Di bawah Orde Baru, nama Lekra dibungkam, tetapi hari ini warisannya kembali dilihat. Selama tiga dekade, generasi Indonesia hanya mengenal Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) melalui stigma: organisasi seniman yang menjadi "perpanjangan tangan PKI." Namun, di balik pelabelan itu, Lekra pernah menjadi salah satu kekuatan kebudayaan terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 100.000 anggota yang terdiri dari sastrawan, perupa, musisi, hingga teaterawan. Lewat Lekra, organisasi ini ingin mengajak para seniman mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis.
Lahirnya "Seni untuk Rakyat"
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 oleh DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta, dengan gagasan kebudayaan kerakyatan. Organisasi ini merumuskan metode 1-5-1: meluas-meninggi, tinggi mutu dan ideologi, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantis revolusioner.
Konsep "meluas meninggi" berarti memperluas kegiatan seni ke berbagai daerah sekaligus meningkatkan kualitasnya. Dari prinsip inilah lahir jargon "seni untuk rakyat." Seniman Lekra turun ke desa, sawah, hingga pabrik, membawa seni keluar dari ruang elitis. Mereka menegaskan posisi: politik adalah panglima.
Seni Tidak Lepas dari Politik
Sejak awal, Lekra menolak anggapan seni harus netral. Mereka meyakini seni berkaitan langsung dengan realisme sosial. Karya-karya yang lahir banyak menggambarkan kehidupan rakyat kecil---buruh, petani, dan masyarakat miskin kota.
Namun, pandangan ini menuai kritik. Sejumlah seniman menilai kreativitas dikorbankan demi garis ideologi. Polemik paling terkenal muncul dalam perdebatan Lekra versus Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada awal 1960-an.
Polemik Lekra vs Manikebu
Manikebu, yang dipimpin Goenawan Mohamad dengan sekretaris Bokor Hutasuhut, menolak subordinasi seni pada politik. Rapat perumusan pada 23 Agustus 1963 dihadiri tokoh seperti HB Jassin, Bur Rustanto, dan Soe Hok Djin. Sidang pengesahan sehari kemudian memicu pertarungan ideologi yang keras di era Demokrasi Terpimpin.
Sebagai pengimbang Lekra yang makin dominan, Manikebu justru sempat dilarang oleh pemerintah Orde Lama. Buku-buku penulis Manikebu tidak boleh beredar. Namun, keadaan berbalik setelah Soeharto berkuasa. Karya-karya Manikebu kembali diterbitkan Balai Pustaka, sementara buku-buku Lekra dibredel serta dibakar.
Kedekatan dengan PKI dan Dukungan Soekarno