Mohon tunggu...
Moh Farid
Moh Farid Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa sastra indonesia

Lebih baik bersikap dingin, meskipun menyakitkan, dari pada menyatakan kebenaran yang bisa terkesan seperti alasan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karya Sastra di Tengan Pandemi Covid-19

5 Januari 2021   22:58 Diperbarui: 5 Januari 2021   23:02 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai psikologi masyarakat di tengah pandemi ini, hal pertama yang muncul dalam otak saya adalah gagasan yang dikemukakan oleh Sigmung Freud, salah satunya terkait dengan hasrat. Seperti yang pernah saya pelajari dalam perkuliahan Psikologi Sastra, Freud mengasosiasikan hasrat sebagai harapan atau keinginan yang bersifat tidak sadar. Dengan kata lain hasrat merupakan salah satu penentu dalam keberlangsungan hidup manusia. Hasrat yang dimaksudkan oleh Freud ini dapat dipahami sebagai hasrat seksual (libidinal desire).

Berbeda dengan Freud, Lacan memberikan pandangan yang berbeda terkait hasrat dengan menambahkan filsafat Hegel yang bersifat ontologis daripada sekedar dorongan seksual. Hegel memaknai hasrat akan pengakuan (desire of recognition) yang dijelaskan melalui dialektika tuan-budak atau dapat dikatakan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Lebih lanjut, Lacan membahas hasrat dalam kaitannya dengan dua elemen korelatif, yaitu kebutuhan (need) dan tuntutan (demand). Sepemahaman saya, dua elemen tersebut dapat dipahami sebagai kebutuhan biologis murni manusia, sedangkan tuntutan dapat dipahami sebagai ujaran. Hanya saja kebutuhan biologis mungkin akan selalu terpenuhi, sedangkan tuntutan tidaklah selalu terpenuhi atau terpuaskan.

Lantas apa fungsi karya sastra di tengah pandemi dengan situasi masyarakat yang memungkinkan hasratnya untuk terpenuhi?

IV

Sejak diterapkannya karantina wilayah (lockdown), Italia setiap harinya menjadi salah satu negara yang paling banyak penduduknya mengunjungi situs esek-esek. Tak salah jika salah satu situs esek-esek kondang memberikan akses gratis kepada masyarakat Italia dan akan mendonasikan beberapa persen keuntungannya selama bulan Maret untuk membantu negara tersebut.

Saya menduga apa yang terjadi di Italia, mungkin dengan cara nonton film esek-esek, merupakan salah satu bentuk dalam menyalurkan hasrat yang ada pada diri seseorang selama menjalani karantina. Lalu apakah karya sastra bisa menyerupai pencapaian tersebut? Akankah karya sastra dapat memenuhi hasrat masyarakat yang tinggal di rumah hingga batas waktu yang tidak tentu?

Sampai di sini saya berusaha untuk menjadi seseorang yang tidak suka terhadap karya sastra atau bahkan belum mengenalnya sama sekali. Tentu sebagai orang yang tidak menyukainya, saya akan beranggapan bahwa apa guna karya sastra? Itu hanyalah omong kosong. Tak ada kebenaran seperti para pengkhotbah yang bisa membuat hati para jamaah merasa tenang atau bahkan menimbulkan propaganda setelah mendengar ceramahnya. Membaca karya sastra hanya akan menjebak kita pada rutinitas yang sia-sia. Mustahil jika karya sastra dapat menolong kehidupan umat manusia di tengah pandemi ini. Selesai. Barangkali seperti itu ungkapan yang akan terlontar.

Untuk menepis anggapan-anggapan tersebut tentu membutuhkan stimulus yang nantinya dapat merubah mindset seseorang yang awalnya menganggap karya sastra hanya 'omong kosong' menjadi sesuatu yang 'menyimpan kebenaran' dan keberadaannya patut dipertimbangkan. Seperti yang ditulis Mario Vargas Llosa dalam esainya "Benarnya Kebohongan" bahwa "sebetulnya, novel memang berbohong -- mereka tak bisa berbuat lain -- tetapi ini cuma separuh cerita. Paruh lainnya, bahwa dengan berbohong mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkapkan dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya."

Memang apa yang diucapkan Llosa terkesan hanya bualan dan omong kosong belaka. Namun di sisi lain maksud dari apa yang ia sampaikan sangatlah sederhana. Lebih lanjut Llosa menjelaskan bahwa "manusia tidak puas dengan nasibnya dan nyaris semuanya -- kaya atau miskin, cemerlang atau biasa-biasa saja, termasyhur atau tidak -- menginginkan hidup yang berbeda dari yang sedang mereka lakoni."

Keberadaan karya sastra salah satunya untuk menjawab ketidakpuasan manusia dalam menjalani hidup. Karya sastra ditulis sebagai gambaran kehidupan, dengan kata lain membaca karya sastra akan menjadikan seseorang dapat merasakan kehidupan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun