M Saiful Anam Yo, yo, yo, mas Eksan, benar, kan sdh sy bilang bgt. Apakah klo ada orang yg mngatakan pemimpin (formal) itu adalah "pelayan" rakyat, orang itu bermaksud mngatakan bhw pemimpin itu tdk mmiliki kekuasaan dan wewenang? Apakah klo, sekedar misal, Jokowi bilang bhw dia siap jadi pelayan warga DKI, yg dimaksudkan Jokowi adalah dia siap "melucuti" seluruh kekuasaan dan wewenang yg dimilikinya sbg gubernur DKI?
Mk, sekali lagi, mas Eksan, saya tdk bertanya, sama sekali TIDAK BERTANYA: mngapa pernyataan yg sedemikian elementer tampak bgt sulit sampean pahami!
10 Januari pukul 16:51 melalui seluler · Suka
·
Masykur Wahid Mas Moch Eksan, secara konstitusional mana ada kata MENANG dalam DEMOKRASI? Demokrasi ala Nasdem kaleeee...atau ala bgt? Sampena belajar ilmu politik di mana dan sama siapa sih???
·
Imam B. Jauhari Barangkali utk mnengahi sj; bhw mnurut paradigm teori konflik, konsep jabatan politik itu adalah suatu pndelegasian wewenang yg DIPAKSAKAN scr kolektif. Dr perspektif inilah muncul penguasa, pejabat publik, politisi & elit partai yg merasa punya kekuasaan, wewenang, dll yg harus dilayani oleh masy. Tp klo dr perspektif teori etika kantian, (imperatif kategoris itu) yg namax peminpin dgn wewenang yg dberikan itu hrs dgunakn sbesar2x utk ”melayani” masy. Krn dia jd pemimpin sbg pilihan sadar (kategaris) jadi dia harus mmpergunakan pilihan sadar itu utk melayani (imperatif). Tntunx dgn landasan2 uu yg sdh dsusun utk melayani. Klo imperatif kategoris ini betul2 diejawantah, maka smua politisi wajib lapar lebih dahulu dan kenyang belakangn. Sngat sulit mncari politisi sprti ini walau bukan mustahil d indonesia. Krn pilihan jd politisi d indonesia mayoritas ibarat mencari lowongn kmudian mndapatkan pekerjaan. Ini realitas stidaknya sebelum NasDem lahir mas moch Eksan. Jd, politisi sampai saat ini alih2, justru rakyatlah yg bnyak mati kelaparan, smentara pemimpinya mati kekenyangan. Smg nasdem bisa tampil beda.. Ini harapan saya despite I'm not sure it will comes true. Wallahu a'lam.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
10 Januari pukul 17:46 melalui · Suka
·
Imam B. Jauhari Bolehlah & trm kasih klo sy hrs belajar ilmu politik bbrp smster lg krn mgkn sy sdh agk lupa, krn waktu blajar ilmu politik awal thn 2000an di unpad memang trjd bnyk dinamika poltk smpe skrg. Akan ttpi klo tdk salah smua demokrasi perwakilan ddunia ini brsifat multi partai, dgn pngecualian adlh negara2 yg pseudo demokrasi sprt singapura & cina ato timur tngah. Tdk ada one party system ato dual party system, klo itu dbilang ada, pasti itu sistem otoriter sprt singpure, cina, rusia dll., krn negara2 mngutamakan stabilitas utk mnjdikan pmbngunan ekonomi sbg panglima. Jg sepanjang/spendek pengtahuan sy tdk ada sistem demokrasi prwakilan 2 partai. Mgkn mas eksan mlihat sistem politik di AS, yg sering dblow up media adlh head to head partai republik vs demokrat, pdhl partai lain sbg konstestan pemilu AS stidaknya ada 5 partai, tp kecil shg tdk trsorot media dsana, & sistem pemilihan umum tdk lgsg sprt d indo. Di AS stiap negara bagian mmpunya electoral college dgn jumlah trtntu ssuai dgn population density nya. Electoral college inilah yg memilih presiden. Dsuatu negara bagian dmana partai trtntu menang popular vote, maka seluruh electoral college negara bagian tsb diambil scr otomatis oleh sang pmenang. Dr situlah asal muasal kaidah ”the winner takes all” sprt yg sy sebut diatas. Kondsi di indonesia ktk menang dlm pemilu kurang lebih sama dgn kaedah diatas walaupun harus lewat koalisi. Sama dlm artian the ruling party yg mnguasai wewenang & mndistribusikanx hny kpd org2 yg dia khndaki. Dr sini munculah pertanyaan mndasar, klo memang knyataanya spt yg sy sbut diatas, apabila nasdem dtakdirkan sbg pmenang pmilu apakah mungkin bisa mentransendir realitas trsebut, & menerapkan prinsip positive sum game (bukan zero sum game), menerapkan imperatif kategoris dlm politik (bahasa cak anam; SAYYIDUL QOUMI KHODIMUHUM yg genuine), menerapkan prinsip MERITOKRASI politik tanpa pandang bulu, (spt cina, singapura, korsel menerapkan meritokrasi ekonomi shg bisa kompetitif dgn negara maju). Mungkinkah itu untuk nasdem? (pertanyaan ini berat, murni &jujur dr hati nurani sy, & yg penting juga tanpa dibuat ”seakan akan” sebuah pertanyaan yg gawat darurat tapi jawabanx sebetulx ”biasa2” sj, tdk sbgmana paloh. Hahahaha. Pis pis mas eksan..
Powered by Telkomsel BlackBerry®
10 Januari pukul 19:19 melalui · Suka
·
Moch Eksan Coba Mas Anam, baca dengan teliti komentar Mas Anam sendiri: "Setiap kader partai, sy rasa, bisa memilih apakah mau mmpersiapkan diri sbg penguasa atokah sbg pemimpin. Jk sbg pemimpin, tentu dia akan belajar mmposisikan diri sbg "buruh" ato "pelayan" rakyat. Krn dlm filosofi demokrasi, rakyak-lah pemilik kekuasan, pemimpin hny org yg sedang "dpercaya" mnjalankan kekuasaan milik rakyat itu. Tp klo mmilih sbg penguasa, tntu berbeda. Sangat!". Dari komentar Mas sangat jelas, kita diminta memilih untuk mempersiapkan diri sebagai penguasa atau sebagai pemimpin. Lagi2 sangat jelas, menghadap2kan secara diametral penguasa dan pemimpin. Padahal sejatinya satu. Disinilah titik perbedaan saya dalam memandangnya, dengan berbagai komentar di atas. Apakah Mas Anam sulit memahami komentarnya sendiri? Hahaha
10 Januari pukul 21:02 melalui seluler · Suka
·
Moch Eksan Alhamdulillah Mas Masykur, saya pernah jadi komisioner KPU selama 6 tahun Mas. Insya Allah itu lebih dari cukup, untuk memahami demokrasi secara konseptual, operasional dan teknis sekalipun. Dan, saya banyak menulis soal pemilu ini. Salah satunya, didokumentasikan menjadi buku yang diterbit bersama JPPR, judulnya: Fiqih Pemilu, Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi. Ngomong2, Masykur sudah berapa buku yang menulis soal politik? Bagi dong? Hahaha
10 Januari pukul 21:11 melalui seluler · Suka
·
Moch Eksan Maaf Mas Bonjol, kader2 Nasdem maju menjadi caleg bukan untuk mencari pekerjaan. Karena kita bukan pengangguran. Motivasi kita jelas, menjadi bagian dari gerakan perubahan di Indonesia. Nasdem jelas berbeda dengan 9 partai yang lain. Ini partai baru dan cara baru berpartai yang menjadi alternatif bagi pemilih yang tak menaruh kepercayaan pada partai yang ada. Sebagai satu2nya partai baru yang lolos, pemilih Indonesia sekurang2nya memiliki alternatif pilihan yang memberi harapan di tengah2 tak ada harapan. Semoga doamu terkabul kawan. Amien.
10 Januari pukul 21:27 melalui seluler · Suka
·
M Saiful Anam Tdk sulit saya kira mas Eksan, mmahami jawaban2 sampean. Tp dg pnjelasan sy berikutnya ditambah sebagian penjelasan bung IB Jauhari, seharusnya tdk sulit bg mas Eksan utk keluar dr "jebakan" semantik!
Gampangnya, karena substansi maksudnya sdh jelas dg penjelasan berikutnya, scr semantik bs sampean rumuskan sendiri: ooo.... Yg dimaksud mas Anam itu ternyata, mnjadi pemimpin (formal) yg benar2 sbg pemimpin, yakni, yg mnggunakan segenap kekuasaan dan wewenang yg dimilikinya sesuai ketentuan perat. & perund. yg berlaku, utk "melayani" rakyat; atau mnjadi pemimpin (formal) sbg penguasa, yakni, yg mnggunakannya BUKAN utk "melayani" (kepentingan) rakyat.
Demikian sulitkah mnghindarkan diri dr "jebakan" semantik sprt itu, mas Eksan...
10 Januari pukul 22:03 melalui seluler · Suka
·
Moch Eksan Benar Mas Bonjol, di AS bukan hanya ada 2 partai saja. Ada 5: di antaranya: Republican Party, Democratic Party, The Communist Party USA, Working Families Party, USA Party. Tapi sejak 1790an, AS dijalankan oleh 2 partai saja, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat. Hasil pemilu beberapa tahun terakhir juga mengkonfirmasi dominasi 2 partai tersebut. Misalnya: Tahun 2000, PD (212 kursi), PR (221 kursi), independen (2 kursi). Tahun 2002, PD (204 kursi), PR (229), independen (1 kursi). Tahun 2004, PD (202 kursi), PR (232 kursi), independen (1 kursi). Tahun 2006, PD (233 kursi), PR (202 kursi), independen 0. Tahun 2008, PD (178 kursi), PR (257 kursi), independen 0. Tahun 2010, PD (192 kursi), PR (240 kursi), independen (3 kursi). Dan seterusnya. Dari data2 Pemilu tersebut sangat jelas kan Mas Bonjol, AS menggunakan 2 partai. Proses pencalonan presidennya pun hanya diajukan oleh 2 partai ini saja. Selalu hanya ada 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden. Barangtentu dengan sistem sistem kepartaian seperti ini, pemenang mengambil semua itu mungkin secara sistemik. Tetapi dalam konteks ini, sangat mustahil secara sistemik pemenang pemilu legislatif mengambil semua. Partai politik pemenang pemilu sekalipun harus berkoalisi untuk memenuhi syarat presidensial threshold yang ditetapkan 20 persen kursi DPR minimal, atau 25 persen suara sah secara nasional. Dalam proses pencalonan kepala daerah juga berlaku hal yang sama. Kira2 Mas Bonjol faham kagak soal tehnis pemilihan macam ini? Kalau tak paham saya siap jadi bantu menjadi dosen asistennya Mas Bonjol. Hahaha
10 Januari pukul 22:58 melalui seluler · Suka
·
Moch Eksan Mohon ini dicatat Mas Bonjol, bila Nasdem menang, akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk merestorasi Indonesia. Di antaranya dengan melaksanakan 17 platform perjuangan: (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. (2) revitalisasi kelembagaan politik dan ketatanegaraan. (3) Memperkuat politik luar negeri. (4) mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. (5) membangun pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan. (6) mewujudkan kedaulatan energi. (7) menata kembali pengelolaan sumber daya alam nasional. (8) membangun industri berbasis iptek dan sistem inovasi nasional. (9) menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. (10) mewujudkan layanan pendidikan berkualitas dan terjangkau bagi semua. (11) mewujudkan layanan kesehatan berkualitas dan terjangkau bagi semua. (12) mengelola pertumbuhan penduduk, mewujudkan keluarga kecil sejahtera, pengentasan kemiskinan, dan mengoptimalkan peran wanita dan generasi muda. (13) mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama. (14) mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. (15) membangun kekuatan pertahanan dan keamanan nasional. (16) revitalisasi sistem perencanaan pembangunan, dan pengelolaan APBN. (17) mewujudkan birokrasi profesional dan bersih.
10 Januari pukul 23:18 melalui seluler · Suka
·
Moch Eksan Abegh, ternyata Mas Anam masih saja mempertentangkan pemimpin vs penguasa. Saya justru memandang sama. Pemimpin ya penguasa, dan penguasa ya pemimpin. Dalam melaksanakan itu semua, undang2 sudah mengatur secara rinci. UU lebih rinci daripada penjelasannya Mas Anam. Saya ambil yang jelas sekaligus mengikat. Cobalah Mas belajar pengertian kata pada Ketentuan Umum dalam setiap UU, sehingga bisa diterima semua. Hahaha.
Sabtu pukul 0:34 melalui seluler · Telah disunting · Suka
·
M Saiful Anam Luar biasa!!! Sebegitunya!!! Dengar mas Eksan yg pandai: sy menuyebut pemempin yg amanah (mnjalankan kekuasaan dan wewenang sbgmn diamanatkan perat-perund itu sbg "pemimpin" (sy kasih tanda petik aja biar bisa mmbedakan!), sdangkan pemimpin yg tidak amanah (berarti yg sebaliknya) saya sebut "penguasa". Dan juga (sekalian) raja!, dll. (Apakah sampaan akan terus "nyinyir" dg berdasarkan UU itu mnyebut saya ngawur karena di UU tdk ada yg namanya raja!)
Jumat pukul 0:37 melalui seluler · Suka
·
Imam B. Jauhari Ya ok lah silahkan tman2 berijtihad sendiri dgn preferensi politik ke depan, 10 partai yg ada ini pasti bilang bhw hny kecapnya yg no 1. Platform nasdem spt dsbut mas eksan diatas stlh sy amati sama sj dgn gerindra, PDIP, GOLKAR dan lainnya.. Sama dgn udang & kepiting.. Beda bentuk tp kalo dgoreng warnanya nanti sama2 merah.. Huahahaha.. Piss kawan..!
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Jumat pukul 4:02 melalui · Suka
·
Moch Eksan Weleh, weleh, weleh. Kok Mas Anam kelihatan sampai jengkel ya. Mas, memandang, pemimpin amanah sebagai "pemimpin" kan, sementara, Mas memandang pemimpin yang tak amanah sebagai "penguasa" kan. Saya memiliki pandangan yang berbeda dengan Mas. Boleh kan? Saya memandang pemimpin ya penguasa dan penguasa ya pemimpin. Sejatinya sama secara konseptual. Mas kekeh dengan pandangan Mas, saya juga sama. Saatnya, kita saling hormat-menghormati terhadap perbedaan tersebut. Bukan ini hal biasa Mas, apalagi dalam lapangan fiqih merimba-rua. Thok, thok, thok...
Sabtu pukul 0:37 melalui seluler · Telah disunting · Suka
·
Moch Eksan Mas Bonjol, betapa pun udang dan kepiting kalau digoreng sama2 merah, tapi rasa kan beda Mas. Walah, kok kian kabur dalam pentamstilannya ya. Begitu pula dengan Nasdem, Golkar, PDIP, Demokrat dan Gerindra Mas, boleh sama, partai nasionalis, tapi visi misinya rasanya jelas bila dilaksanakan. Bhok yao, sekali2 kuliner ideologi politiklah, biar terasa sensasi rasa politiknya. Hahaha
Sabtu pukul 0:38 melalui seluler · Telah disunting · Suka
·
M Saiful Anam Loh yo tentu toh mas Eksan, boleh beda pendapat... Cuma klo saya mmberi suatu sebutan, mbok disamakan dulu pemahamannya ttg substansi maksudnya menurut sy sbg orang yg mnyebutkan. Istilah bisa "diabaikan" krn keterbatasan alami bahasa. Sama halnya klo kawan dekat sampean, krn dekat, mnyebut/mmanggil sampean dg "Dul", ato "nDul" dg substansi maksudnya adlh yo sampean itu. Lalu sy tdk peduli dg yg dmaksudkan kawan dekat sampean itu dan sy brsikukuh bhw itu BUKAN "Dul" atopun "nDul" krn "menurut pendapat saya" dia (sampean) itu adalah Moch Eksan! Gini ini sy rasa bkn berbeda pndapat mas Eksan... Ini hny ibarat, tntu tdk sama persis seluruh aspeknya. Poin sampean bhw ada pemisahan di mata sy antar pnguasa dan pelayan, itu tdk benar dlm arti tdk sbgmn yg sy maksudkan.
Pnjelasan tambahan ini smg bs lbh mmperjelas: Yg sy sebut (pemimpin) dlm konteks prnyataan sy di atas adalah penguasa sekaligus pelayan rakyat yg baik. Baik dlm arti mnjalankan kewajiban, tggung-jwb. dsb. sbgmn dlm ketentuan UU yg sampean susah payah hafalkan itu & aturan linnya yg mngikat. Ini jg bs sy sebut dewa, pemimpin sejati, dll. Sdngkan, (penguasa) yg sy mksudkan adlh penguasa dan pelayan rakyat yg buruk. Buruk dlm arti tdk mnjalankan kewajiban, tggngjwb, dll sbgmn diatur UU, dsb itu, bisa demi mraih kekayaan, dll. Si (penguasa) brtindak sesuka selaranya. Sdemikian rupa shg seolah2 dia itu "penguasa" (tanda petik, loh!) yg bebas berbuat sekehendak hatinya, bukan pemimpin yg sgl kekuasaan & kewenangannya dibatasi aturan (UU, dsb). Selain sy sebut penguasa, pemimpin sprt ini bs saja juga sy sebut raja, pelawak, odong-odong, dll.
Nah, dgn pnjelasan ini, sy rasa sdh sewajar dan "se-rasional-nya" utk tdk terjebak pd istilah awal dlm sebutan saja. Jd, dg berorientasi pd substansi maksud yg sbenarnya sy mksudkan, smpean bs merobah sndiri istilah (pemimpin) di awal dg istilah pmimpin sejati, dewa, ato apalah saja. Sdgkn istilah (pnguasa) bs sampean robah dg raja, pelawak, dll. terserah. Ato, tetep saja tdk usah dirobah, tp istilah (penguasa) dan (pemimpin) yg sy sbutkan dipahami menurut substansinya. Nah, tentang substansinya inilah, perbedaan pendapat, jika ada, boleh2 aja... Ttg sebutan jg boleh, tp jgn sampai seperti kawan dekat sampean dan sy dlm ibarat td: dia "nge-Dul ria" sdgkn saya "nge-Moch Eksan ria" pdhl substansi yg dimaksud tdk ada perbedaannya!
Jumat pukul 8:02 melalui seluler · Suka
·
M Saiful Anam Bgt-lah mas Eksan, betapa trasa bagai hnya buang2 waktu sj klo kita terus mnerus terjebak ato mnjebakkan diri dlm persoalan semantik belaka...
Jumat pukul 8:53 melalui seluler · Suka
·
Sofhatin Humaidah Kayak nya sulit bisa ketemu dech antara dua kubu yg sedang aktif berdialog di sini. Satu nya lebih berbau poststructuralis satu nya positivis
Jumat pukul 12:19 · Suka · 1
·
Moch Eksan Mas Anam, semantik jangan diremehkan. Semantik itu mahapenting agar kata yang kita ucapkan atau tulis maknanya jelas dan tak bias. Apalagi menimbulkan salah pengertian karena penggunaan kata yang tak tepat. Dalam konteks semantik, ungkapan Mas Anas sangatlah salah, bahkan amat sangat fatal. "Pnjelasan tambahan ini smg bs lbh mmperjelas: Yg sy sebut (pemimpin) dlm konteks prnyataan sy di atas adalah penguasa sekaligus pelayan rakyat yg baik. Baik dlm arti mnjalankan kewajiban, tggung-jwb. dsb. sbgmn dlm ketentuan UU yg sampean susah payah hafalkan itu & aturan linnya yg mngikat. Ini jg bs sy sebut dewa, pemimpin sejati, dll. Sdngkan, (penguasa) yg sy mksudkan adlh penguasa dan pelayan rakyat yg buruk. Buruk dlm arti tdk mnjalankan kewajiban, tggngjwb, dll sbgmn diatur UU, dsb itu, bisa demi mraih kekayaan, dll. Si (penguasa) brtindak sesuka selaranya. Sdemikian rupa shg seolah2 dia itu "penguasa" (tanda petik, loh!) yg bebas berbuat sekehendak hatinya, bukan pemimpin yg sgl kekuasaan & kewenangannya dibatasi aturan (UU, dsb). Selain sy sebut penguasa, pemimpin sprt ini bs saja juga sy sebut raja, pelawak, odong-odong, dll". Dimana Mas Anam, sesuka hati menggunakan kata dan mengungkap maksud. Masak bisa penguasa yang baik bisa disebut "dewa", kemudian penguasa yang buruk disebut raja, pelawak, odong2. Mas Anang terbukti dan meyakinkan mengalami kekacauan semantik. Untuk mendudukan perbedaan pendapat saya dan Mas Anam lebih baik dikembalikan ke makna semantik yang sebenarnya.
Jumat pukul 14:07 melalui seluler · Telah disunting · Suka
·
Moch Eksan Semantik sebagai bidang yang mengkaji dan menganalisa makna kata, bisa digunakan mendudukkan makna kata pemimpin dan/atau penguasa. Keduanya kan "sinonim". Walaupun makna katanya bisa diperluas dengan melihat konteks kalimat, hubungannya dengan kebudayaan, dan bentuk makna kata yang lain. Semisal: sinonim, antonim, hiponim, meronim, polisim, homonim, homofon, dan homograf. Bukan begitu kawan?
Sabtu pukul 0:41 melalui seluler · Telah disunting · Suka
·
Moch Eksan Maaf Bu Sofhatin, walaupun kita berbeda, kita tetap satu jua. Sama2 mahasiswa Ibu, dan alumni STAIN Jember. Hahaha
Jumat pukul 14:04 melalui seluler · Suka
·