Mohon tunggu...
Moh Tamimi
Moh Tamimi Mohon Tunggu... Jurnalis - Satu cerita untuk semua

Mencari jejak, memahami makna.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kerumunan Hitam (Para Pencari Keadilan di Depan Istana)

23 Februari 2021   16:20 Diperbarui: 23 Februari 2021   16:41 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Moh Tamimi*

Aku melihat kerumunan para pemuda di depan Istana Merdeka Republik Indonesia, Jakarta Pusat, mengenakan bayu dan payung hitam. Mereka berdiri tidak teratur, salah satu di antara mereka memegang megaphone sambil berteriak lantang, lalu disambut dengan teriakan yang lebih keras lagi oleh kerumunan di depannya.

"Hidup korban!" ungkap pria yang memegang megaphone sambil mengepalkan tangan kiri.

"Jangan diam," sambut orang-orang kerumunan itu dengan lantang sembari mengepalkan tangan.

"Jangan diam!" Teriak pria itu lagi.

"Lawan!" Hening seketika.

Aku semakin mendekati kerumunan itu. Pemuda-pemuda di sana ada yang memegang kamera, ada yang memegang spanduk, ada pula yang menyebarkan pamflet, tidak ada satu pun yang kukenal. Sebagian yang mengenakan payung hitam berdiri di tepi jalan menghadap ke arah seberang, gedung istana, ada pula yang menyandang ransel sambil memegang bendera merah putih yang diikat pada tongkat kayu dan diselipkan di ranselnya seperti seorang tentara memanggul laras panjang.

Orang-orang semakin banyak berdatangan, kerumunan itu semakin merapat ke sebuah titik menghadap tiga buah kursi. Aku mendekat ingin memastikan apa yang terjadi. Di depan kerumunan berbaris rapi para polisi yang telah membuat pagar betit. Jalanan tetap riuh, motor-mobil berseliweran tiada henti.

Saat itu aku masih belum mengerti apa yang mereka kehendaki. Aku tanya kepada seorang di antara mereka, apa yang terjadi. Orang itu menyebutkan bahwa itu adalah aksi kamisan untuk menyuarakan penegakan berbagai kasus hak asasi manusia yang tidak pernah ditangani secara serius sampai saat itu, sejak orde baru, puluhan tahun silam.

Tiga kursi kosong tadi mulai diduduki tiga orang laki-laki yang berbeda stile: ada yang berambut gondrong dengan mengenakan kaos dan celana jeans, ada seorang tua dengan rambut yang tak lagi lebat serta memutih, dan satunya lagi adalah seorang pemuda bertubuh atletis.

Dengan semangat berkobar-kobar, mereka bercerita tentang sebuah tragedi yang mereka alami di masa silam, merekalah saksi mata sebagian dari sekian banyak pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih belum diketahui kejelasan hukumnya.

Kini, para kerumunan berbaju hitan sudah menanggalkan payungnya. Mereka duduk bersila. Mengamati tiga orang yang bercerita menggunakan megaphone, seadanya. Suara kesaksian mereka hanya cukup menjangkau kerumunan itu. Aku masuk menjadi bagian dari kerumunan itu, tanpa mendengar dengan jelas apa saja yang mereka sampaikan.

Sore itu, matahari mulai menyingsing ke ufuk barat. Aku tetap duduk bersila, sampai para kerumunan itu berdiri untuk memanjatkan doa yang dipimpin oleh seorang perempuan tua. Aku tetap tidak mengenal orang-orang yang datang dan pergi dalam kerumunan itu, siapa mereka.

*Suka keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun