Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies, Rakyat Perlu Kreasi Bukan Narasi

22 Desember 2019   13:09 Diperbarui: 22 Desember 2019   14:43 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan berpidato pada Reuni Alumni 212 tanggal 2 Desember 2019 di Monas Jakarta (Foto: okezone.com)

Anies Baswedan, Gubernur Jakarta sedang memanggungkan diri sebagai "The Narative Governor". Gubernur yang lebih mementingkan narasi ketimbang kreasi,   "kata" ketimbang "karya".  

Baru-baru ini dalam acara Millenial Fest 2019 di Balai Sarbini, Jakarta (14/12/2019), dia menyampaikan pledoi tentang pentingnya "kata-kata" alias narasi.  Dia mengambil contoh Greta Thunberg, aktivis lingkungan usua belia asal Swedia, Person of the Year 2019 versi Time, sebagai justifikasi.  

Thunberg, kata Anies, telah menginspirasi gerakan global penyelamatan lingkungan dengan kekuatan "kata-kata".  Anies sedang merujuk pada unjuk rasa sedunia melawan perubahan iklim global pada 20 September 2019 lalu.  Unjuk rasa yang melibatkan sekitar 4 juta orang yang menghelat 2,500-an aksi di 160-an negara.

Tapi Anies lupa. Thunberg bukan gubernur, melainkan aktivis lingkungan hidup.  Kekuatan aktivis, khususnya aktivis protes sosial, memang pada "kata-kata", pada narasi.  Bukan pada aksi lapangan penyelamatan lingkungan.

Lagi pula terlalu jauh mengambil Thunberg sebagai contoh.  Bukankah ada contoh yang melekat pada Anies sendiri? Mengapa tidak mencontohkan narasi "Ahok penista agama" yang telah sukses mengantar Anies menjadi Gubernur Jakarta?

Beda dari aktivis, kekuatan gubernur, atau pemerintah umumnya, bukanlah pada "narasi". Melainkan pada aksi nyata pembangunan di lapangan.  Sebab narasi pembangunan sudah final dalam bentuk rencana tahunan dan rencana jangka menengah pembangunan. Di luar itu berarti improvisasi, kalau bukan pledoi.  

Sangat jelas, tugas pokok pemerintah adalah berkreasi, bekerja.  Bukan bernarasi,  mengumbar kata-kata.  Narasi yang separuhnya janji kosong dan separuh lagi pembenaran diri alias "ngeles".  

Maka tepatlah kata-kata Thunberg, dalam pidatonya pada aksi unjuk rasa di Battery Park, New York tanggal 20 September lalu. Teriaknya: "Orang-orang yang berkuasa, mereka semua mengucapkan kata-kata indah yang sama, janji-janji kosong yang sama, kebohongan yang sama dan kelambanan yang sama." (Baca: "Sepak Terjang Greta Thunberg yang Jadi Contoh Anies 'Pentingnya Kata-kata'", detikNews.com, 15/12/2019).

Petikan pidato Thunberg itu sejatinya adalah definisi operasional "narasi" untuk pemerintah.  Pemerintah yang miskin kreasi, karya atau kerja. Tapi subur dengan kata-kata indah, janji-janji kosong, dan kebohongan.

Tidakkah definisi operasional narasi semacam itu sungguh tepat berlaku untuk Anies?  

Bukankah narasi Anies tentang "rumah DP 0%",  "naturalisasi sungai", dan "air masuk tanah" adalah janji kosong? Rumah DP 0% belum jelas wujudnya padahal sudah dua tahun berlalu. Sungai belum juga kembali natural, masih seoerti yang dulu. Air hujan masih mengalir dan menggenang di atas tanah Jakarta.

Bukankah narasi Anies tentang "membangun tanpa menggusur", juga OKE-OCE,  kini terbukti sebagai kebohongan belaka? Faktanya kini warga mulai digusur dari pemukiman yang kumuh. Lalu kios-kios OKE-OCE satu per satu terpaksa ditutup karena merugi.

Bukankah narasi Anies tentang "maju kotanya bahagia warganya" tak lebih dari sekadar kata-kata indah?  Apakah skybridge, waringisasi kali, Pelican Cross, JPO gundul, instalasi bambu (kemudian karang), trotoar lebar tanpa pohon, perluasan jalur ganjil-genap, muralisasi tembok dan pilar kota,  jika itu diklaim sebagai ukuran kasat mata kota maju, membahagiakan semua warga?

Bukankah narasi Anies tentang "open governance" dan "birokrasi yang manusiawi" adalah janji kosong?  Dia mencopot dan mengganti banyak pejabat tanpa alasan yang jelas.  Dia melempar kesalahan pada bawahannya atas rencana anggaran berbau korupsi, atas penghargaan wisata yang salah alamat, dan atas lurah yang merendam calon pegawai.

Masalah jika seorang akademisi menjadi praktisi, dia cenderung lebih banyak mikir dan bicara ketimbang bekerja. Lebih banyak wacana ketimbang tindakan. Studi ketimbang aksi. Boros kata pelit kerja. Itulah masalah Anies ketika menjabat Gubernur Jakarta.

Sudah dua tahun Jakarta berlangsung tanpa seorang wakil gubernur.  "Jakarta Baru" yang dinarasikan Anies belum terlihat juga.  Jakarta sekarang tak lebih dari kelanjutan dari Jakarta dua tahun lalu. Kondisi sekarang ini niscaya akan tercapai juga sekalipun gubernur tidak ada.  Cukup lima orang walikota yang kerja nyata.

Jakarta memerlukan seorang gubernur yang kaya kreasi, kaya aksi.  Bukan gubernur yang kaya narasi, boros kata-kata.  Sebab kata-kata mungkin mengibur, tapi tidak akan mengubah kondisi sosial-ekonomi Jakarta.  Kreasi atau aksi pembangunanlah yang dapat mengubah kondisi sosial-ekonomi.  Menjadikannya lebih baik, sebagai salah satu syarat kebahagiaan. Itulah yang diperlukan warga Jakarta.

Anies pernah berkata, dulu semasa kampanye, "Kerja tanpa narasi itu berbahaya."  Tapi, menurut saya, "Narasi tanpa kerja itu lebih berbahaya."  Itulah "masalah Jakarta"di bawah Anies: kaya narasi, miskin kreasi.

Lebih parah lagi, narasi Anies sejatinya bukan narasi. Apa yang disebutnya narasi itu cenderung bermakna pledoi, pembelaan, pembenaran pada tindakan-tindakannya.  Musalnya narasi "pengalaman baru pemandangan kota" sebagai pledoi untuk penggundulan JPO. Narasi "pemuliaan pejalan kaki" sebagai pledoi untuk penebangan pepohonan trotoar. Narasi "kesetaraan dalam beragama" untuk Christmas Carol di Sudirman-Thamrin.  Dengan kata lain, prinsip yang dipakai, "Sikat dulu narasi kemudian."

Saya sudah pernah tulis di sini, "Pak Anies, berhentilah!" Maksudnya, berhentilah berkata-kata, bernarasi. Fokuslah pada kerja, kreasi.  

Sekarang ijinkan saya mengulang seruan itu, dengan rumusan baru, "Pak Anies, berkreasilah, sebab kreasi adalah narasi sejati, narasi yang hidup."

Demikian dari saya, Felix Tani, petani mardijker, bukan pendukung Anies tapi pendukung gubernur terpilih lewat jalan kritik, siapapun dia.(*)
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun