Sekejap berikutnya, Kang Dadang sudah sibuk memberikan aneka roti kepada peserta aksi yang melintas di depannya. Ajaibnya, meskipun Kang Dadang sudah meyakinkan kepada para peserta aksi bahwa roti itu gratis, tak urung juga mereka memasukkan uang ke dalam tas pinggangnya. Kang Dadang tak bisa berbuat banyak, para peserta berlalu begitu saja setelah memasukkan uang ke dalam tasnya. Tanpa memberi kesempatan Kang Dadang untuk berkata-kata.
Pukul sembilan pagi, gerobak sepedanya sudah kosong, tak satupun roti tersisa, tas di pinggangnya sudah sesak oleh lembaran uang.
Di kontrakan kecilnya, Kang Dadang menangis. Dari mulutnya tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Dua juta rupiah, uang yang menyesaki tas pinggangnya. Ia berniat pulang ke kampungnya di Bogor, cuti dua hari. Sudah tak sabar ia melihat binar senyum istri tercinta yang baru tiga bulan dinikahinya.
Setelah dua hari, Kang Dadang melepaskan kerinduannya pada istri tercintanya. Siang itu ia sudah mengayuh pedal sepeda gerobaknya menyusuri jalan-jalan di Jakarta. Sudah hampir pukul 12 siang rotinya belum terjual satupun. Ia memarkir sepeda gerobaknya di sebuah masjid, ada beberapa gerobak serupa berjejer di halaman masjid.
"Sepi ya kang?"
"Iya, belum terjual satupun, gak biasanya!"
"Lah emang belum tau beritanya?"
"Berita apa?"
"Roti yang kita jual diboikot sama orang-orang yang kemaren aksi, gara-gara boss kita bikin surat itu, anu, ah saya susah nyebutnya, pokoknya kaya pemberitahuan gitu!"
"Terus?"
"Ya terus, dagangan kita kagak laku!"