Di bawah cahaya lampu kelas yang hangat, Zahwa Noer Aisya duduk di mejanya, matanya tertuju pada layar laptop yang menampilkan hasil UKBI. Senyum lega dan optimis terukir di wajahnya. Di belakangnya, beberapa siswa terlihat berdiskusi. Sebagian tampak riang, sementara yang lain masih merenung. Ruangan kelas yang penuh dengan meja dan kursi berjejer rapi, kini menjadi saksi bisu dari akhir sebuah perjuangan dan awal dari sebuah harapan.
Ruang kelas 9F terasa bagai sebuah kapsul waktu, membeku dalam keheningan yang tegang. Cahaya pagi yang lembut dari jendela besar mengukir bayangan-bayangan panjang di lantai keramik yang dingin, namun tidak mampu menghangatkan suasana. Di udara, aroma buku baru dan bau karet penghapus yang samar-samar, bagaikan pertanda dari pertempuran kata yang baru saja usai. Setiap hembusan napas terdengar seperti gema, dan detak jantung yang berpacu di dada seolah menjadi orkestra ketegangan. Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia, atau UKBI, baru saja berakhir, meninggalkan jejak kelelahan dan harapan di wajah para siswa.
Di antara mereka semua, Zahwa NoerAisya menatap layar laptopnya, senyum tipis terukir di bibirnya. Skornya, sebuah angka yang kini menjadi penentu, ia jadikan jembatan menuju mimpi. "Terimakasih UKBI, semoga dengan skor seperti ini dapat membantu saya untuk ke jenjang sekolah berikutnya," gumamnya pelan, suaranya bagai bisikan doa yang penuh harap. Matanya berbinar, memancarkan optimisme yang menular.
Berbeda dengan Zahwa, di sisi lain ruangan, Naura Qurratu'ain menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan yang samar. "Makasih, tolong perbaiki lagi suara awalnya kurang kedengaran dan juga suaranya terlalu cepat," ucapnya. Kendala teknis pada audio baginya bagaikan duri dalam daging, mengganggu konsentrasinya dan meninggalkan rasa pahit di ujung lidah. Ia berharap UKBI selanjutnya akan lebih lancar, tanpa gangguan yang membingungkan.
Atadhia 'ilmi asfa mirza menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, senyumnya mengembang. "Menyenangkan walaupun skor sedikit, bagus, gampang mengerjakannya," katanya riang. Baginya, UKBI adalah sebuah permainan yang menantang namun mudah ditaklukkan. Meskipun hasilnya tidak setinggi yang ia harapkan, perasaan senang dan pengalaman berharga tetap ia dapatkan.
Sementara itu, Yasmine nurrahma memberikan masukan yang serupa dengan Naura. "Terimakasih, tolong letak soal di perbaiki lagi juga suaranya di awal jadi kecil," keluhnya. Masalah teknis pada soal menyimak seolah-olah menjadi dinding tebal yang menghalangi. Meskipun begitu, ia tetap bersyukur dan menganggap UKBI sebagai pengalaman yang berharga.
ARRAFI BARRU DECESAR ILHAM meluapkan kegembiraannya dengan penuh semangat. "Sangat seru dan menyenangkan, lumayan susah, saya sangat senang mengikuti UKBI," serunya. Kata-katanya bagaikan dentuman drum yang riang. Bagi Arrafi, UKBI adalah rollercoaster emosi, menantang namun memberikan sensasi yang tak terlupakan.
Di bangku paling belakang, Raditiya Putra Pratama menunduk, wajahnya tampak murung. Ia merasa UKBI terlalu sulit baginya. Kesulitan yang ia hadapi bagai jurang yang dalam, membuatnya merasa tenggelam dalam ketidakmampuan.
Alzena Zalfa Dhariga tersenyum lebar, menunjukkan pemahaman yang mendalam. "Sangat bermanfaat untuk seluruh siswa/i, dapat memperdalam ilmu kebahasa-Indonesiaan, menambahkan pengalaman selama proses belajar mengajar semasa sekolah, dan sedikit menegangkan tapi seru," ujarnya. Baginya, UKBI adalah sebuah peta harta karun yang memperdalam pemahaman bahasa Indonesia. Ketegangan yang ia rasakan bagaikan bumbu yang membuat ujian ini terasa lebih nikmat.
Nadya Bilqiis Sirya juga merasakan manfaat UKBI. "Sangat seru dan dapat menambah wawasan saya dalam berbahasa Indonesia," katanya. UKBI baginya adalah jendela yang terbuka, menyingkap pemandangan baru di balik cakrawala pengetahuan.