Tawa mengejek terdengar. Dakon? Permainan anak perempuan? Tapi ejekan itu tak menggoyahkan ketenangannya.
> "Meskipun dakon mainan perempuan, belum tentu kalian bisa kalahkan aku. Kalau kalian laki-laki sejati, buktikan kekuatan kalian di sini, bukan dengan saling pukul."
Terpancing gengsi, kedua anak laki-laki setuju. Mereka menyusun aturan, yang dijelaskan oleh Roro Kecik sendiri. Anak-anak lain membentuk dua kubu --- perempuan mendukung Roro, laki-laki mendukung duo pesaingnya. Bahkan warga desa yang kebetulan lewat mulai berkumpul. Mahapatih yang menyamar sebagai rakyat biasa, duduk di belakang, memperhatikan.
Roro Kecik meletakkan papan dakon dan membagi biji kecik.
> "Jika aku menang, kalian harus berhenti berkelahi. Jika aku kalah, kalian boleh kembali bertengkar, dan kami anak perempuan akan memasak untuk kalian," katanya.
Tantangan diterima.
Permainan dimulai. Roro Kecik bermain dengan kelincahan dan kecermatan luar biasa. Tangannya bergerak cepat namun penuh perhitungan. Setiap biji kecik ia tanam dengan irama teratur. Satu persatu strategi lawan ia balikkan. Anak-anak bersorak. Tawa dan semangat kembali mewarnai wajah-wajah yang mulai kusut karena kemarau.
Ketika langkah terakhir jatuh pada lubang besar milik Roro Kecik, ia berhasil menebas habis sisa biji lawan.
> "Aku menang," katanya pelan, tapi lantang.
Anak-anak lelaki tertunduk, tapi juga kagum. Mereka bersalaman. Keributan reda. Warga desa tersenyum. Mahapatih Aryanata terdiam.
> "Dakon..." gumamnya, "...mainan yang sama yang dimainkan Putri Kenanga. Tapi di tangan gadis kecil ini, dakon jadi alat perdamaian dan keberanian."