Di sebuah kota kecil yang dibalut kabut pagi, seorang anak bernama Mada duduk bersila di dalam masjid tua. Dindingnya berlumut, namun udara di dalamnya terasa hangat dan penuh gema doa yang tak terdengar. Mada datang bukan untuk beribadah, tapi karena hatinya gelisah. Ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di sana---sesuatu yang sudah lama bersembunyi di balik bayangan.Â
Tiba-tiba, dari sudut gelap mihrab, muncul sosok tinggi berkulit hitam kelam, matanya menyala merah seperti bara api. Iblis. Tapi bukan iblis seperti dalam cerita dongeng. Sosok ini tampak mengenal Mada. Ia tidak berbicara, hanya menatap, seolah berkata: "Aku adalah bagian dari dirimu."
Mada panik. Ia berlari keluar masjid, dan tubuhnya terangkat ke udara. Ia terbang, melintasi menara, awan, dan langit yang berubah warna menjadi ungu pekat. Tapi iblis itu ikut terbang, mengejarnya tanpa suara, hanya dengan tatapan yang menusuk. Â
Mada terbang lebih tinggi, berharap bisa lolos. Tapi semakin jauh ia terbang, semakin dekat iblis itu. Hingga akhirnya, di atas awan yang membentuk lingkaran seperti mandala, Mada berhenti. Ia berbalik. Untuk pertama kalinya, ia menatap iblis itu tanpa rasa takut.
"Apa kau bagian dari aku?" tanya Mada.
Iblis itu tersenyum samar. "Aku adalah rasa takutmu. Aku adalah luka yang belum kau peluk. Aku adalah pintu menuju kekuatanmu." Â
Mada menutup mata. Ia menarik napas, dan dalam sekejap, tubuhnya menyatu dengan cahaya. Iblis itu lenyap, bukan karena dikalahkan, tapi karena diterima. Di langit masjid, Mada tidak lagi terbang untuk melarikan diri. Ia terbang untuk memahami.
Setelah menyatu dengan cahaya di langit masjid, Mada terbang perlahan turun, bukan ke tanah, tapi ke sebuah lingkaran awan yang membentuk mandala bercahaya. Di tengah mandala itu, muncul sebuah gerbang bercahaya yang terbuat dari huruf-huruf Arab yang melayang dan berputar. Setiap huruf memancarkan suara, seperti lantunan zikir yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Mada melangkah masuk.
Â
Di balik gerbang, ia menemukan ruang tak berbatas---seperti perpustakaan mimpi. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan dari masa kecilnya: saat ia menangis di sudut kamar, saat ia tertawa di bawah hujan, saat ia menatap langit dan bertanya, "Siapa aku sebenarnya?"
Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya tak terlihat jelas, tapi suaranya lembut dan dalam.
"Kau telah melampaui ketakutanmu, Mada. Tapi perjalananmu belum selesai. Kini kau harus menulis ulang bayanganmu, bukan untuk menghapusnya, tapi untuk memahaminya."
Lelaki itu menyerahkan sebuah pena yang terbuat dari bulu burung dan tinta dari air hujan pertama. Mada mulai menulis di udara, dan setiap kata yang ia tulis berubah menjadi bintang kecil yang melayang ke langit.
Â
Setelah menulis kata-kata yang berubah menjadi bintang, Mada mengikuti satu bintang yang jatuh perlahan ke tanah. Ia melangkah ke arah cahaya itu, dan mendapati dirinya berada di tengah padang kabut yang sunyi. Di sana berdiri sebuah cermin besar, tinggi menjulang, dengan bingkai dari akar pohon dan huruf-huruf Arab yang berkilau samar.
Mada mendekat. Di dalam cermin, ia melihat dirinya sendiri---lebih tua, lebih tenang, lebih bercahaya. Sosok itu mengenakan jubah abu-abu lembut, dan di belakangnya berdiri sosok iblis yang dulu mengejarnya. Tapi kini, iblis itu duduk bersila, tersenyum damai, seperti penjaga gerbang.
"Aku adalah kamu yang telah menerima semua luka, semua ketakutan, dan menjadikannya cahaya," kata Mada tua.
Mada muda terdiam. Ia ingin menangis, tapi tak ada air mata. Ia hanya merasa ringan, seolah beban yang ia bawa sejak kecil mulai menguap.
"Waktu bukan garis, Mada. Ia adalah lingkaran. Dan mimpi adalah pintu untuk menyentuh masa depan yang sudah menunggu."
Cermin itu bergetar, dan dari dalamnya keluar sebuah benda kecil: liontin berbentuk mandala, dengan titik cahaya di tengahnya. Mada menggenggamnya, dan tiba-tiba ia melihat kilasan masa depan: dirinya menulis di sebuah ruang sunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI