Musim kemarau telah menggigit tanah-tanah di Desa Ngrandu hingga retak dan mengering. Ladang-ladang gagal panen. Waduk kerajaan di pinggir desa telah surut, air tinggal genangan lumpur yang nyaris tak berguna. Hujan tak lagi datang. Warga desa tetap bertahan, mengandalkan ketabahan dan semangat gotong royong yang mulai memudar.
Mahapatih Aryanata, tangan kanan Raja Talasindra, ditugaskan meninjau langsung desa yang mengalami krisis. Tapi diam-diam, ia juga membawa beban batin lain dari istana: misi menemukan kembali semangat Putri Kenanga, yang sejak bertahun-tahun silam tenggelam dalam kesedihan dan sepi---hanya ditemani dakon kenangan mendiang suaminya.
Namun di tengah keputusasaan itu, Mahapatih justru menyaksikan hal yang tak ia duga...
Di tanah lapang di bawah pohon besar---pohon sawo tua di ujung desa---kerumunan anak-anak desa berkumpul. Terdengar keributan kecil. Dua bocah lelaki hendak saling pukul. Keributan nyaris berubah jadi perkelahian sebelum seorang anak perempuan maju ke depan.
Ia kecil, mengenakan kemben kuno, rambutnya disanggul rapi seperti anak-anak perempuan desa masa lampau. Di punggungnya terikat papan dakon kayu, dan di pinggangnya tergantung sekantung biji sawo kecik.
Roro Kecik.
Dengan suara tenang tapi tajam, ia berdiri di hadapan dua anak laki-laki.
> "Kalian boleh berkelahi kalau kalian bisa mengalahkanku dulu," katanya.
Anak-anak laki-laki terkejut. "Mengalahkanmu? Dalam hal apa?"
> "Main dakon," jawab Roro Kecik dengan percaya diri.