Yani menarik napas dalam. Udara bercampur aroma kopi basi dan kertas ujian yang lembap. Ia membuka satu lembar lagi, kali ini milik Fina. Nilainya tinggi, tapi sikapnya buruk. Sering bolos, mengganggu temannya.
"Kadang, angka tinggi gak berarti bener-bener cerdas ya," gumam Yani.
Husen mengangguk. "Dan angka rendah gak berarti dia bodoh. Bisa jadi dia cuma belum punya kesempatan."
Tiba-tiba, kepala sekolah masuk, membawa map dan wajah serius. "Nilai rapor sudah harus masuk sebelum Jumat, ya. Dan jangan terlalu banyak yang remedial, nanti orang tua ngamuk," ujarnya, lalu berlalu secepat datangnya.
Yani dan Husen saling pandang.
"Ya Tuhan, nilai kita bukan cuma dinilai murid, tapi juga kepala sekolah, ortu, bahkan guru lain!" keluh Yani sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terasa dingin karena AC yang terlalu kencang.
Husen tertawa pendek. "Makanya aku bilang, jadi guru tuh kayak main sinetron. Dramanya jalan terus."
Namun sore itu juga Yani belajar sesuatu. Ia kembali menatap nilai Dimas. Matanya menangkap detail kecil yang tak semua orang lihat: coretan-coretan kecil di pinggir lembar ujian, seperti catatan pengingat diri: "Jangan menyerah", "Kamu bisa!", "Fokus!"
Ia tersenyum. Mungkin bukan angka yang membuatnya luluh. Tapi rasa. Rasa bahwa murid itu sedang berjuang, walau dunia tak sepenuhnya memihak.
Dengan tangan yang masih gemetar tapi mantap, Yani mengetik: 81. "Naikkan sedikit, karena dia naikkan dirinya sendiri," gumamnya.
Tak lama kemudian, Husen berseru, "Eh, kamu lihat Fina? Nilainya tinggi, tapi minggu lalu dia dorong temannya sampai nangis. Aku lagi mikir, kasih dia 'catatan khusus' gak, ya?"