Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga kekuatan sosial yang berperan penting dalam pendidikan, kemanusiaan, dan demokrasi.
Dalam kajian oleh Esty Ekawati (2018) berjudul Nahdlatul Ulama sebagai Civil Society di Indonesia, dijelaskan bahwa NU memiliki kemandirian tinggi terhadap negara dan berperan sebagai pengontrol sosial terhadap kebijakan publik. (Garuda Kemdikbud)
NU juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti saat pandemi COVID-19. Satgas NU Peduli COVID-19 menyalurkan bantuan kesehatan, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat terdampak. Ini menunjukkan bahwa civil society Islam tidak berhenti pada wacana, tapi nyata dalam aksi sosial. (Jurnal Comdev IAIN Kudus)
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah menampilkan wajah Islam yang rasional dan progresif. Menurut Ozi Setiadi (2021) dalam artikelnya di Jurnal Walisongo, Muhammadiyah membangun jaringan sosial yang kuat dan menjadi bagian dari critical network masyarakat. Gerakan ini bukan hanya mendirikan sekolah dan rumah sakit, tetapi juga aktif dalam wacana kebangsaan dan penegakan etika publik.
Muhammadiyah juga dikenal kritis terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Namun, tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara peran moral-keagamaan dan posisi politik praktis agar tidak kehilangan independensinya.
Tantangan Gerakan Civil Society Islam
Walaupun kontribusi organisasi Islam sangat besar, beberapa tantangan masih menghambat efektivitas gerakan civil society di Indonesia:
1. Kedekatan dengan Kekuasaan -- Beberapa organisasi Islam cenderung terlalu dekat dengan elit politik, sehingga kehilangan posisi kritisnya sebagai pengontrol negara.
2. Fragmentasi Internal -- Banyak ormas Islam bekerja di level lokal tanpa koordinasi yang kuat antarwilayah, sehingga gerakannya cenderung terpisah-pisah.
3. Keterbatasan Sumber Daya -- Ketergantungan pada dana eksternal sering membuat organisasi kurang mandiri dan mudah terpengaruh oleh kepentingan donor.