Senja tenggelam di ufuk barat, malam mulai menyapa. Di sela gemerlap lampu Jatinangor sambil berkawan dengan setumpuk deadline tugas kuliah yang tak kunjung usai, ada satu ritual di Ma'had Tahfidz yang justru mengundang para mahasantri larut dalam damai. Setiap Kamis malam, gema sholawat dan tahlil memanggil jiwa-jiwa yang riuh dengan itinerary padatnya, yang sejatinya perlu rehat bukan hanya untuk raga, tapi untuk hati. Dan ini bukan sekadar rutinitas. Ini adalah cara kami pulang ke diri sendiri.
Lantunan sholawat terdengar lembut, bersahutan di antara deru angin dan helai dedaunan. Para Mahasantri duduk bersila, wajah-wajah lelah sepulang nganpus seharian kini tampak lebih damai. Ada semacam energi yang dipulihkan malam itu, bukan dari segelas kopi, tapi dari dzikir dan cinta kepada Baginda Nabi.
"Isyfa' lana yaa abban laka asysyaf'ah."
Kalimat itu bergetar, menyayat hati, seolah membuka ruang di dalam dada yang selama ini sesak oleh dunia. Kerinduan kepada Rasulullah yang kami harap hadir malam itu mengusap kami dengan syafaatnya, menemani kami dalam diam yang penuh makna.
Di dunia yang tak pernah berhenti berputar dengan banyak hal yang menanti untuk dikejar, ternyata masih ada ruang untuk duduk, meresapi, dan memupuk rindu terhadap Baginda Nabi, bersama. Di Mahad Tahfidz kamis malam adalah oase. Lantunan Barzanji bukan sekadar tradisi akan tetapi ia adalah signal dekapqn masa lampau, ketika umat tak pernah merasa jauh dari Nabinya.
Hati kami terasa penuh di malam itu, kami merasa Baginda Nabi hadir mengamini doa-doa dalam sujud panjang yang senantiasa kami langitkan. Malam Jum'at menjadi tempat pulang. Malam ketika cinta kepada Nabi menjadi alasan kami untuk tetap kuat menempuh hari-hari ke depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI