Rupanya, Poltak menyelam dan merogoh lubang-lubang sarang ikan di dinding lubuk. Â Dengan cara itu, dia berhasil menangkap tujuh ekor lele dan tiga ekor gabus. Â Tangkapan luar biasa untuk seorang anak usia lima tahunan. Â
"Bah, macam berang-berang saja kau, Poltak," teriak Binsar dan Bistok. Â Sejak itu Poltak dijuluki Si Berang-berang. Â Julukan yang layak dan sepantasnya.
Bagi Poltak, menjadi "berang-berang" lebih banyak untungnya ketimbang ruginya. Â Untungnya, cepat dapat ikan banyak. Â Ruginya, ya, sesial-sialnya pelir si Poltak disengat lintah rawa. Â Itu biasalah.
Paling senang, sudah pasti kakek dan dan nenek Poltak. Â Mereka menjadi lebih sering makan ikan segar. Â Hasil tangkapan Poltak. Â Entah dari sungai, rawa, atau tebat yang dipanen pemiliknya.Â
Dengan begitu, frekuensi makan ikan asin ataupun "ikan sampah", ikan-ikan kecil hasil sortiran, Â bisa dikurangi.
"Poltak! Â Ayo, ikut panen ikan! Â Ama Ringkot panen ikan di tebatnya!" Â Binsar berteriak mengajak Poltak.
"Sekarang?" Â Poltak menyahut dari atas pohon jambu biji. Â
Sambil duduk di dahan, macam anak beruk, dia sedang menggerogoti buah jambu mengkal. Â Begitu cara anak kampung Panatapan mencukupi asupan vitamin C.
"Tahun Baru nanti! Iyalah, sekarang. Â Kita ajak Si Bistok sekalian."
Tradisi panen ikan di Panatapan adalah panggung solidaritas. Â Pemilik tebat menyampaikan undangan lisan terbuka kepada warga kampung untuk ikut memanen ikan. Â Â
Nantinya, Â warga mendapat imbalan beberapa ekor ikan mas, jenis ikan utama yang dipelihara. Â Jenis ikan lainnya seperti lele, gabus, dan pora-pora, boleh langsung diambil untuk diri sendiri.