala tiga lho!" Ibu bersungut-sungut ketika Gendis sudah beristirahat di kamar. Wanita paruh baya itu duduk tepat di samping pintu kamar Gendis sambil membersihkan kutikula kukunya yang menghitam dengan silet. Padahal gelap menyergap tempat Ibu duduk.

"Ibu minta aku untuk jadi Gendis yang anaknya bakal tiga di umurnya yang baru 27? Sementara Putra, suaminya pulang ke rumah cuma untuk tidur," sahut Maya dengan segenap keberanian. Tubuhnya bergetar, tidak seirama dengan degup jantung yang kian berpacu waktu.

"Besok keluarga Randi datang. Randi itu anak keluarga terpandang, usianya dua tahun di bawahmu. Jangan sampai kamu bikin malu keluarga," ucap Bapak yang duduk di sofa seberang Ibu seraya menepuk-nepuk betisnya, memberi isyarat kepada Ibu. Meski bermandikan sinar matahari, tetapi tetap saja wajahnya redup, seredup dalam temaram.

Dengan patuh, Ibu segera meninggalkan siletnya dan langsung duduk melantai memijat betis Bapak yang bersih, tetapi tetap terlihat kotor.

Maya tidak bisa berkomentar lagi, napasnya mulai sesak dan matanya memerah. Ia ingin mendebat, tetapi malah melangkah mengambil tas di dalam kamar dan bergegas pergi menuju kantor, tanpa sepatah kata. Dalam perjalanan, sesekali ia menyeka kasar air mata yang jatuh seraya menatap cerahnya hari yang seakan menertawakan hidupnya.

Sudah lima tahun Maya bekerja sebagai teller di salah satu bank swasta. Selama itu pula ia memperhatikan kutikula kuku setiap nasabahnya. Hanya para gadis yang memiliki jemari serta kuku yang indah. Sama seperti miliknya yang selalu dihias dengan cat kuku warna-warni sesuai urutan hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun