Mohon tunggu...
Moesijanti Soekatri
Moesijanti Soekatri Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Dosen pada Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes JakartaII

Pendidikan S3 bidang IlmuGizi,Profesor bidang Ilmu Gizi dari Poltekkes Kemenkes RI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"OVON" Alternatif Penting Atasi Stunting

14 April 2022   08:00 Diperbarui: 14 April 2022   08:09 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Sehat. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stunting tidak sekadar pendek secara fisik, tetapi lebih jauh lagi ia merupakan "investasi"  risiko patologis di kemudian hari. Stunting merupakan konsekuensi masa lalu yang  bersifat kronis, dimulai  saat pembuahan sel telur oleh sel sperma dalam kondisi sel telur tidak optimal akibat ibu kekurangan gizi. 

Meski kondisi itu masih bisa dikoreksi sesaat setelah bayi lahir hingga usia 2 tahun yang dikenal dengan masa emas (golden period), namun hal  "mengerikan" terjadi bersamaan dengan kejadian stunting semasa dalam kandungan ibu, yakni terjadinya hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ vital lainnya seperti otak, jantung, dan ginjal. 

Jadi, stunting tidak saja menyebabkan gagal tumbuh tetapi juga gagal kembang (kognitif). Bahkan dapat mengalami gangguan metabolisme tubuh yang meingkatkan risiko menderita penyakit tidak menular di kemudian hari.

Dalam penelitian SEANUTS (South East Asia Nutrition Survey), menunjukkan bahwa anak dengan status gizi pendek dan sangat pendek mempunyai dugaan penyimpangan perkembangan mental lambat berkisar 58,3 s.d. 60% pada usia 6 bulan sampai menjelang 1 tahun (0,99 tahun). 

Pada usia 1 s.d. 2,99 tahun, gangguan perkembangan mental mereka juga sama, anak dengan status gizi sangat pendek diduga mempunyai penyimpangan perkembangan mental lebih tinggi (30,2%) daripada yang pendek (17,8%).

Berdasarkan aspek biokimia, hasil studi SEANUTS menemukan pada anak usia 6 s.d. 59 bulan menunjukkan anak-anak yang sangat pendek memiliki kadar Hb (n= 1.008 anak) lebih rendah secara signifikan (p<0,001) daripada anak yang pendek dan normal. 

Konsentrasi serum retinol (mol/L; n=489 anak) menunjukkan anak dengan tinggi yang normal memiliki kadar retinol lebih tinggi ketimbang anak yang sangat pendek secara signifikan (p<0,012). 

Temuan lain dalam studi SEANUTS membuktikan bahwa anak dengan sosial ekonomi yang sangat rendah mempunyai panjang badan atau tinggi badan menurut umur (HAZ) lebih rendah secara signifikan (p<0,001) daripada anak dari keluarga sosial ekonomi yang lebih tinggi.

Status Sosial Keluarga sebagai Determinan Stunting

Jean-Pierre Habicht dari Cornell University dilansir dalam Lancet (1974) menyatakan bahwa: "Perbedaan antara anak prasekolah yang memiliki status gizi baik tetapi berbeda dalam latar belakang suku dan ras, perbedaan tinggi dan berat badannya relatif kecil, 3% untuk tinggi dan sekitar 6% untuk berat.  Akan tetapi anak-anak pra-sekolah yang berasal dari ras yang sama dan latar belakang geografis yang sama, tetapi hidup dalam kemiskinan, dan tinggal di kota dan desa di negara berkembang berbeda 12% dalam tinggi badan dan 30% dalam berat badan". 

Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan pertumbuhan anak prasekolah sangat berhubungan dengan status sosial berkali lipat daripada perbedaan ras saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun