Di balik gerbang, ia menemukan ruang tak berbatas---seperti perpustakaan mimpi. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan dari masa kecilnya: saat ia menangis di sudut kamar, saat ia tertawa di bawah hujan, saat ia menatap langit dan bertanya, "Siapa aku sebenarnya?"
Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya tak terlihat jelas, tapi suaranya lembut dan dalam.
"Kau telah melampaui ketakutanmu, Mada. Tapi perjalananmu belum selesai. Kini kau harus menulis ulang bayanganmu, bukan untuk menghapusnya, tapi untuk memahaminya."
Lelaki itu menyerahkan sebuah pena yang terbuat dari bulu burung dan tinta dari air hujan pertama. Mada mulai menulis di udara, dan setiap kata yang ia tulis berubah menjadi bintang kecil yang melayang ke langit.
Â
Setelah menulis kata-kata yang berubah menjadi bintang, Mada mengikuti satu bintang yang jatuh perlahan ke tanah. Ia melangkah ke arah cahaya itu, dan mendapati dirinya berada di tengah padang kabut yang sunyi. Di sana berdiri sebuah cermin besar, tinggi menjulang, dengan bingkai dari akar pohon dan huruf-huruf Arab yang berkilau samar.
Mada mendekat. Di dalam cermin, ia melihat dirinya sendiri---lebih tua, lebih tenang, lebih bercahaya. Sosok itu mengenakan jubah abu-abu lembut, dan di belakangnya berdiri sosok iblis yang dulu mengejarnya. Tapi kini, iblis itu duduk bersila, tersenyum damai, seperti penjaga gerbang.
"Aku adalah kamu yang telah menerima semua luka, semua ketakutan, dan menjadikannya cahaya," kata Mada tua.
Mada muda terdiam. Ia ingin menangis, tapi tak ada air mata. Ia hanya merasa ringan, seolah beban yang ia bawa sejak kecil mulai menguap.
"Waktu bukan garis, Mada. Ia adalah lingkaran. Dan mimpi adalah pintu untuk menyentuh masa depan yang sudah menunggu."
Cermin itu bergetar, dan dari dalamnya keluar sebuah benda kecil: liontin berbentuk mandala, dengan titik cahaya di tengahnya. Mada menggenggamnya, dan tiba-tiba ia melihat kilasan masa depan: dirinya menulis di sebuah ruang sunyi.