Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dompet Kosong dan Ide Menulis

15 Februari 2023   14:34 Diperbarui: 15 Februari 2023   14:48 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ide menulis itu konon bisa muncul dari mana saja. Kata para suhu, ide itu berserakan di sekitar kita--bisa ditemukan di sudut halaman rumah, pada jalanan berlumpur, lengkung langit yang berawan, atau pada tingkah bocah yang ngambek karena tidak dibelikan mainan baru.

Ternyata bagi saya gagasan tentang ide menulis ini tidak selalu benar. Saya sudah dua hari ini kehilangan ide. Biasanya saya punya draft seperempat jadi, setengah jadi, atau bisa juga draft sepenuhnya jadi. Jika draft lebih dari satu dan merasa salah satunya tidak bisa dilanjutkan, naskahnya tidak saya hapus. Saya biarkan mengendap dalam drive dengan pertimbangan siapa tahu besok lusa muncul ide untuk diselesaikan menjadi artikel utuh dan siap kirim.

Sebagaimana biasa sebelum diunggah ke media tujuan, tentu draft itu mengalami proses editing dulu untuk memberikan perbaikan ejaan, tanda baca, pilihan kata, atau susunan kalimat yang masih acak-acakan.

Kompasiana memang menyediakan beberapa topik pilihan. Salah satunya tentang topik Sambo. Tetapi saya tidak memiliki cukup informasi tentangnya karena tidak pernah nonton tivi atau mengikuti perkembangan kasusnya secara detail dan serius. Saya hanya tahu Sambo membunuh ajudannya atas bantuan bawahannya. Saya tidak ingin gegabah menulis sesuatu yang tidak saya pahami secara utuh. Takut salah opini dan salah meneruskan informasi.

Sayapun melakukan refleksi mengapa ide itu tidak muncul. Saya mencari penyebabnya di kolong meja, di bawah kasur, pada ranting pohon yang kuyup, atau atap rumah bersimbah hujan. Saya bertanya pada hembus angin, pada kepadatan lalu lintas, dan pada sayur bening hidangan istri saya.

Saya terus berefleksi mengapa ide menulis saya mandeg. Saya gelisah. Kegelisahan itu cukup kompleks. Salah satunya dipicu oleh dompet yang kosong.

Rupanya inilah salah satu penyebabnya. Tadi pagi saat akan berangkat ke sekolah kegelisahan itu berlipat. Penyebabnya, motor saya macet. Saat dihidupkan electric starter hanya terdengar bunyi seperti nafas seseorang sedang mengidap bengek. 

Saya beralih ke starter manual. Masih sama. Tidak bisa hidup. Berulang kali saya mencoba sampai betis saya pegal macam orang telah mendaki jurang. Upaya ini tidak berhasil. Motor matic itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami putaran mesin dengan normal. Saya buka jok untuk mengontrol BBM-nya. Masih ada setengahnya.

Saya diambang putus asa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Sementara itu langit berkabut dan gerimis terus tunduk di bawah kuasa gravitasi. 

Saya jadi gabut, istilah remaja abad 21. Tentunya bukan gaji buta tetapi dirundung kebingungan. Mau dibawa ke bengkel, jaraknya cukup jauh. Uang di dompet saya juga sudah menemukan tuannya masing-masing.

Melihat saya gabut, istri saya yang juga harus ke sekolah, menawarkan sepeda motornya. Dia memilih menggunakan ojek karena jalur menuju ke sekolahnya cukup gampang menemukan tukang ojek. Berbeda dengan saya yang mengajar di tempat yang cenderung sulit mendapatkan jasa transportasi.

Saya pun berangkat. Masih dengan membawa kegelisahan. Di dalam dompet saya memang masih ada selembar 50 ribuan. Itu sedikit menekan rasa gabut itu. Tetapi ketika ingat motor yang mogok gabut itu datang lagi. Biaya ke bengkel belum ada. Belum lagi tagihan harian dari anak- anak saat tukang cilok. Uang ATM sudah mencapai angka yang tidak memungkinkan untuk melakukan penarikan.

Saya memaksakan diri tersenyum memandang dunia dan segala pernak perniknya. Setidaknya saya berupaya menekan kegabutan dari segala arah itu. 

Pada saat yang sama, ide menulis belum juga muncul. Bayangannya hilang sebagaimana hilangnya bayangan tentang sumber keuangan hari ini.

Seperti biasa sesampai di sekolah saya mengajar, mengikuti irama rutinitas harian sampai detik terakhir. Sampai akhirnya bel sekolah menjerit lirih pertanda pulang.

Saya tidak langsung pulang. Saya berpetualang dulu menyambangi beberapa teman untuk mencari pinjaman. Dalam perjalanan saya singgah di sebuah masjid untuk shalat Zuhur.

Usai shalat saya kembali merenung lalu membuka smartphone yang sudah mulai masuk fase usia senja. Saya mulai menuliskan cerita dan pengalaman hari ini. Saya terus menulis dan menulis.

Di akhir tulisan ini saya masih dalam kesadaran bahwa ide menulis itu tidak selalu hadir. Sebagaimana biasa setelah draft selesai saya membaca ulang beberapa kali. Beberapa diksi dan kalimat dalam tulisan saya mengalami perbaikan.

Pada akhirnya kisah hari ini selesai dalam sebuah tulisan. Tuan dan Nyonya mohon tidak menghakimi saya sedang mengeluh. Saya hanya sedang menghilangkan kegabutan, mensejahterakan diri dalam sebuah tulisan.

Tidak apa-apa kan? Jadi benarkah ide menulis itu datang dan ada dimana-mana dan kapan saja? Entahlah.

Lombok Timur, 15 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun