Mohon tunggu...
mohammad rubby firdaus
mohammad rubby firdaus Mohon Tunggu... mahasiswa

Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi yang gemar menulis dan membaca. Lewat aktivitas itu, saya terus berusaha memahami dunia sekaligus mengenali diri sendiri. Bagi saya, menulis adalah cara untuk merawat kesadaran, sementara membaca adalah jalan untuk memperluas imajinasi dan membuka kemungkinan baru dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Genjer-Genjer: Dari Lagu Rakyat Banyuwangi Menjadi Simbol Perlawanan yang Dibungkam Orde Baru

19 September 2025   02:07 Diperbarui: 19 September 2025   02:07 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di banyak negara, lagu rakyat kerap menjadi medium perlawanan. Italia punya Bella Ciao, yang lahir dari penderitaan petani lalu menjelma menjadi nyanyian antifasis. Afrika Selatan punya Nkosi Sikelel' iAfrika, yang menjadi simbol perjuangan melawan apartheid. Indonesia punya Genjer-Genjer. Namun berbeda dengan Italia atau Afrika Selatan, lagu rakyat dari Banyuwangi ini tidak diagungkan sebagai warisan perjuangan, melainkan dibungkam selama puluhan tahun oleh rezim Orde Baru.

Di balik musiknya yang sederhana, Genjer-Genjer menyimpan sejarah kelam: dari lahir di masa penjajahan Jepang, populer di era Soekarno, hingga dijadikan propaganda berdarah oleh Orde Baru. Lebih ironis lagi, penciptanya, Muhammad Arif, dihilangkan oleh pemerintahan orde baru setelah peristiwa 65.

Lahir dari Kelaparan, Bukan Ideologi

Lagu Genjer-Genjer lahir pada 1942. Saat itu, Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang, paceklik melanda, pangan sulit dicari. Muhammad Arif---seorang seniman Osing dari Banyuwangi---menulis lirik dalam bahasa daerah untuk menggambarkan realitas rakyat kecil yang terpaksa memakan genjer, sayuran rawa yang sebelumnya dianggap tak layak.

"Genjer-genjer nong kedokan pating keleler..." adalah potret keseharian petani dan keluarga miskin. Bagi mereka, genjer bukan sekadar tanaman, melainkan simbol bertahan hidup. Sama seperti Bella Ciao yang awalnya dinyanyikan buruh tani Italia di ladang, Genjer-Genjer lahir dari perut yang lapar, bukan dari agenda politik.

Dari Lagu Desa ke Panggung Nasional

Selepas Jepang angkat kaki, Arif semakin aktif berkesenian. Ia mendirikan kelompok angklung SRI Muda yang punya lebih dari 30 cabang di Banyuwangi. Pada 1950-an hingga awal 1960-an, ia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)---organisasi seniman yang berafiliasi dengan PKI.

Melalui Lekra, Genjer-Genjer naik panggung nasional. Lagu itu dibawakan paduan suara, dinyanyikan artis top seperti Bing Slamet dan Lilis Suryani, bahkan diputar di RRI dan TVRI. Di era Soekarno, Genjer-Genjer begitu populer, sejajar dengan lagu rakyat lain yang menggambarkan kehidupan wong cilik.

Namun di titik inilah politik masuk. PKI yang sedang menguat menjadikan lagu rakyat ini sebagai bagian dari kampanye ideologinya. Dari sekadar nyanyian Banyuwangi, Genjer-Genjer berubah menjadi lagu dengan citra politik.

Titik Balik: 1965

Segalanya berubah setelah 30 September 1965. Militer menuding PKI sebagai dalang kudeta gagal. Semua organisasi yang dianggap dekat dengan PKI langsung diberangus. Lagu Genjer-Genjer yang populer di lingkaran Lekra pun terseret stigma.

Media militer, terutama Berita Yudha, memberitakan bahwa Genjer-Genjer dinyanyikan anggota Gerwani saat menyiksa para jenderal di Lubang Buaya. Narasi itu kemudian disebarkan luas melalui film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI dan buku-buku sejarah versi Orde Baru.

Padahal, hasil visum resmi menyebut para jenderal tewas akibat tembakan, bukan mutilasi atau penyiksaan seksual. Kesaksian sejumlah tahanan, termasuk anggota Gerwani, juga menunjukkan bahwa tuduhan itu rekayasa. Tapi opini sudah terlanjur terbentuk: Genjer-Genjer menjadi "lagu komunis", identik dengan kekejaman dan pengkhianatan.

Hilangnya Sang Pencipta

Muhammad Arif, sang pencipta lagu, ditangkap pada Oktober 1965. Ia dituduh simpatisan PKI karena keterlibatannya di Lekra dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Sejak penangkapan itu, ia tak pernah kembali. Hingga kini, keluarga tidak pernah mendapat kabar jelas tentang nasibnya.

Slamet Menur, rekan sekaligus "tangan kanan" Arif, pernah bersaksi bahwa Arif adalah sosok flamboyan, cerdas, dan organis. Namun stigma politik membuat karya dan namanya ikut hilang. Lagu yang ia ciptakan untuk menggambarkan penderitaan rakyat justru menyeretnya ke dalam pusaran tragedi nasional.

Lagu yang Dibungkam

Di bawah Orde Baru, Genjer-Genjer dilarang total. Menyanyikan atau bahkan menyebutnya bisa berbahaya. Liriknya dipelintir: dari tentang sayur genjer menjadi kisah Gerwani menculik dan menyiksa jenderal. Versi propaganda ini sempat dimuat di Harian KAMI dan disebarluaskan untuk meneguhkan stigma.

Dalam masyarakat, ketakutan mengakar. Lagu yang semula populer berubah menjadi hantu. Banyak orang tua melarang anak-anaknya sekadar menyenandungkan Genjer-Genjer. Bagi Orde Baru, lagu ini bukan musik rakyat, tapi bukti pengkhianatan yang harus dipendam selamanya.

Luka Ingatan dan Propaganda

Reformasi 1998 menghapus larangan resmi. Genjer-Genjer kembali bisa dinyanyikan, bahkan direkam ulang oleh beberapa musisi. Namun stigma tetap kuat. Banyak yang masih mengidentikkan lagu ini dengan PKI, seolah-olah lagu ini tidak mempunya sejarah lain hanya melalui propaganda orde baru.

Sejarawan Utan Parlindungan, dalam jurnal Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu (2014), menegaskan bahwa lagu ini pada dasarnya media kritik atas penjajahan Jepang, bukan propaganda komunis. Tapi sejarah yang dipropaganda puluhan tahun membuat ingatan masa Orde Baru lebih kejam dalam ingatan publik.

Perbandingan dengan Bella Ciao jelas menunjukkan kontras. Di Italia, lagu rakyat yang lahir dari penderitaan diangkat menjadi simbol kebanggaan. Di Indonesia, lagu dengan akar serupa justru dibungkam dan dicap sebagai kutukan sejarah.

Genjer-Genjer lebih dari sekadar lagu. Ia adalah cermin bagaimana negara bisa memanipulasi kebudayaan untuk melanggengkan kekuasaan. Ia juga pengingat bahwa sejarah bisa dikubur hidup-hidup, dan karya seni bisa berubah menjadi alat pembunuhan karakter.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun