Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies, Rakyat Perlu Kreasi Bukan Narasi

22 Desember 2019   13:09 Diperbarui: 22 Desember 2019   14:43 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan berpidato pada Reuni Alumni 212 tanggal 2 Desember 2019 di Monas Jakarta (Foto: okezone.com)

Bukankah narasi Anies tentang "membangun tanpa menggusur", juga OKE-OCE,  kini terbukti sebagai kebohongan belaka? Faktanya kini warga mulai digusur dari pemukiman yang kumuh. Lalu kios-kios OKE-OCE satu per satu terpaksa ditutup karena merugi.

Bukankah narasi Anies tentang "maju kotanya bahagia warganya" tak lebih dari sekadar kata-kata indah?  Apakah skybridge, waringisasi kali, Pelican Cross, JPO gundul, instalasi bambu (kemudian karang), trotoar lebar tanpa pohon, perluasan jalur ganjil-genap, muralisasi tembok dan pilar kota,  jika itu diklaim sebagai ukuran kasat mata kota maju, membahagiakan semua warga?

Bukankah narasi Anies tentang "open governance" dan "birokrasi yang manusiawi" adalah janji kosong?  Dia mencopot dan mengganti banyak pejabat tanpa alasan yang jelas.  Dia melempar kesalahan pada bawahannya atas rencana anggaran berbau korupsi, atas penghargaan wisata yang salah alamat, dan atas lurah yang merendam calon pegawai.

Masalah jika seorang akademisi menjadi praktisi, dia cenderung lebih banyak mikir dan bicara ketimbang bekerja. Lebih banyak wacana ketimbang tindakan. Studi ketimbang aksi. Boros kata pelit kerja. Itulah masalah Anies ketika menjabat Gubernur Jakarta.

Sudah dua tahun Jakarta berlangsung tanpa seorang wakil gubernur.  "Jakarta Baru" yang dinarasikan Anies belum terlihat juga.  Jakarta sekarang tak lebih dari kelanjutan dari Jakarta dua tahun lalu. Kondisi sekarang ini niscaya akan tercapai juga sekalipun gubernur tidak ada.  Cukup lima orang walikota yang kerja nyata.

Jakarta memerlukan seorang gubernur yang kaya kreasi, kaya aksi.  Bukan gubernur yang kaya narasi, boros kata-kata.  Sebab kata-kata mungkin mengibur, tapi tidak akan mengubah kondisi sosial-ekonomi Jakarta.  Kreasi atau aksi pembangunanlah yang dapat mengubah kondisi sosial-ekonomi.  Menjadikannya lebih baik, sebagai salah satu syarat kebahagiaan. Itulah yang diperlukan warga Jakarta.

Anies pernah berkata, dulu semasa kampanye, "Kerja tanpa narasi itu berbahaya."  Tapi, menurut saya, "Narasi tanpa kerja itu lebih berbahaya."  Itulah "masalah Jakarta"di bawah Anies: kaya narasi, miskin kreasi.

Lebih parah lagi, narasi Anies sejatinya bukan narasi. Apa yang disebutnya narasi itu cenderung bermakna pledoi, pembelaan, pembenaran pada tindakan-tindakannya.  Musalnya narasi "pengalaman baru pemandangan kota" sebagai pledoi untuk penggundulan JPO. Narasi "pemuliaan pejalan kaki" sebagai pledoi untuk penebangan pepohonan trotoar. Narasi "kesetaraan dalam beragama" untuk Christmas Carol di Sudirman-Thamrin.  Dengan kata lain, prinsip yang dipakai, "Sikat dulu narasi kemudian."

Saya sudah pernah tulis di sini, "Pak Anies, berhentilah!" Maksudnya, berhentilah berkata-kata, bernarasi. Fokuslah pada kerja, kreasi.  

Sekarang ijinkan saya mengulang seruan itu, dengan rumusan baru, "Pak Anies, berkreasilah, sebab kreasi adalah narasi sejati, narasi yang hidup."

Demikian dari saya, Felix Tani, petani mardijker, bukan pendukung Anies tapi pendukung gubernur terpilih lewat jalan kritik, siapapun dia.(*)
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun