Mohon tunggu...
Moch Eksan
Moch Eksan Mohon Tunggu... -

Moch Eksan, lahir di Jember, 5 Maret 1975. Adalah putra ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Almarhum Maksum-Endang Yekti Utami. Tahun 1999, memperisteri Aida Lutfiah dan dikaruniai dua putra, Dzaki Rabbani Ramadhan (2004) dan Rizqina Syawala Fitri (2008).\r\n\r\nPendidikan dasar, menengah dan tinggi, semua ditempuh di kota kelahirannya sekaligus nyantri di pondok pesantren Nurul Islam Sempolan Jember dan pondok pesantren Miftahul Ulum Suren Jember. MI Nurul Islam Sempolan Jember (1987), MTs Miftahul Ulum Suren Jember (1990), MA Miftahul Ulum suren Jember (1993), dan STAIN Jember (1998). Sempat tiga semester, kuliah di Ilmu-ilmu Sosial Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya (2001-2002).\r\n\r\nAktif di organisasi semenjak masih sekolah sampai sekarang. Pernah menjadi ketua IPNU Ranting Sempolan (1992-1993), Ketua IPNU Anak Cabang Silo (1993-1994), Sekretaris Umum IPNU Cabang Jember (1994-1997), Ketua Bidang Kekaryaan HMI Cabang Jember Komisariat Sunan Ampel (1997-1998), Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Jember (1999-2000), Litbang LDNU Cabang Jember (2000-sekarang), Ketua Takmir Masjid Jihadil Muttaqien Karang Mluwo Mangli Jember (2007-sekarang), Presidium Majlis Daerah KAHMI Jember (2011-2016), Ketua DPD Partai Nasdem Jember (2011-2016).\r\n\r\nSejak semester lima, ia sudah bekerja sebagai pemandu "Titian Senja" Akbar Top FM (1996-1997). Menjadi Guru PPKn SMK Wali Songo Rambipuji Jember (1998-2000), Guru Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Tata Negara dan Sosiologi MAN I Jember (1999-2001), Guru PPKn MA Miftahul Ulum Suren Jember (1999-2001), dan Dosen Luar Biasa Bahasa Arab dan Ilmu Sharaf STAIN Jember (1999-2001). Dosen Ilmu Sosial dan Budaya Dasar FKIP UIJ (2007-2008), KPU Kabupaten Jember (2003-2009), menjadi pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Nurul Islam 2 Mangli Jembar (2003-sekarang) dan Pesantren Alam Pedepokan Aziziyah Sadeng Lewissadeng Bogor (2010-sekarang). Pernah dua bulan, mengasuh Pondok Pesantren Kiai Ageng Besari Kertosari Ponorogo (Maret-Mei 2003).\r\n\r\nPrestasi yang pernah diraih: Juara II Dakwah Pemuda IPNU-IPPNU Cabang Jember (1994), Juara II Diskusi P4 Antar Perguruan Tinggi se-Kabupaten Jember (1995), Juara II Diskusi P4 Antar Perguruan Tinggi se-Kabupaten Jember (1996), Juara I Lomba Penyuluhan Keluarga Sejahtera BKKBN Kabupaten Jember (1996), dan wisudawan Prestasi I STAIN Jember Tahun Akademik 1998/1999.\r\n\r\nAktif dalam forum diskusi, baik sebagai narasumber, moderator maupun sebagai peserta, serta menjadi penceramah dan khotib Masjid Jamik al-Falah Mangli Jember, Masjid Nurul Iman Mangli Jember, Masjid Nurul Yaqin Mangli Jember, Masjid Jihadil Muttaqin Mangli Jember, dan Masjid Sunan Ampel STAIN Jember.\r\n\r\nSelain itu juga aktif menulis di berbagai media massa. Artikel dan resensinya pernah dimuat di Kompas, Jawa Pos, Surya, Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, Duta Masyarakat, www.kompasiana.com, www.mediaindonesia.com, Radar Surabaya dan Radar Jember. Pernah tercatat sebaga penulis tetap Radar Jember setiap hari Kamis (2001-2002), redaktur khusus Tabloid Swara (2002-2004), staf ahli Majalah Khittah (2006-sekarang), penulis tetap Bulletin al-Baitul Amien sebulan sekali (2007-sekarang), dan redaktur www.1titk.com (2010-sekarang).\r\n\r\nKarya tulis yang pernah diterbitkan Kiai Kelana Biografi Kiai Muchith Muzadi (LKiS Jogyakarta, 2000), salah satu penulis dalam Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental, Sebuah pertarungan Wacana (elQAS Jogyakarta, 2003), dan salah satu penulis dalam KH Muhyiddin Abdsshomad dkk, Gus Yus dari Pesantren ke Senayan (Kerjasama PP Darus Sholah dan LTN NU Cabang Jember, 2005), Kaleidoskop Pemilu 2004 Kabupaten Jember, Jejak Langkah Demokrasi Kota Suwar Suwir (KPU Kabupaten Jember, 2006), Kaleidoskop Pemilu 2005, Dinamika Pilihan Langsung Kota Tembakau (KPU Kabupaten Jember, 2006), Fiqih Pemilu, Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi di Indonesia (Pesantren Mahasiswa Nuris 2 kerjasama dengan JPPR Jember, 2008). Pernah menjadi editor buku KH A Muchith Muzadi, Apa dan Bagaimana NU? (NU Cabang Jember, 2003), dan penyelia buku KH Muhyiddin Abdusshomad, Penuntun Qalbu, Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual (PP Nuris Jember dan Khalista Surabaya, 2005), kru editor KH A Muchith Muzadi dkk, Keluarga Sakinah Sebagai Media Penunjang Kesuksesan Pendidikan (LDNU Cabang Jember bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Jember, 2007). Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari akar Terorisme Di Tanah Air (LPM Filantrophy Studies bekerjasama dengan Pena Salsabila,2009), Dan Pergumulan NU, Islam & Keindonesiaan Menuju Islam Nasionalis (LPM Filantrophy Studies bekerjasama dengan Pena Salsabila, 2010).\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perihal Paloh dan Nasdem (Perdebatan Akademisi Vs Politisi)

14 Januari 2013   03:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:19 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah group di Facebook, Subversi Intelektual, terjadi perdebatan sengit antara akademisi vs politisi tentang Surya Paloh dan Partai NasDem. Perdebatan ini berawal dari status dari Imam B Jauhari pada wall FB tersebut.

Mas Bonjol, biasa Imam B Jauhari disapa, menulis status berikut: "Seorang pendiri partai yg biasa tampil menggebu, dengan ciri khas brewoknya dalam tiap kesempatan selalu saja melihat kondisi kebangsaan kita seakan-akan dalam kondisi gawat darurat. Katanya, keberIndonesiaan kita dengan 5 pilar kebangsaannya sudah mulai luntur dan berada pada titik nadir. Saya jad bingung, apa ya memang butuh restorasi yang kedengarannya gawat banget? Jadi ingat perestroika dan glasnost, atau Restorasi Meiji. Perasaan­ saya kok nggak ada masalah apa-apa ya dengan kebangsaan kita. Buktinya, subversi intelektual jalan terus, UMR naik gila-gilaan, upacara-upacara kebangsaan jalan terus, lagu-lagu kebangsaan terus didengungkan, NKRI untuk sementara kita sepakati sebagai harga mati, kebebasan sangat dijunjung tinggi, sampi jual bakso babi kalau nggak ketauan juga nggak apa-apa. Terus apa yang harus direstorasi ya teman-teman. Mungkin saya yang terlalu awam sehiggga tidak memahami RESTORASI KEBERINDONESIAN­ & RESTORASI LIMA PILAR KEBANGSAAN tersebut. Terus bagaimana dengan tukang odong-odong, tukang siomay, tukang becak dan tukang-tukang lainnya yang tiap hari lewat depan rumahku memahaminya ya...?"

Status Mas Bonjol di group yang beranggotakan 304 di atas, yang telah menimbulkan pro kontra terhadap keberadaan Paloh dan tentu juga Nasdem sebagai partai baru yang tiba-tiba menyodok partai-partai lama yang sudah mapan di parlemen. Pro kontra ini berkait dengan visi besar Paloh dalam melakukan restorasi Indonesia, agar Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya.

Perdebatan saya dengan teman-teman Subversi Intelektual ini, sangat menarik dan layak dibaca serta didiskusikan dengan yang lain. Perdebatan ini semacam "uji akademik" terhadap keshahehan visi restorasi Indonesia. Sebuah visi yang diperjuangkan Ormas Nasional Demokrat secara sosial, dan Partai Nasdem secara politik.

Saya sangat mengapresiasi saran dan masukan teman-teman, terutama sahabat saya, Mas Imam B Jauhari, Ibu Sofhatin Humaidah, Mas Nuruddin Jbr, Mas M Saiful Anam, Mas Rahadi Al Paluri, Mas Masykur Wahid,Mas Muhammad Khodafi,Masjid Nurul Muhajirin Vtb dan Mas Ahmad Syamsuddin dan lain sebagainya. Saran dan masukan ini sangat berharga untuk Partai Nasdem pada Pemilu 2014 mendatang. Di bawah ini, akan saya suguhkan perdebatan tersebut.

Imam B. Jauhari

Seorang pendiri partai yg biasa tampil menggebu, dgn ciri khas brewoknya dalam tiap ksempatan selalu saja melihat kondisi kebangsaan kita seakan akan dalam kondisi gawat darurat, katanya keberIndonesia-an kita dgn 5 pilar kbangsaanya sdh mulai luntur dan berada pada titik nadir. Saya jd bingung, apa ya memang butuh restorasi yg kedengaranx gawat banget.. Jd ingat perestroika dan glasnost, ato restorasi meiji..perasaan sy kok gk ada masalah apa2 ya dgn kbangsaan kita, buktinya, subversi intelektual jalan terus, UMR naik gila2an, upacara2 kbangsaan jalan terus.. Lagu2 kbangsaan trus ddengungkan, NKRI utk smentara kita spakati sbg harga mati, kbebasan sgt djunjung tinggi, smpe jual bakso babi klo gk ktauan jg gk paapa.. Terus apa yg hrs drestorasi ya tman2.. Mungkin sy yg terlalu awam shg tdk memahami RESTORASI KEBERINDONESIAN & RESTORASI LIMA PILAR KBANGSAAN tsb. Terus bgmn dgn tukang odong2, tukang siomay, tukang becak dan tukang2 lainnya yg tiap hari lewat dpn rumahku memahaminya ya...?


Top of Form

Suka Berhenti Mengikuti Kiriman · 4 Januari pukul 19:46 melalui seluler

Sofhatin Humaidah nama nya aja juga politikus, gimana supaya dapet menggaet perhatian publik

4 Januari pukul 19:51 · Suka

·

Nuruddin Jbr lebih jelasnya tanya pakar nya (cak Moch Eksan) hehehe

4 Januari pukul 21:22 · Telah disunting · Suka

·

Masjid Nurul Muhajirin Vtb gak ada yang emergency.....yang gawat kalo gaji PNS di - STOP- bisa kalangkabut dunia Indonesia...banyak PNS yang awalnya gendut menjadi kurus....PNS sekarang ini enak banget...gaji naik terus....turun sedikit langsung protes dan demo....hutang di Bank di perbesar...karena ada rumus kalo meninggal dianggap lunas karena ada ansuransinya....

5 Januari pukul 0:32 · Suka

·

Imam B. Jauhari Gk ada maksud sy menantang siapapun p. Nurudin. Cm sy merasa aneh dan gk ngerti aja dan sy yakin yg sama dgn sy buaanyak.. Bu sof, yg namanya politik, memang ”siapa mendapat apa, dgn cara bgmana” yg sy kritisi cuma ”lho ini org hidup normal2 aja, kok ddramatisir seakan akan komdisi kebangsaan qt gawat banget. Sy baru aja UPACARA HAB DEPAG sbg salah satu ritual kebeIndonesian sy, bulan desember 2012 lalu sy baru ikut diklat dkementrian pertanian, pada pembukaan dan penutupan ada upacara bendera lg, yg lucu setiap mau ada session pagi qt dsuruh nyanyi lagu kbangsaan. Tp ok lah gk masalah mau dianggap apapun kondisi kbangsaan qt.. Krn itu polikus dgn ideologi nasionalismenya, walau bgt poin kritisnya adalah; 1. Kondisi keberindonesiaan di atas menurut sngt misleading dan bukan pendidikan yg baik ttg demokrasi dan kejujuran. 2. Skrg asosiasi politik dan preferensi masy. Sdh berubah, kayakx tema2 kampanye politik seperti datas hny cocok utk kondsi keberIndonesiaan yg sdh jadul. Cocok pas reformsi 98. Ketika mega dan PDI trtindas dgn ideojogi nasionalismenya, tahun 2004, kondisi dan preferensi masy. Brubah lg, mereka ingin partai yg berideologi ”KESANTUNAN DAN KEGANTENGAN” yg dalam tradisi politik US terkenal dgn istilah ”Warren Harding error”. Dalam fase ini kmudian tampillah pak SBY sbg kampium. Tp 2013 -2014, kondisi dan politik masy. Berubah lg, mereka menginginkan ideologi ”KINERJA DAN KEJUJURAN”. Fenomena tampilx jokowi serta elektabilitas mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan, Jokowi dlm survei nasional capres 2014 stidaknya sdh mbuktikan tesis trsbut diatas. Aaaa.. Wallahu a'lam..

5 Januari pukul 5:05 melalui seluler · Suka

·

Sofhatin Humaidah tidak hanya 'siapa mendapat apa' tapi 'siapa mendapat siapa' juga dech kayak nya

5 Januari pukul 9:27 · Suka

·

Moch Eksan Istri saya memberi tahu, nama saya disebut dalam komentar teman2. Saya mengucapkan salut kepada teman2 mendiskusi soal "restorasi Paloh" di group ini. Terus terang, restorasi Indonesia sebagai gerakan politik terlihat dari Nasdem sebagai Ormas dan parpol sekaligus. Restorasi yang dimaksud Paloh lebih menekankan pada "perubahan mentalitas" bangsa ini. Kesan yang ditangkap Mas Bonjol lebih pada realitas permukaan saja, sementara realitas yang tersembunyi yang tak terungkap. Contoh paling kongkrit soal kedaulatan pangan. 9 bahan pokok, mulai dari beras, sayur dan buah, daging, gula, minyak goreng, susu, jagung, gas elpiji, garam, tak ada satu pun yang swasembada, sebagian untuk memenuhi kebutuhan nasional harus impor dari luar negeri. Kalau bidang pangan saja, kita tak berdaulat, bergantung pada luar negeri, bagaimana negeri ini tak muda didikte, bahkan dijajah oleh negera lain. Soal ini, saya telah menulis artikel, "Paloh, Krisis Pangan dan Platform Perjuangan Pertanian". Teman2 bisa buka link: http://m.kompasiana.com/post/agrobisnis/2012/12/28/paloh-krisis-pangan-dan-platform-perjuangan-pertanian/. Di bidang2 yang lain juga demikian.

Kompasiana

www.kompasiana.com

Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media)

9 Januari pukul 0:21 melalui seluler · Suka · Hapus Pratinjau

·

Moch Eksan Jadi, Paloh tak mendramatisir keadaan Indonesia. Sama sekali, tidak. Urgensi restorasi Indonesia didasarkan pada fakta2 keindonesiaan yang anomali. Yang mengharuskan, Indonesia kalau ingin berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, kondisi keindonesiaan tersebut. Teman2 kampus yang mestinya kritis terhadap kondisi keindonesiaan, bukan malah memaklumi anomali keindonesiaan yang kian jauh dari cita2 para pendiri bangsa ini. Dunia pendidikan juga nyata2 tak mampu memperbaiki kondisi bangsa melalui out put pendidikannya. Apalagi Kemenag, yang mesti menjadi penyangga moralitas bangsa, malah jadi sarang korupsi. Penyelenggaraan haji dikorupsi, hatta Alquran pun juga jadi ajang korupsi. Bukankah ini bagian dari anomali keindonesiaan Kawan? Hahaha

9 Januari pukul 0:42 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Restorasi bukanlah komoditi, untuk menggait massa. Ia adalah gerakan perubahan menuju Indonesia baru. Untuk itu, Nasdem lahir sebagai partai baru dan cara baru berpartai yang membangun komunikasi intens dengan masyarakat, melalui database keanggotaan yang online, dan pemberian santunan bagi anggota yang meninggal. Secara nasional, kita sudah membuktikan janji tersebut kepada ahli waris anggota yang meninggal. Sudah lebih dari 1500 yang menerima santunan. Jawa Timur rata2 100 orang per bulan. Dan Jember juga sudah beberapa. Itu bukti kecil, Nasdem ingin berbuat untuk rakyat, bukan hanya omdo saja kawan. Hahaha

9 Januari pukul 1:04 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Partai-partai kita, nyaris semuanya punya konsep2 bagus visi kemandirian, anti-korupsi, dll., trmasuk, yg sy amati partai baru sprt Nasdem. Sy rasa masy mnyambut baik semua konsep "kinclong" smisal itu. Yg masy merasa agak (ato, sangat?) "nek" (bosan) itu (sejauh pngamatan sy) adlh di praktik-nya, di pelaksanaannya.

Partai Nasdem bs mngumandangkan, misalnya, visi anti-korupsi. Tp, yg jg sngat ditunggu masy adalah tindakan nyatanya. Dlm konteks ini, bs aja diawali dr urusan rmh-tngganya sendiri. Sudahkah Partai Nasdem transparan dlm hal dana partai misalnya: dari mana dana didapat, legal ato illegal? Dll.

Jk praktik ato tindakan Partai Nasdem mnunjukkan tanda2 kuat sesuai (ato mngarah sesuai) dg konsep visi-misinya yg "jempol" itu, rakyat akan brbondong2 mndukung krn NASDEM dpercaya dapat (NA)ikkan (S)tatus dan (DE)rajat (M)asyarakat dlm kemakmuran dan keadilan. Tp klo sebaliknya, tindakan ato praktiknya berlawanan dg konsep visi-misinya itu, rakyat cepat ato lambat akan mnjauh krn rakyat bs saja mmpersepsi NASDEM sbg partai yg hny bikin "pa(NAS) (DE)mam (M)asyarakat" saja.

Yach... Semuanya kembali ke pihak Partai Nasdem sndiri, kawan, mau bagaimana...?

9 Januari pukul 8:41 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Sebuah testimoni, saat saya menyerahkan santunan kematian bagi anggota Nasdem di Tamansari Wuluhan, apa komentar jamaah tahlil. Nasdem ternyata memang "adem". Secara kultur, ini bentuk dukungan partai bagi keberlangsungan dan kelanjutan tradisi keagamaan yang berurat akar di masyarakat. Disamping, Partai ini juga ingin meringankan beban ahli waris dalam menjamu jamaah yang hadir dengan ikhlas mendoakan anggota keluarga yang meninggal. Testimoni ini bukti kecil dari keseriusan Partai ini dalam membangun komunikasi politik dengan rakyat. Dimana fungsi Partai sangatlah strategis dalam rangka menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Agar public policy dan aspirasi publik nyambung dan saling mencerminkan, komunikasi satu2nya jalur. Suatu persetubuhan inspiratif dan aspiratif antara elite dan massa konstituennya. Partai ini berkomitmen mendaulatkan kembali rakyat sebagai penguasa sejati negeri ini. Untuk mendorong visi besar tersebut, menyadari betul harus ditopang dengan pendanaan yang jelas, kuat dan halal. Tak ada partai yang diberi operasional dari DPP masing2. Bisa cek ke pimpinan partai yang lain. DPP mendroping operasional rata2 50 juta per bulan per propinsi, dan 10 juta per bulan bagi kabupaten/kota, dan sebentar lagi juga DPC. Selain bersumber dari DPP, berbagai kegiatan dibiayai dari swadaya politik pengurus, kader dan simpatisan yang merindukan perubahan mendasar di negeri ini. Pasca pengumuman 10 partai peserta pemilu 2014, termasuk Partai Nasdem satu2nya partai baru yang lolos, gelombangan dukungan masyarakat terghadap Partai ini kian terasa. Bahkan boleh jadi bulan2 ke depan menjadi aras perubahan negeri ini. Dukungan rakyat terdokumentasi dengan jelas, by nama by addres melalui database keanggotaan kita. Ini jelas sebuah sinyal, "semesta" memang mendukung gerakan perubahan di negeri ini. Doamu kawan, menyertai perjuangan kami...

9 Januari pukul 10:34 melalui seluler · Suka · 1

·

Rahadi Al Paluri dari perdebatan ini cukup jelas "siapa mendukung siapa dan siapa menggunakan paradigma apa dalam melihat kenyataan". klo Pak Imam B. Jauhari.. mengatakan bahwa bangsa kita ini tidak ada "apa-apa",mungkin cara pandangnya memang demikian. dan itu boleh-boleh saja dan tentunya dengan implikasi paradigma yang ".....he he...gimana ya?". tetapi apakah Partai Paloh akan mengatasi masalah bangsa ini, itu juga belum tentu juga... misalkan, Paloh mau melakukan pendidikan kebudayaan untuk merubah mentalitas bangsa ini... tetapi di kampung saya tidak pernah ada Nasdem mengajak diskusi kebangsaan... malah kalo mereka kumpul-kumpul trus ada kelompok aneh datang...malah dicurigai. gimana mau melakukan diskusi kebudayaan?..... hemzz.....

9 Januari pukul 11:22 · Suka · 1

·

Imam B. Jauhari sy sepakat dgn cak anam, artinya trend preferensi masy. Skrg sdh bukan lg program partai yg scr normatif sama bagusx.. Tp era kedepan adlh track record, kejujuran, & populis tdkx elit politik/partai. & masy bs mmbedakn mana populis & jujur yg natural dgn yg dbuat buat. Meng-exagerate kondsi kbangsan & mngeksploitasi seolah2 galau darurat dlm brbgai hal tmpakx kurang susuai dgn mslh kbngsaan yg btul2 real. Yg mas Eksan contohkn ttg kdaulatan pangan, korupsi, mental dll dlm kasus nasdem perlu dkritisi lebih lanjut. 1. Kdaulatan pangan, tdk smudah yg ducapkan. Krn dlm era global dmana trdpt tekanan pnduduk thdp lahan yg dmikian bsar khusus d indonesia, maka kbijakan yg diambil adlh ketahanan pangan (food stability) bukan kdaulatan pangan (food sovereignty). Hal ini akn mnjmin ktrsdiaan pangan nasional & mlindungi miskin kota (urban poor) yg sngt rntan. Efek ngatifx petani tdk berdaulat, krn trgntng penuh thdp prusahaan multinsional spt Monsanto, Pioneer dll.. 2. Pmbrntsan Korupsi bs dprcaya klo sdh ada track record jujur sblmx.. Tdk bs pake janji ”akan jujur” sprt mahfud, jokowi, pks. Bgmn track recrd tokoh 2 nasdem? Rata2 smua tokohx adalah pentolan partai golkar, demokrat, &PDIP, yg rata2 adalh barisan sakit hati smua. 3. Megubah mental dlm profanitas politik dmokrasi ala indonsia utk jngka pndek & mnengah rasax kok mimpi siang bolong. High cost politics yg dlm hitungn pak JK smpe 250 Triliun lbh tiap kali pemilu/kada, tlh mmbntuk mental zero sum game. Mental ini mnggurita dlm setiap lpisan masy, shg berakibat pd trbntukx praktek kotor tdk sj dlm ranah poltik tp jg dlm ranah yg sosial yg lain. Jd restorasi nasdem dlm hal ini hrs dmulai scr internal dan truji, sbgmana komen cak anam. Ala kulli hal bgmnpun jg qt hrs appresiasi thdp nasdem dgn ijtihad politiknya. Walaupun aktor2 elitx tetap tdk bs lepas dr wajah2 politisi yg sdh malang melintang dlm dunia politik indonesia baik sejak orde baru maupun orde reformasi. Wallahu a'lam. Sukses kang moh.Eksan..!
Powered by Telkomsel BlackBerry®

9 Januari pukul 12:10 melalui · Suka · 1

·

Masykur Wahid Bicara PARTAI kok bicara DUIT ya? Meski, itu salah satu indikator. Adakah PARTAI tanpa DUIT??? Klo boleh, kategorisasi, DUIT itu urusannya PEMERINTAH dan PENGUSAHA. Klo udah bicara DUIT, pergi aja ke LAUT...kik..kik..kik.. Apa Nabi Saw berpartai?

9 Januari pukul 14:16 · Suka · 1

·

Moch Eksan Paloh memang "ikon" Nasdem. Tetapi gerakan perubahan Indonesia tak semata bergantung kepada beliau seorang, ada jutaan kader inti platinum, kader inti, anggota dan simpatisan yang bercita2 sama merestorasi Indonesia. Memang benar Mas Rahadi, Paloh belum tentu melaksanakan janji2nya, akan tetapi juga belum tentu tak melaksanakan juga. Tapi kalau Mas Bonjol, Bu Sofhatin, Mas Anam, Mas Rahadi, sudah pasti sepastinya tak akan berkampuan untuk merestorasi Indonesia, bahkan cita2 pun tak punya untuk berjihad di jalur politik. Cita2 yang ada, bagaimana bisa guru besar, gaji naik, jadi dekan atau rektor aja. Udah puas. Hahaha. Tapi, Paloh adalah jenis manusia langkah yang ingin mendarmabhaktikan diri dan hartanya untuk melakukan perubahan mendasar di negeri ini. Beliau sudah terbukti dan teruji dedikasi dan loyalitasnya pada negeri ini. Kita terus terang tak sebanding dengan beliau. Seujung kuku sekalipun. Tokoh sekaliber beliau amat sangat mudah jadi menteri. Tak beliau memilih untuk memberikan kepada kader yang lain. Beliau lebih enjoy sebagai king maker daripada king itu sendiri. Orang semacam ini tak banyak di negeri ini. Kita para kadernya ingin mencontoh dalam perjuangan dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara. Bila ada kader yang menutup diri untuk berdialog, apalagi alergi terhadap golongan lain, jelas ini bukan kader menjiwai Paloh yang inklusif dan nasionalistik. Soal dialog kebudayaan, Eksan insya Allah siap 24 jam melayani anak bangsa dari berbagai agama, suku, budaya dan bahasa dalam mendiskusikan persoalan kebangsaan plus jalan keluarnya. Waktuku selalu tersedia untukmu kawan!!!

9 Januari pukul 16:55 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Saya boleh bertanya kepada Mas Bonjol, pernah kagak membaca semua visi misi partai yang ada, khususnya 10 partai politik peserta pemilu 2014? Jawabannya bisa dipasti, tak bakal pernah, apalagi melakukan studi ideologis komperatif. Semua partai yang ada dinilai bagus. Visi misi mana dari Golkar, yang bagus, begitu pula dengan PDIP, Demokrat, Nasdem, Gerindra, PKB, PPP, PKS, PAN, Hanura. Pasti tak bakalan bisa jawab, kecuali yang terungkap di media. Padahal, dalam tradisi penelitian sumber primer jauh lebih valid dan akurat daripada sumber sekunder. Bukan begitu kawan? Saat, STAIN buat "laboratorium" ideologi partai. Termasuk agama juga. Hahaha

9 Januari pukul 17:04 melalui seluler · Suka

·

Imam B. Jauhari Hahahaha.. Sy salut bang Moch Eksan ni.. Kerja politiknya betul2 gk setengah2. Sampe2 ”wrong or right is my paloh”. Kyknya klo nanti paloh jd presiden, pantasnya mas eksan ini jd menkominfox.. Mantap kawan?
Powered by Telkomsel BlackBerry®

9 Januari pukul 17:36 melalui · Suka

·

M Saiful Anam Wah wah wah... Mas Eksan... Cita2 kami berempat (Mas Bonjol, Bu Sofhatin, Mas Anam (saya sendiri), dan Mas Rahadi), di mata sampean kok kayak gitu... (Apa saya nggak salah baca bhw ini benar-benar dari Mas Eksan?)

9 Januari pukul 19:12 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Mas Eksan, bagaimana klo misalnya para guru mulai sekolah tingkat TK/SD sampai SMTA dan para dosen PT di seluruh Indonesia berhenti mngabdikan jiwa-raganya di dunia pendidikan, apakah Pak Paloh menurut sampean sanggup mlakukan apa yg sampean sebut sbg "perobahan mendasar di negeri ini"?

9 Januari pukul 19:26 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Bonjol tahu kagak terhadap program GP3K? Program pertanian pemerintah yang menginginkan agar Indonesia pada tahun 2014 mendatang surplus 10 juta ton beras. Tujuannya untuk apa? Jelas, pemerintah ingin swasembada beras seperti pada jaman Orde Baru. Swasembada beras ini bertujuan untuk ketahanan pangan sekaligus juga kedaulatan pangan. Pada 2012 ini, kebutuhan beras nasional 34 juta ton. Sementara hasil produksi beras, 38 juta ton. Artinya, kita surplus 4 juta ton. Tapi mengapa pemerintah masih harus impor beras? Tak tanggung2, pemerintan mengimpor beras 4,5 juta ton tahun 2012 kemarin. Apa kebijakan yang salah seperti ini harus dibiarkan, dan dianggap biasa2 saja. Padahal, jelas2 merugikan petani. Disinilah urgensi restorasi Indonesia yang digagas oleh Paloh. Bukankah sudah jelas kawan?

Kemarin jam 2:29 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Jangan terjebak pada filsafat nihilisme. Seakan2 tak ada stock orang jujur di negeri. Seakan2 tak ada orang yang bisa berantas korupsi. Padahal, banyak tokoh yang memberi harapan bagi perbaikan bangsa kedepan. Paloh salah satu yang memberi harapan tersebut. Track record jelas, beliau tak pernah terlibat skandal korupsi, disebut2 atau dikait2an pun juga nggak. Tak ada salah dengan tokoh2 Nasdem yang berasal dari Partai Golkar atau yang lain. Yang jelas salah orang yang menilai tokoh2 Nasdem adalah barisan sakit hati. Padahal, yang protolan partai lain bisa disebut dengan jari, Paloh memang eks Ketua Dewan Pembina Golkar, Ferry Mursyidan Baldan juga eks Golkar, Jeffry J Geovani juga sama. Zulvan Lindan eks anggota DPR PDIP. Sementara, tokoh2 yang lain adalah "anak-anak muda" yang merindukan perubahan negeri ini. Teliti dulu kawan sebelum komentar biar kuat...

9 Januari pukul 21:42 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Masykur, saya sekadar jawab komentar Mas Anam yang mempertanyakan sumber pendanaan Partai Nasdem. Apa yang salah? Yang salah yang ikut2 komentar dong. Hahaha

9 Januari pukul 21:50 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan ”wrong or right is my paloh”, saya tanya, apa yang salah dari Paloh? Saya bela Paloh berdasarkan pada data dan fakta, bukan yang lain. Karenanya, bila Nasdem menang, apalagi Paloh jadi presiden, saya pilih jadi menteri agama daripada menkoinfo. Biar jadi atasannya Prof Babun. Hahaha

9 Januari pukul 21:57 melalui seluler · Suka · 1

·

Moch Eksan Mas Anam, terus terang saya sangat menghargai profesi guru atau dosen. Tapi ketika teman berpersepsi buruk, apalagi penuh sahwasangka ke para politisi, saya hanya mendudukkan pokok soalnya kan? Biar sama2 menghargai. Kritis boleh, tapi mendasar, jangan asal. Saya ingat pepatah madura, "lakonnah lakonin, kenengenah kennengin, opanah openin" (pekerjaannya kerjakan, kedudukannya duduki, dan hasilnya pelihara). Bukan begitu kawan?

Kemarin jam 2:34 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Apa yang diandaikan oleh Mas Anam mustahil terjadi. Jangan di seluruh Indonesia, di STAIN tak bakalan ada yang berhenti jadi dosen semua. Kalau benar ada yang mau, yang mau mengganti lebih banyak Mas Anam. Paloh jelas tahu persis soal psikologi guru dan dosen soal masa depan pekerjaannya.

9 Januari pukul 22:07 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Sy tdk berpretensi buruk, mas Eksan. Justru sy ingin mngembangkan penjelasan awal sampean ttg Restorasi dan pak Palohnya. Scr konsep. Amatan saya: masy mmbutuhkan tindakan nyata. (jk ini benar, bukankan ini justru masukan berharga utk NasDem?) Dlm hal korupsi, masy butuh tindakan nyata-nya yg krn NasDem bukan partai penguasa bisa ditunjukkan dg bgmn pngelolaan keuangan partai. (Bukankah demikian ini biasa2 saja, tdk aneh, logis?) Jawaban awal yg sampeyan tunjukkan sy kira, dg uang DPP itu, sy kira bagus dlm arti jawaban sampean seolah mngatakan bgn: "dlm praktik, dlm hal visi anti-anti korupsi, yg kami lakukan ini lho `Mas Anam`...". Sampai di sini semua baik2 aja. Tdk ada sy kira pretensi buruk, sakwasangka dr saya. Hny pretensi kritis. Itupun kritis kecil-kecilan saja. Jawaban awal sampean juga baik. Bahkan sy ingin ngembangkan jawaban awal itu sebenarnya. Tapi...

Mas Eksan, saya yg dr dunia akademis aja ktk bertanya sedikit ttg pelaksanaan konsep visi-misi NasDem sudah dicurigai berprasangka-buruk, bgmn dg rakyat biasa?

Tentang guru/dosen: klo semua guru ato dosen khususnya bercita2 "memperbaiki bangsa" dg terjun ke politik seperti pak Paloh, ato, setidaknya berhenti saja bekerja sbg guru/dosen, bagaimana dg dunia pendidikan, siapa yg mngurus? (Ini intinya, sy brharap tdk disalah-pahami ttg ada ato tdk ada yg mau berhenti jd guru ato dosen).

10 Januari pukul 4:21 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, saya tak membaca komentar Mas yang berpretensi buruk. Tak ada. Cuma teman2 lain sarat dengan persepsi buruk tentang Paloh. Yang dibilang mendramatisir keadaan, untuk mengaitkan perhatian publik, pendidikan yang tak baik bagi demokrasi dan kejujuran, barisan sakit, dan semacamnya. Padahal, orasi politik Paloh seperti itu, ya memang style beliau yang berapi2. Tak cuman sekarang, beliau seperti itu, mulai masih di Golkar juga begitu. Coba dengar pidato2 beliau sebelum dan sesudah di Golkar. Sama. Sama berapi2. Clear kan? Saya pribadi sangat senang bila banyak masyarakat banyak bertanya soal visi misi Partai Nasdem. Senang banget. Perdebatan kita ini juga contoh nyata, nasdem menjadi "buah bibir" masyarakat luas. Termasuk para akademisi di STAIN ini. Nasdem sangat terbuka terhadap terhadap saran dan kritik. Tentu yang konstruktif, demi kejayaan Nasdem di masa depan. Nasdem menang, Indonesia jaya. Hahaha

10 Januari pukul 7:51 melalui seluler · Suka

·

Sofhatin Humaidah jadi nya kayak curi start kampanye nih? piizz mas Moch Eksan. Tapi jujur aku dari dulu lebih berharap mas Eksan jadi dosen ketimbang politisi, tapi lagi, mungkin bila di dunia politik bisa memberi manfaat lebih besar, ya udah aku ikhlas se ikhlas ikhlas nya melepas harapan

10 Januari pukul 8:01 · Suka

·

Moch Eksan Tak ada hari tanpa kampanye memang Ibu Sofhatin. Hahaha. Mohon maaf, cangkolang. Teman2 banyak yang tak mau saya jadi dosen STAIN Ibu. Khawatir seperti Paloh melakukan subversi intelektual. Hahaha. Mas Bonjol, Mas Anam jauh lebih layak jadi akademisi. Saya jadi politisi aja, sekali basah mandi sekalian. Dan, ternyata baru tahu hikmahnya tak jadi dosen. Hahaha. Kalau yang jadi dosen banyak, yang jadi ketua partai kan cuman 10 Jember. Saptono, Kusen, Ulum, Yantit, Masyhuri, Harjito, Evi, Lili, dan Eksan. Jadi eksklusif kan? Hahaha. Apa pun profesinya, yang penting karyanya demi kepentingan bangsa dan negara. Sukses selalu buat kita semua. Amien.

10 Januari pukul 8:32 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid Selain DUIT..bicara PARTAI, kok bicara MENANG!..Sungguh..bukan INDONESIA banget..

10 Januari pukul 9:00 · Suka

·

Moch Eksan Mas Masykur, yang Indonesia banget itu yang bagaimana?

10 Januari pukul 9:06 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid INDONESIA itu bukan arena untuk MENANG atau KALAH, Mas. Paham?

10 Januari pukul 9:08 · Suka

·

Moch Eksan Terus Pemilu di Indonesia itu untuk apa Mas Masykur?

10 Januari pukul 9:14 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid Kasih tahu ga ya????

10 Januari pukul 9:17 · Suka

·

Moch Eksan Hahaha

10 Januari pukul 9:22 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid Mas, PEMILU itu PEMILIHAN UMUM..Pemilihan itu berorintasi pada POSITIONING. Publik atau rakyat akan memosisikan diri di mana, dari mana, oleh siapa dan untuk apa. Jika..PARTAI untuk MENANG oleh DUIT dari NASDEM..Yo..BUBAR wae!!!! Ha..ha..ha..

10 Januari pukul 9:26 · Suka

·

Masykur Wahid Menjelang PEMILU, aku benar-benar kangen GUS DUR. Galau deh...Galau..galau..galau..karenamu, Gus. Semangat!!!

10 Januari pukul 9:31 · Suka

·

Moch Eksan Pemahaman Mas Masykur kurang tepat soal Pemilu. Coba Mas Masykur sekali2 baca Undang2 Pemilu. Jelas kok, sangat jelas. Pemilu DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota tujuannya jelas untuk memilih anggota dewan. Agar terpilih menjadi anggota dewan yang harus menang dan mengalahkan calon2 lain baik di eksternal partai maupun internal partai. Pemilu akan membabtiskan partai mana yang jadi pemenang, dan siapa yang terpilih menjadi anggota dewan. Bukan ini sudah sangat terang benerang, wilayah Indonesia yang terbagi ke dalam 89 daerah pemilihan adalah arena kompetisi politik yang melahirkan pemenang dan yang kalah. Nalar simantiknya mohon ditata dan runut kembali, biar tak mengalami kekacauan berfikir. Bercanda teman? Hahaha

10 Januari pukul 9:50 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid HA..HA..HA..HA..

10 Januari pukul 9:59 · Suka

·

Moch Eksan Untuk menjadi partai peserta pemilu aja, sulitnya bukan main Mas Masykur. Partai2 berbasis NU, misal PKNU, PKBIB, aja tak lolos, lho ini suruh dibubar sama Mas Masykur. Enak tenan. Nasdem bertekad tak sekadar ikut pemilu tapi bagaimana memenangkan Pemilu 2014. Hasil survey LSI yang terakhir, kita posisi keempat, di atas Gerindra, PAN, PKS, PPP, PKB, Hanura, dengan tingkat elektabilitas 5,9 persen. Data keanggotaan kita saat ini, udah lebih dari 5 juta anggota yang bersebar di seluruh Indonesia. Dan, insya Allah pada 31 Mei 2013 mendatang, sudah ada 25 juta anggota Nasdem di seluruh Nusantara. Bukan ini modal sosial dan politik untuk membumikan cita2 kita dalam merestorasi Indonesia menuju Indonesia yang lebih baik. Bagi Nasdem, uang bukanlah segala2nya untuk memangkan Pemilu 2014, tetapi segala2nya membutuhkan untuk memenangkannya. Bukan sudah jelas Mas Masykur? Hahaha

10 Januari pukul 10:11 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid KITA...????? Loe..kali!!!

10 Januari pukul 10:15 · Suka

·

Masykur Wahid Belajar BAHASA dulu..lalu, KAMPANYE, Mas. Canda. Ha..ha..ha..

10 Januari pukul 10:16 · Suka

·

Moch Eksan Terus terang, saya ini termasuk pengagum berat Gus Dur. Kekaguman saya tak sekadar diekspresikan dalam kata, tetapi juga dalam tulisan. Ini salah satu buktinya. Kale teman2 berminat baca link: http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2012/12/25/gus-dur-banser-dan-pengamanan-natal/. Sukses selalu buat kita semua. Amien.

Kompasiana

www.kompasiana.com

Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media)

10 Januari pukul 10:17 melalui seluler · Suka · Hapus Pratinjau

·

Moch Eksan Hahaha

10 Januari pukul 10:27 melalui seluler · Suka

·

Imam B. Jauhari walaupun bagaiamana kata kang moch Eksan, setidaknya sampai saat ini (bukan a priori yaa) tapi saya khususnya dan kayaknya mayoritas diam mungkin seperti yang ditunjukkan lembaga-lembaga survei itu, tetap saja "tidak percaya" pada pada platform dan perjuangan partai-partai yang ada ini khususnya di Indonesia. semua pasti mengatasnamakan rakyat, tapi rakyat yang mana? apakah rakyat yang seperti karpet merah itu? pas mau pemilu disanjung-sanjung, habis pemilu diinjak-injak.. waaaa. dimanapun partai dibentuk dalam rangka mengakumulasi kekuasaaan.. oleh karena itu pasti bicara menang-kalah.ketika menang maka parta x misalnya pasti akan menjalankan postulat berikutnya yaitu the winner takes all, karena itulah dasar demokrasi kepartaian. ketika ia menguasai semuanya sebagai pemenang maka ia akan memberlakukan naluri homo ekoconomicusnya. tidak ada orang yang begitu banyak mengeluarkan 'investasi politik' yang sedemikian besar tanpa profit outlook yang juga besar. semua partai/politisi pasti akan mengembalikan nilai investasi politik yang dikeluarkan tersebut tidak hanya sampai pada titik break even point, bahklan ia akan menjadikan politik sebagai alat produksi untuk mengakumulasi kekayaan kehormatan dan kekuasaan. ini sah2 sah saja. selama menaati "aturan main politik". tapi alih-alih menaati aturan main politik, yang terjadi semua partai baik di pusat maupun di daerah dengan semua politisinya menjadi katalisator "perampok uang rakyat yang terorganisir".. saya cuma berharap dengan daya kritisitas saya yang sempit ini, setidaknya bisa mengingatkan dan mengapresiasi kelahiran partai nasdem ini supaya tidak terjerumus dalam gerbong "perampok uang rakyat yang terorganisir di atas" ini juga cuma tasrif-an saya yang hanya mengamati fenomena selama ini yang berkembang. jadi saya kira wajar-wajar saja, saya juga tidak menghina atau menghujat siapapun.. walaupun harus kita kecualikan beberapa partai yang track recordnya agak bagus dengan sistem pengkaderan yang militan. wallahu a'lam..

10 Januari pukul 11:08 · Suka

·

Masykur Wahid DEMOKRASI itu tidak kenal MENANG atau KALAH, tapi MAYORITAS atau MINORITAS. Camkam wahai..pekerja PARTAI!!! Camkam juga, ini INDONESIA bukan arena KOMPETISI, tapi TANAH IBU PERTIWI untuk hidup nan damai menuju kehidupan akhirat surgawi. Ingat PANCASILA!

10 Januari pukul 11:43 · Suka

·

M Saiful Anam Sbg dosen, sy tdk merasa (scr filosofis & etik) lebih mulia dr pd para guru2 di seklh2 tk paut/tk/sd s.d smta, para supir angkot, petani/buruh tani, pedagang, dll., trmasuk para politisi. Kita sama2 mngabdikan diri pd profesi pilihan masing2 utk kemajuan hidup bersama sbg bangsa, di samping kemajuan hidup pribadi/keluarga.

Di kalangan para dosen STAIN Jember, sering terjadi perbincangan atopun diskusi ttg keprihatinan kami thd kondisi bangsa sbgmn Pak Paloh merasakannya dan mentransformasikannya dlm kerangka kerja2 politik praktis. Kami tdk bs persis sprt itu. Kami berusaha mntransformasikannya sesuai bidang profesi kami. Cita2 kami tdk sekedar uang (gaji), kekuasan (jabatan di kelembagaan kami), tp jg perbaikan kondisi bangsa, sbgmn pak Paloh dan segenap jajaran partai NasDem-nya. Begitulah, kita sama2. (Dlm konteks ini, klo mau ekstrim: bukan hny bhw akan banyak calon pnggantinya seandainya kami berhenti jadi dosen, tapi juga bhw akan banyak pnggantinya pula seandainya Pak Paloh dan jajaran partai NasDem berhenti atau mundur dari dunia politik di negeri kita!).

Setiap kader partai, sy rasa, bisa memilih apakah mau mmpersiapkan diri sbg penguasa atokah sbg pemimpin. Jk sbg pemimpin, tentu dia akan belajar mmposisikan diri sbg "buruh" ato "pelayan" rakyat. Krn dlm filosofi demokrasi, rakyak-lah pemilik kekuasan, pemimpin hny org yg sedang "dpercaya" mnjalankan kekuasaan milik rakyat itu. Tp klo mmilih sbg penguasa, tntu berbeda. Sangat!

10 Januari pukul 12:28 melalui seluler · Suka

·

Muhammad Khodafi Berilah kesempatan pada mereka yg ingin "memaknai" dan "membangun" demokrasi di negeri yang "relatif" muda demokrasinya ini.

10 Januari pukul 12:32 · Suka

·

Imam B. Jauhari Akhirnyaaa.. Thok to thok thok thok...kang masykur wahid mngeluarkan kalimat pamungkasya.. ”CAMKAN ITU WAHAI PEKERJA PARTAI.” hahaha.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

10 Januari pukul 12:34 melalui · Suka

·

Moch Eksan Mas Bonjol, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem multipartai, mustahil the winner takes all, sebab dalam proses pengajuan presiden atau kepala daerah, harus berkoalisi dengan partai lain, untuk memenuhi dukungan minimal. Juga koalisi dilakukan dalam rangka aliansi strategis untuk memperbesar potensi kemenangan. Selain, pasca terpilih mempermudah dalam melakukan komunikasi politik, terutama pembahasan dan pengambilan keputusan APBN, APBD, UU, Perda dan kebijakan publik yang lain. Mas Bonjol tak begitu faham soal sistem kepartaian secara menyeluruh. The winner takes all hanya berlaku di negara yang menggunakan one party system dan/atau two party system. Bukan multy party system seperti Indonesia. Contoh kongkrit, Demokrat memang pemenang pemilu 2009, tapi demokrat dalam mengusung calon presiden berkoalisi dengan yang lain, dengan PKS, PAN, PKB dan partai non parlemen lain. Dalam penyusunan kabinet juga melibatkan pimpinan koalisi partai, termasuk dalam pengambilan keputusan soal APBN, UU, dan kebijakan strategis negara lain. Mas Bonjol perlu kuliah 1 sementer lagi, minimal mengikuti matrikulasi soal sistem politik Indonesia, baru faham persis soal sistem kepartaian dan dampaknya secara sistemik.

Sabtu pukul 0:21 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Kurang fair Mas Bonjol, menyebut: "semua partai baik di pusat maupun di daerah dengan semua politisinya menjadi katalisator "perampok uang rakyat yang terorganisir". Ini benar2 tuduhan yang sangat serius. Bahwasannya ada partai yang terlibat kasus, memang benar. Bahwasannya ada anggota yang terlibat kasus korupsi, memang benar. Tapi, dibanding yang tak terlibat, kan lebih banyak. Nasdem berkomitmen untuk mencalonkan kader partai yang tak cacat hukum dan moral. Itu modal moral bagi Nasdem dalam merestotasi Indonesia. Doamu kawan!!!

10 Januari pukul 14:51 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Masykur, pernah belajar ilmu perbandingan politik kagak? Saya jamin pasti kagak. Kok bisa di dalam demokrasi tak mengenal menang dan kalah. Wong hampir setiap pemilu, pasti ada deklarasi siap menang dan siap kalah. Dalam term politik, istilah mayoritas itu berkait dengan dasar pemenangan, bila 50 persen plus 1. Bila kurang dari dari 50 persen plus 1, akan tetapi dasar pemenangan suara terbanyak, itu namanya pluralitas. Istilah mayoritas berkait dengan sistem presidensial dan one atau two party system. Sementara, istilah pluralitas terkait dengan sistem parlementer dan multy party system. Faham kawan? Hahaha.

Sabtu pukul 0:23 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, setiap pemimpin formal pasti memiliki kekuasan beserta kewenangannya, sebagaimana diatur oleh peraturan perundang2an. Salah besar membedakan antara pemimpin dan penguasa, padahal sejatinya, satu. Pemimpin ya penguasa, dan penguasa juga pemimpin. Dalam diri menyatu watak sebagai pelayan sekaligus pengendali. Presiden ya kepala negara sekaligus pemimpin pemerintahan, itu ibarat kata. Jadi, jangan memaksakan diri dalam memotret kepemimpinan dalam perspektif dekotomik. Bukan begitu kawan? Hahaha.

Sabtu pukul 0:25 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Makasih Mas Khadafi. Sukses selalu buat kita semua. Amien.

10 Januari pukul 15:34 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Saya bangga menjadi politisi, tapi saya juga bangga pernah jadi dosen. Walaupun dosen luar biasa di STAIN Jember dan FKIP UIJ. Hahaha

10 Januari pukul 15:46 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Benar, mas Eksan, namanya pemimpin formal bgt. Dan klo ada orang mngatakan pemimpin adalam "pelayan" rakyat, apakah sampean pahami itu artinya bhw ia (sbg pemimpin) bisa disuruh apapun sesuka rakyat sbgmn aslinya pelayan (tanpa tanda kutip) yg tak punya kekuasaan dan wewenang? Mengapakah pernyataan yg demikian elementar tampak begitu sulit sampaean pahami Mas Eksa?

10 Januari pukul 16:15 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, pemimpin formal itu tak selamanya pelayan Mas. Melekat di dirinya itu tugas, tanggungjawab dan wewenang yang diatur secara rinci dalam peraturan perundang2an. Coba Mas Anam baca UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalamnya sudah jelas pasal-pasal yang mengatur hal2 tersebut. Apa perlu saya sebut pasalnya Mas Anam?.

10 Januari pukul 16:31 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Yo, yo, yo, mas Eksan, benar, kan sdh sy bilang bgt. Apakah klo ada orang yg mngatakan pemimpin (formal) itu adalah "pelayan" rakyat, orang itu bermaksud mngatakan bhw pemimpin itu tdk mmiliki kekuasaan dan wewenang? Apakah klo, sekedar misal, Jokowi bilang bhw dia siap jadi pelayan warga DKI, yg dimaksudkan Jokowi adalah dia siap "melucuti" seluruh kekuasaan dan wewenang yg dimilikinya sbg gubernur DKI?

Mk, sekali lagi, mas Eksan, saya tdk bertanya, sama sekali TIDAK BERTANYA: mngapa pernyataan yg sedemikian elementer tampak bgt sulit sampean pahami!

10 Januari pukul 16:51 melalui seluler · Suka

·

Masykur Wahid Mas Moch Eksan, secara konstitusional mana ada kata MENANG dalam DEMOKRASI? Demokrasi ala Nasdem kaleeee...atau ala bgt? Sampena belajar ilmu politik di mana dan sama siapa sih???

10 Januari pukul 16:55 · Suka

·

Imam B. Jauhari Barangkali utk mnengahi sj; bhw mnurut paradigm teori konflik, konsep jabatan politik itu adalah suatu pndelegasian wewenang yg DIPAKSAKAN scr kolektif. Dr perspektif inilah muncul penguasa, pejabat publik, politisi & elit partai yg merasa punya kekuasaan, wewenang, dll yg harus dilayani oleh masy. Tp klo dr perspektif teori etika kantian, (imperatif kategoris itu) yg namax peminpin dgn wewenang yg dberikan itu hrs dgunakn sbesar2x utk ”melayani” masy. Krn dia jd pemimpin sbg pilihan sadar (kategaris) jadi dia harus mmpergunakan pilihan sadar itu utk melayani (imperatif). Tntunx dgn landasan2 uu yg sdh dsusun utk melayani. Klo imperatif kategoris ini betul2 diejawantah, maka smua politisi wajib lapar lebih dahulu dan kenyang belakangn. Sngat sulit mncari politisi sprti ini walau bukan mustahil d indonesia. Krn pilihan jd politisi d indonesia mayoritas ibarat mencari lowongn kmudian mndapatkan pekerjaan. Ini realitas stidaknya sebelum NasDem lahir mas moch Eksan. Jd, politisi sampai saat ini alih2, justru rakyatlah yg bnyak mati kelaparan, smentara pemimpinya mati kekenyangan. Smg nasdem bisa tampil beda.. Ini harapan saya despite I'm not sure it will comes true. Wallahu a'lam.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

10 Januari pukul 17:46 melalui · Suka

·

Imam B. Jauhari Bolehlah & trm kasih klo sy hrs belajar ilmu politik bbrp smster lg krn mgkn sy sdh agk lupa, krn waktu blajar ilmu politik awal thn 2000an di unpad memang trjd bnyk dinamika poltk smpe skrg. Akan ttpi klo tdk salah smua demokrasi perwakilan ddunia ini brsifat multi partai, dgn pngecualian adlh negara2 yg pseudo demokrasi sprt singapura & cina ato timur tngah. Tdk ada one party system ato dual party system, klo itu dbilang ada, pasti itu sistem otoriter sprt singpure, cina, rusia dll., krn negara2 mngutamakan stabilitas utk mnjdikan pmbngunan ekonomi sbg panglima. Jg sepanjang/spendek pengtahuan sy tdk ada sistem demokrasi prwakilan 2 partai. Mgkn mas eksan mlihat sistem politik di AS, yg sering dblow up media adlh head to head partai republik vs demokrat, pdhl partai lain sbg konstestan pemilu AS stidaknya ada 5 partai, tp kecil shg tdk trsorot media dsana, & sistem pemilihan umum tdk lgsg sprt d indo. Di AS stiap negara bagian mmpunya electoral college dgn jumlah trtntu ssuai dgn population density nya. Electoral college inilah yg memilih presiden. Dsuatu negara bagian dmana partai trtntu menang popular vote, maka seluruh electoral college negara bagian tsb diambil scr otomatis oleh sang pmenang. Dr situlah asal muasal kaidah ”the winner takes all” sprt yg sy sebut diatas. Kondsi di indonesia ktk menang dlm pemilu kurang lebih sama dgn kaedah diatas walaupun harus lewat koalisi. Sama dlm artian the ruling party yg mnguasai wewenang & mndistribusikanx hny kpd org2 yg dia khndaki. Dr sini munculah pertanyaan mndasar, klo memang knyataanya spt yg sy sbut diatas, apabila nasdem dtakdirkan sbg pmenang pmilu apakah mungkin bisa mentransendir realitas trsebut, & menerapkan prinsip positive sum game (bukan zero sum game), menerapkan imperatif kategoris dlm politik (bahasa cak anam; SAYYIDUL QOUMI KHODIMUHUM yg genuine), menerapkan prinsip MERITOKRASI politik tanpa pandang bulu, (spt cina, singapura, korsel menerapkan meritokrasi ekonomi shg bisa kompetitif dgn negara maju). Mungkinkah itu untuk nasdem? (pertanyaan ini berat, murni &jujur dr hati nurani sy, & yg penting juga tanpa dibuat ”seakan akan” sebuah pertanyaan yg gawat darurat tapi jawabanx sebetulx ”biasa2” sj, tdk sbgmana paloh. Hahahaha. Pis pis mas eksan..
Powered by Telkomsel BlackBerry®

10 Januari pukul 19:19 melalui · Suka

·

Moch Eksan Coba Mas Anam, baca dengan teliti komentar Mas Anam sendiri: "Setiap kader partai, sy rasa, bisa memilih apakah mau mmpersiapkan diri sbg penguasa atokah sbg pemimpin. Jk sbg pemimpin, tentu dia akan belajar mmposisikan diri sbg "buruh" ato "pelayan" rakyat. Krn dlm filosofi demokrasi, rakyak-lah pemilik kekuasan, pemimpin hny org yg sedang "dpercaya" mnjalankan kekuasaan milik rakyat itu. Tp klo mmilih sbg penguasa, tntu berbeda. Sangat!". Dari komentar Mas sangat jelas, kita diminta memilih untuk mempersiapkan diri sebagai penguasa atau sebagai pemimpin. Lagi2 sangat jelas, menghadap2kan secara diametral penguasa dan pemimpin. Padahal sejatinya satu. Disinilah titik perbedaan saya dalam memandangnya, dengan berbagai komentar di atas. Apakah Mas Anam sulit memahami komentarnya sendiri? Hahaha

10 Januari pukul 21:02 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Alhamdulillah Mas Masykur, saya pernah jadi komisioner KPU selama 6 tahun Mas. Insya Allah itu lebih dari cukup, untuk memahami demokrasi secara konseptual, operasional dan teknis sekalipun. Dan, saya banyak menulis soal pemilu ini. Salah satunya, didokumentasikan menjadi buku yang diterbit bersama JPPR, judulnya: Fiqih Pemilu, Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi. Ngomong2, Masykur sudah berapa buku yang menulis soal politik? Bagi dong? Hahaha

10 Januari pukul 21:11 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Maaf Mas Bonjol, kader2 Nasdem maju menjadi caleg bukan untuk mencari pekerjaan. Karena kita bukan pengangguran. Motivasi kita jelas, menjadi bagian dari gerakan perubahan di Indonesia. Nasdem jelas berbeda dengan 9 partai yang lain. Ini partai baru dan cara baru berpartai yang menjadi alternatif bagi pemilih yang tak menaruh kepercayaan pada partai yang ada. Sebagai satu2nya partai baru yang lolos, pemilih Indonesia sekurang2nya memiliki alternatif pilihan yang memberi harapan di tengah2 tak ada harapan. Semoga doamu terkabul kawan. Amien.

10 Januari pukul 21:27 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Tdk sulit saya kira mas Eksan, mmahami jawaban2 sampean. Tp dg pnjelasan sy berikutnya ditambah sebagian penjelasan bung IB Jauhari, seharusnya tdk sulit bg mas Eksan utk keluar dr "jebakan" semantik!

Gampangnya, karena substansi maksudnya sdh jelas dg penjelasan berikutnya, scr semantik bs sampean rumuskan sendiri: ooo.... Yg dimaksud mas Anam itu ternyata, mnjadi pemimpin (formal) yg benar2 sbg pemimpin, yakni, yg mnggunakan segenap kekuasaan dan wewenang yg dimilikinya sesuai ketentuan perat. & perund. yg berlaku, utk "melayani" rakyat; atau mnjadi pemimpin (formal) sbg penguasa, yakni, yg mnggunakannya BUKAN utk "melayani" (kepentingan) rakyat.

Demikian sulitkah mnghindarkan diri dr "jebakan" semantik sprt itu, mas Eksan...

10 Januari pukul 22:03 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Benar Mas Bonjol, di AS bukan hanya ada 2 partai saja. Ada 5: di antaranya: Republican Party, Democratic Party, The Communist Party USA, Working Families Party, USA Party. Tapi sejak 1790an, AS dijalankan oleh 2 partai saja, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat. Hasil pemilu beberapa tahun terakhir juga mengkonfirmasi dominasi 2 partai tersebut. Misalnya: Tahun 2000, PD (212 kursi), PR (221 kursi), independen (2 kursi). Tahun 2002, PD (204 kursi), PR (229), independen (1 kursi). Tahun 2004, PD (202 kursi), PR (232 kursi), independen (1 kursi). Tahun 2006, PD (233 kursi), PR (202 kursi), independen 0. Tahun 2008, PD (178 kursi), PR (257 kursi), independen 0. Tahun 2010, PD (192 kursi), PR (240 kursi), independen (3 kursi). Dan seterusnya. Dari data2 Pemilu tersebut sangat jelas kan Mas Bonjol, AS menggunakan 2 partai. Proses pencalonan presidennya pun hanya diajukan oleh 2 partai ini saja. Selalu hanya ada 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden. Barangtentu dengan sistem sistem kepartaian seperti ini, pemenang mengambil semua itu mungkin secara sistemik. Tetapi dalam konteks ini, sangat mustahil secara sistemik pemenang pemilu legislatif mengambil semua. Partai politik pemenang pemilu sekalipun harus berkoalisi untuk memenuhi syarat presidensial threshold yang ditetapkan 20 persen kursi DPR minimal, atau 25 persen suara sah secara nasional. Dalam proses pencalonan kepala daerah juga berlaku hal yang sama. Kira2 Mas Bonjol faham kagak soal tehnis pemilihan macam ini? Kalau tak paham saya siap jadi bantu menjadi dosen asistennya Mas Bonjol. Hahaha

10 Januari pukul 22:58 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mohon ini dicatat Mas Bonjol, bila Nasdem menang, akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk merestorasi Indonesia. Di antaranya dengan melaksanakan 17 platform perjuangan: (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. (2) revitalisasi kelembagaan politik dan ketatanegaraan. (3) Memperkuat politik luar negeri. (4) mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. (5) membangun pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan. (6) mewujudkan kedaulatan energi. (7) menata kembali pengelolaan sumber daya alam nasional. (8) membangun industri berbasis iptek dan sistem inovasi nasional. (9) menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. (10) mewujudkan layanan pendidikan berkualitas dan terjangkau bagi semua. (11) mewujudkan layanan kesehatan berkualitas dan terjangkau bagi semua. (12) mengelola pertumbuhan penduduk, mewujudkan keluarga kecil sejahtera, pengentasan kemiskinan, dan mengoptimalkan peran wanita dan generasi muda. (13) mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama. (14) mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. (15) membangun kekuatan pertahanan dan keamanan nasional. (16) revitalisasi sistem perencanaan pembangunan, dan pengelolaan APBN. (17) mewujudkan birokrasi profesional dan bersih.

10 Januari pukul 23:18 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Abegh, ternyata Mas Anam masih saja mempertentangkan pemimpin vs penguasa. Saya justru memandang sama. Pemimpin ya penguasa, dan penguasa ya pemimpin. Dalam melaksanakan itu semua, undang2 sudah mengatur secara rinci. UU lebih rinci daripada penjelasannya Mas Anam. Saya ambil yang jelas sekaligus mengikat. Cobalah Mas belajar pengertian kata pada Ketentuan Umum dalam setiap UU, sehingga bisa diterima semua. Hahaha.

Sabtu pukul 0:34 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

M Saiful Anam Luar biasa!!! Sebegitunya!!! Dengar mas Eksan yg pandai: sy menuyebut pemempin yg amanah (mnjalankan kekuasaan dan wewenang sbgmn diamanatkan perat-perund itu sbg "pemimpin" (sy kasih tanda petik aja biar bisa mmbedakan!), sdangkan pemimpin yg tidak amanah (berarti yg sebaliknya) saya sebut "penguasa". Dan juga (sekalian) raja!, dll. (Apakah sampaan akan terus "nyinyir" dg berdasarkan UU itu mnyebut saya ngawur karena di UU tdk ada yg namanya raja!)

Jumat pukul 0:37 melalui seluler · Suka

·

Imam B. Jauhari Ya ok lah silahkan tman2 berijtihad sendiri dgn preferensi politik ke depan, 10 partai yg ada ini pasti bilang bhw hny kecapnya yg no 1. Platform nasdem spt dsbut mas eksan diatas stlh sy amati sama sj dgn gerindra, PDIP, GOLKAR dan lainnya.. Sama dgn udang & kepiting.. Beda bentuk tp kalo dgoreng warnanya nanti sama2 merah.. Huahahaha.. Piss kawan..!
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat pukul 4:02 melalui · Suka

·

Moch Eksan Weleh, weleh, weleh. Kok Mas Anam kelihatan sampai jengkel ya. Mas, memandang, pemimpin amanah sebagai "pemimpin" kan, sementara, Mas memandang pemimpin yang tak amanah sebagai "penguasa" kan. Saya memiliki pandangan yang berbeda dengan Mas. Boleh kan? Saya memandang pemimpin ya penguasa dan penguasa ya pemimpin. Sejatinya sama secara konseptual. Mas kekeh dengan pandangan Mas, saya juga sama. Saatnya, kita saling hormat-menghormati terhadap perbedaan tersebut. Bukan ini hal biasa Mas, apalagi dalam lapangan fiqih merimba-rua. Thok, thok, thok...

Sabtu pukul 0:37 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Mas Bonjol, betapa pun udang dan kepiting kalau digoreng sama2 merah, tapi rasa kan beda Mas. Walah, kok kian kabur dalam pentamstilannya ya. Begitu pula dengan Nasdem, Golkar, PDIP, Demokrat dan Gerindra Mas, boleh sama, partai nasionalis, tapi visi misinya rasanya jelas bila dilaksanakan. Bhok yao, sekali2 kuliner ideologi politiklah, biar terasa sensasi rasa politiknya. Hahaha

Sabtu pukul 0:38 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

M Saiful Anam Loh yo tentu toh mas Eksan, boleh beda pendapat... Cuma klo saya mmberi suatu sebutan, mbok disamakan dulu pemahamannya ttg substansi maksudnya menurut sy sbg orang yg mnyebutkan. Istilah bisa "diabaikan" krn keterbatasan alami bahasa. Sama halnya klo kawan dekat sampean, krn dekat, mnyebut/mmanggil sampean dg "Dul", ato "nDul" dg substansi maksudnya adlh yo sampean itu. Lalu sy tdk peduli dg yg dmaksudkan kawan dekat sampean itu dan sy brsikukuh bhw itu BUKAN "Dul" atopun "nDul" krn "menurut pendapat saya" dia (sampean) itu adalah Moch Eksan! Gini ini sy rasa bkn berbeda pndapat mas Eksan... Ini hny ibarat, tntu tdk sama persis seluruh aspeknya. Poin sampean bhw ada pemisahan di mata sy antar pnguasa dan pelayan, itu tdk benar dlm arti tdk sbgmn yg sy maksudkan.

Pnjelasan tambahan ini smg bs lbh mmperjelas: Yg sy sebut (pemimpin) dlm konteks prnyataan sy di atas adalah penguasa sekaligus pelayan rakyat yg baik. Baik dlm arti mnjalankan kewajiban, tggung-jwb. dsb. sbgmn dlm ketentuan UU yg sampean susah payah hafalkan itu & aturan linnya yg mngikat. Ini jg bs sy sebut dewa, pemimpin sejati, dll. Sdngkan, (penguasa) yg sy mksudkan adlh penguasa dan pelayan rakyat yg buruk. Buruk dlm arti tdk mnjalankan kewajiban, tggngjwb, dll sbgmn diatur UU, dsb itu, bisa demi mraih kekayaan, dll. Si (penguasa) brtindak sesuka selaranya. Sdemikian rupa shg seolah2 dia itu "penguasa" (tanda petik, loh!) yg bebas berbuat sekehendak hatinya, bukan pemimpin yg sgl kekuasaan & kewenangannya dibatasi aturan (UU, dsb). Selain sy sebut penguasa, pemimpin sprt ini bs saja juga sy sebut raja, pelawak, odong-odong, dll.

Nah, dgn pnjelasan ini, sy rasa sdh sewajar dan "se-rasional-nya" utk tdk terjebak pd istilah awal dlm sebutan saja. Jd, dg berorientasi pd substansi maksud yg sbenarnya sy mksudkan, smpean bs merobah sndiri istilah (pemimpin) di awal dg istilah pmimpin sejati, dewa, ato apalah saja. Sdgkn istilah (pnguasa) bs sampean robah dg raja, pelawak, dll. terserah. Ato, tetep saja tdk usah dirobah, tp istilah (penguasa) dan (pemimpin) yg sy sbutkan dipahami menurut substansinya. Nah, tentang substansinya inilah, perbedaan pendapat, jika ada, boleh2 aja... Ttg sebutan jg boleh, tp jgn sampai seperti kawan dekat sampean dan sy dlm ibarat td: dia "nge-Dul ria" sdgkn saya "nge-Moch Eksan ria" pdhl substansi yg dimaksud tdk ada perbedaannya!

Jumat pukul 8:02 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Bgt-lah mas Eksan, betapa trasa bagai hnya buang2 waktu sj klo kita terus mnerus terjebak ato mnjebakkan diri dlm persoalan semantik belaka...

Jumat pukul 8:53 melalui seluler · Suka

·

Sofhatin Humaidah Kayak nya sulit bisa ketemu dech antara dua kubu yg sedang aktif berdialog di sini. Satu nya lebih berbau poststructuralis satu nya positivis

Jumat pukul 12:19 · Suka · 1

·

Moch Eksan Mas Anam, semantik jangan diremehkan. Semantik itu mahapenting agar kata yang kita ucapkan atau tulis maknanya jelas dan tak bias. Apalagi menimbulkan salah pengertian karena penggunaan kata yang tak tepat. Dalam konteks semantik, ungkapan Mas Anas sangatlah salah, bahkan amat sangat fatal. "Pnjelasan tambahan ini smg bs lbh mmperjelas: Yg sy sebut (pemimpin) dlm konteks prnyataan sy di atas adalah penguasa sekaligus pelayan rakyat yg baik. Baik dlm arti mnjalankan kewajiban, tggung-jwb. dsb. sbgmn dlm ketentuan UU yg sampean susah payah hafalkan itu & aturan linnya yg mngikat. Ini jg bs sy sebut dewa, pemimpin sejati, dll. Sdngkan, (penguasa) yg sy mksudkan adlh penguasa dan pelayan rakyat yg buruk. Buruk dlm arti tdk mnjalankan kewajiban, tggngjwb, dll sbgmn diatur UU, dsb itu, bisa demi mraih kekayaan, dll. Si (penguasa) brtindak sesuka selaranya. Sdemikian rupa shg seolah2 dia itu "penguasa" (tanda petik, loh!) yg bebas berbuat sekehendak hatinya, bukan pemimpin yg sgl kekuasaan & kewenangannya dibatasi aturan (UU, dsb). Selain sy sebut penguasa, pemimpin sprt ini bs saja juga sy sebut raja, pelawak, odong-odong, dll". Dimana Mas Anam, sesuka hati menggunakan kata dan mengungkap maksud. Masak bisa penguasa yang baik bisa disebut "dewa", kemudian penguasa yang buruk disebut raja, pelawak, odong2. Mas Anang terbukti dan meyakinkan mengalami kekacauan semantik. Untuk mendudukan perbedaan pendapat saya dan Mas Anam lebih baik dikembalikan ke makna semantik yang sebenarnya.

Jumat pukul 14:07 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Semantik sebagai bidang yang mengkaji dan menganalisa makna kata, bisa digunakan mendudukkan makna kata pemimpin dan/atau penguasa. Keduanya kan "sinonim". Walaupun makna katanya bisa diperluas dengan melihat konteks kalimat, hubungannya dengan kebudayaan, dan bentuk makna kata yang lain. Semisal: sinonim, antonim, hiponim, meronim, polisim, homonim, homofon, dan homograf. Bukan begitu kawan?

Sabtu pukul 0:41 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Maaf Bu Sofhatin, walaupun kita berbeda, kita tetap satu jua. Sama2 mahasiswa Ibu, dan alumni STAIN Jember. Hahaha

Jumat pukul 14:04 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Persis yg sy duga jawabanmu, mas Eksan! Tp jngan sebut saya mas Anang donk, entar sy dikira suaminya Ashantyiii... Kikkikkikkik...

(Sekedar tahu, eh bukan, lbh mmantapkan apa yg sdh sampean tahu, bhkn di perbincangan masy ada istilah2 yg lbh kasar, sprt maling, garong. dll.)

Dua hal yg beda, tnt sah-sah saja dkasih nama berbeda. Biar lbh mudah contoh konkrit aja. Smg lbh jelas. Pemimpin kongkrit. Misalnya guburnur: gubernur yg baik dan gubernur yg buruk. (baik = mnjalankn bla bla bla sesuai dg tuntutan UU dan aturan lain yg berlaku. Buruk = sebaliknya.) Nah gubernur buruk itu beda dengan gubernur baik. Krn itu dberi sbutan beda. Ada orang yg mnyebut gubernur yg buruk itu dg sebutan maling, dagelan, dll. misalnya, itu bukan kacau. Krn maling dlm konteks ini tdk dlm arti yg pkerjaannya mencuri seperti para maling beneran, tp gubernur yg punya prilaku ngambil uang negara (dari anggaran, dll) scr tdk sah. Jg ktk dpanggil gubernur dagelan (pelawak), tdk-lah dijumbuhkan dg dagelan dlm arti aslinya.

Apa memang sampean didoktrin utk menerapkan teori debat seperti yg sampean praktikkan dg baik skrg ini, mas Eksan, dg terus berputar2 pada istilah kemudian lupa pd masalah pokoknya: realitasnya NasDem gmn, anti korupsi sprt yg dkatakan apa tdk, dll.!? (Sy kira cara beginian tidak akan efektif utk mnggaet calon pemilih potensial dr kalangan akademisi, yg mnurut kabar dr mulut ke mulut, selama ini tak sedikit yg msh golput!)

Jumat pukul 14:46 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Lho kan enak kalau benar jadi suami Ashanti? Hahaha. Salah tulis tuch. Hahaha.

Jumat pukul 14:57 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Nggak, mas Eksan, nanti sampean lobi aku terus siang malam agar isteriku (Ashanti) jadi caleg-nya NasDem! Bisa refffottt sekaleee saya... Kekekekeke...

Jumat pukul 15:06 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, yang berputar2 itu siapa sesungguhnya ya Mas. Kan Mas? Coba baca dengan seksama komentar Mas di awal sampai sekarang. Saya kan sudah ingin mengakhiri perdebatan ini, agar kita saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut. Tapi, Mas kan coba terus menerus menjelas, yang justru kian tambah tah jelas. Ngelantur tak karuan juntrungnya. Coba baca juga komentar2 saya menjawab komentar Mas Bonjol. Hahaha

Sabtu pukul 0:47 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

M Saiful Anam Ha ha ha ha: inilah, inilah.... (Jd gmn mas Eksan, NasDem bener2 mau anti-korupsi enggak?)

Jumat pukul 15:19 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Insya Allah, saya tahu persis satu per satu afiliasi politik teman2 STAIN, hatta Mas Anam. Saya kan sekadar melayani suara minor teman2 ke Pak Paloh dan Partai Nasdem. Saya sekadar mendudukkan soal, biar proporsional. Soal mau diterima atau tidak penjelasan saya, itu tergantung suara hati nurani masing2. Mau dukung Nasdem monggo, kalau tak mau, ya tak usah mencela. Apalagi sampai mencela pribadi. Pasti, orang akan melakukan pembelaan diri. Deal? Makasih kawan.

Sabtu pukul 0:46 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, kan udah jelas jawaban saya di atas. Salah satu 17 platform perjuangan Nasdem adalah mewujudkan birokrasi yang profesional dan bersih. Jadi, sangat terang, Nasdem adalah partai yang antikorupsi Mas. Doanya teman, semoga perjuangan ini diridhai oleh Allah SWT. Amien.

Jumat pukul 15:29 melalui seluler · Suka

·

M Saiful Anam Memangnya saya mencela? Afiliasi saya tahu?

Mbok sudah mas Eksan, anggap saja skrg ini kesempatan pertama sampean utk mnrik simpati calon pemilih potensial. Dan sayang, tdk dimanfaatkan optimal. Gak papa. Nanti kan mngkin ada kesempatan selanjutnya.

Klo ada ksempatan selanjutnya nanti, biar yg muncul simpati, tolong ngawur dan konyol-nya jngan sampai muncul lagi. He he... Canda kawan!

Jumat pukul 15:30 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Saya sangat mengapresiasi saran dan masukan teman ke saya, ke Nasdem atau pun ke Pak Paloh. Insya Allah, perdebatan kita ini sangat bermanfaat untuk memenangkan Pemilu 2014 mendatang. Sungguh, Mas Bonjol, Bu Sofhatin, Mas Anam, Mas Masykur, Mas Nuruddin, Mas Rahadi dan yang lain, telah memberikan ruang untuk mendiskusi Pak Paloh dan Nasdem. Itu menunjukkan bahwa gerakan perubahan telah menjadi "buah bibir" masyarakat luas. Tak terkecuali di kalangan akademisi. Andai Nasdem ini partai tak punya masa depan, pasti tak bakal dibicarakan luas. Betapa pun pembicaraan tersebut menimbulkan pro kontra, yang boleh jadi menaikkan pitam. Saya mohon maaf sebesar2 soal tersebut. Yang pasti, teman2 ada sahabat2 terbaik saya tak mengingankan saya seperti layaknya politisi lainnya yang terdahulu, yang hanya menumpuk kekayaan, hatta dengan korupsi sekalipun. Harapan besar teman2 terhadap perubahan besar negeri, sebuah amanah yang harus ditunaikan. Doamu kawan. Masykurlak.

Jumat pukul 15:50 melalui seluler · Telah disunting · Suka · 1

·

Imam B. Jauhari Sebetulx diskusi qt ini sdh mndpatkan titik temu ato ksimpulan yg mgkn sj msh smentara; yaitu qt sepakat utk brbeda; krn jelasx kekhawatirn tmn2 trhdp kinerja nasdem/paloh sbenarnya tdk bs djwab dgn logika verbal (lisaanul maqool), ttp hrs djwb dgn logika aksi (lisaanul haal). Kkhawatiran itu wajar mas eksan. Krn worldview qt dsini sdh 'beyond the reality'. Sy khususx tdk brniat menghina, mencemooh, mncela nasdem/paloh sm skali. Cm berfikir fenomena apa yg ada dbalik tampilx paloh & nasdem, apa betul masy brpikir linear dgn paloh ttg kndisi kbangsaan qt yg katax butuh restorasi sgl bidang (yg 17 itu). Atokah hanya retorika hiperbolis paloh yg dtopang dgn kkuatan modal shg dia bs buat nasdem. Pdhl partai pandahulu2nya sdh mmperjuangkan hal2 trsbut justru ktk paloh belum apa2 & blm jd siapa2. Klo forum ini lgsg mengamini fenomena paloh dgn brbgai latar belakang sepak terjangx, siapa2 orang dsekelilingx, lho terus apa bedanya dgn cara brtindak seekor anjing ktk melihat tulang..? Sy kira sdh clear ya kawan? Wallahu a'lam.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat pukul 17:48 melalui · Suka

·

Moch Eksan Aduh2 kok sampai ke anjing barang Mas Bonjol? Terlalu jauh, apalagi mengibaratkan orang yang mengamini visi Paloh dan Nasdem seperti tindakan seekor anjing yang melihat tulang. Ini tamstil yang keji sekali. Para pengurus, kader inti platinum, kader inti, anggota dan simpatisan Paloh dan Nasdem yang satu shaf dalam melakukan restorasi Indonesia, dilatarbelakangi oleh kesamaan penilaian terhadap kondisi keindonesiaan, serta kesamaan visi dalam merestorasi Indonesia. Dukungan kepada Paloh dan Nasdem semakin hari semakin besar. Jumlahnya sekarang sudah di atas 5 juta, dan insya Allah per 31 Mei 2013 mendatang, akan menjadi 25 juta anggota. Jumlah ini sudah cukup untuk memenangkan Pemilu 2014 mendatang. Ini berdasarkan asumsi suara sah pada Pemilu 2009 yang hanya 105 juta suara sah nasional. 25 juta anggota Nasdem tersebut setara dengan 25 persen suara pemilu. Ini tentu modal sosial dan politik dalam merestorasi Indonesia secara konstitusional dan institusional. Saya menyadari benar, perubahan besar rata2 kelas sosial yang sudah mapan menolak, dan mendapat dukungan dari rakyat jelata, orang papa dan rakyat biasa. Hidup rakyat, hidup Nasdem, hidup Indonesia. Amien.

Jumat pukul 19:33 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Imam B. Jauhari Tamtsil anjing tu tdk mgandung tendensi apa2 mas eksan. Itu hanyalah metafora yg mnggambarkan apabila seekor anjing melihat tulang maka ia lgsg menyergap tulang tanpa ada (pikiran) yg ”meng-antara-i” antara stimulus tulang dgn respon si anjing. Bgt jg org yg mnerima fenomena sosial trtntu seperti fenomena nasdem/paloh ini tanpa daya nalar yg kritis (metafor anjing jg dpake dlm alqur'an; lht sndri deh.).. Sdh pahamkah maksud sy?..
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat pukul 19:58 melalui · Suka

·

Imam B. Jauhari Oh.. Ya bang.. Ramalan bang eksan klo maret '13 anggota nasdem mencapai 25 jt itu harus djelaskan margin error berapa puluh persen? (hahahaha; ramalan kok dtanya margin error).
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat pukul 20:02 melalui · Suka

·

Masjid Nurul Muhajirin Vtb ramalannya tahun 2014 Pak Imam Bonjol dan pak Ihsan sama2 punya istri lagi tapi sembunyi2....takut ketahuan Istri Tua....kalo nggak percaya tanyakan aja pada hati beliau berdua....ha ha ha ha

Jumat pukul 21:50 · Suka

·

Rifqil Halim Muhammad kalau saya sih melihat pemimpin besar dari guratan di wajahnya, kira-kira wajahnya surya paloh ada guratan pemimpin besar apa tidak ya untuk merestorasi indonesia?

Jumat pukul 22:00 · Suka

·

Masjid Nurul Muhajirin Vtb mayoritas rakyat udah letih,capek dengan politik bahkan "muak" dengan omongan politisi...apapun strateginya, baik dengan konsep restorasi, islamisasi, nasionalisasi dll....rakyat hanya butuh bukti nyata itu aja......Banyaknya partai di negara kita menunjukkan inovasi dan dinamika politik bergerak maju...hari ini rakyat udah banyak yang cerdas...dan selalu memantau pergerakan politik dan politisinya...partainya ada yang OFF dan ON, politisinya ada yang meloncat-loncat...asal "menguntungkan" baik pribadi ato kelompoknya...semua partai banyak "boong" nya daripada "benar"nya...keliatannya aja " pinter berdiplomasi", ahli retorika...intinya hanya untuk kepentingan "perut"nya masing2... terus terang kita pesimis dengan partai politik...hanya lihai mem-politisir....yang ahli memolitisir akan menang dan dapat pundi2 melimpah dan yang nggak ahli akan kalah dan dapat musibah di"penjara"kan.....

Jumat pukul 22:14 · Suka · 1

·

Moch Eksan Mas Bonjol pasti kenal dong sama Prof Dr Bachtiar Aly MA? Beliau adalah Ketua Dewan Guru Kader DPP Partai Nasdem. S1 beliau alumni Universitas Padjajaran Bandung, kemudian melanjutkan ke Belanda dan Jerman. Masak beliau gabung Paloh dan Nasdem seperti pola anjing melihat tulang, tanpa berfikir kritis? Padahal, beliau guru besar komunikasi politik UI, bukan STAIN. Hahaha. Kepakaran beliau tak ada yang meragukan, dunia internasional mengakui. Salah satu karya beliau yang fenomenal, antara lain: The Reflection of Political Media, The Dynamic of Political Communication, Opinion on Democratic Discourses. Guru besar dan doktor yang lain tak sedikit yang memperkuat barisan Nasdem Mas Bonjol. Di Jawa Timur, ada Dr M Mufti Mubarak, MSi, yang juga Ketua Dewan Guru Kader, yang juga dosen Universitas Airlangga Surabaya, apa bergabung dengan Paloh dan Nasdem seperti pola prilaku anjing yang melihat tulang, tanpa berfikir kritis? Karya intelektual beliau banyak, lebih 100 judul buku, dan puluhan buku yang best seller, sampai beliau mendapat anugerah dari Muri. Salah satunya: Menang tanpa Konsultan. Saya terus terang termasuk orang yang ragu soal kepakaran Mas Bonjol ini? Saya sampai hari ini tak pernah baca tulisan, sekelas Radar Jember sekalipun. Mudah2an saya salah ya. Hahaha.

Sabtu pukul 0:54 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Masjid Nurul Muhajirin Vtb mas bonjol hanya bisa nulis di Memorandum, menganalisa kasus kriminal perkosaan....ha ha ha

Jumat pukul 23:07 · Suka

·

Moch Eksan Cara menyembunyikan diri ternyata dicontohkan oleh Masjid Nurul Mahajirin Vtb, yang menyembunyikan identitasnya dengan nama masjid. Takut ketahuan istri ya? Hahaha

Jumat pukul 23:39 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Rifqil Halim, Paloh bukan sekadar "tokoh" besar, tapi juga orang bertubuh besar. Alias gendut. Hahaha

Sabtu pukul 0:58 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Mas Masjid, betapapun partai politik dibenci tapi juga sangat dirindu. Persis judul lagunya Diana Nasution "Benci Tapi Rindu". Hahaha.

Sabtu pukul 0:09 melalui seluler · Suka

·

Imam B. Jauhari Klo mau beli buku sy cari aja di Gramedia mas eksan, thn 2010, ttg gerakan sosial baru, 2012 juli, ttg teori sosial &proses islamisasi dlm sciences, hitung2 bs nambah royalti. Hahaha. Whatever afiliasi politik seseorg yg pasti ddasarkn pd prtmbngan2 yg stdaknya bg dia pragmatis walau prof.sekalipun. Ada alasan ada motif mas eksan, seseorang brtindak atas dasar motif, &tdk ada yg tahu motif seseorg dgn pasti, tp klo dtanya knapa brtindak sprt itu pasti dia mengemukakan alasan yg normatif idealis. Bgt jg prof.2 itu, bgt jg si paloh klo dtanya knapa bikin nasdem pasti ALASAN yg keluar, normatif & idealis, restoratif dll. Tp motifnya? Gk ada yg tau MOTIFnya. Sy cm mngkritisi motif2 ini dr gejala yg timbul, latar blkg politik serta org2 trdkat paloh.. Sy ini org biasa aja mas eksan, penganut madzhab biasa2 aja, &brpikir biasa jg. Jd klo ada fenomena yg memang heboh, ato dheboh2kan, pasti sy mencari aspek yg bisa djadikan 'biasa' dr fenomena yg heboh td. Hehehe.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu pukul 4:19 melalui · Suka

·

Imam B. Jauhari Pak masjid ini otaknya mesum, apalg ramalan 2014nya tambah mesum. Namanya aja nurul muhajirin (cahaya org2 yg brpindah) paling terinspirasi dr org2 yg kluyuran malem2 yg ada lampu sorot dkepalanya terus cari kodok dkali/sawah. Klo sy boleh usul, mending pak masjid ini kerjasama dgn mak Erot, buka praktek.. Trus diiklankan di memorandum, ato tempel dipohon2, atao tiang PLN pinggir jln raya; TELAH DIBUKA PRAKTEK MAK EROT DI MASJID NURUL MUHAJIRIN Vtb; hahaha.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu pukul 4:40 melalui · Suka · 1

·

M Saiful Anam Mas Eksan, sekedar saran, klo berkenan, kesempatan pertama anggaplah sdh berakhir... Lbh baik perbincangan berbau diskusi dan diskusi berbau debat ini sampaen dokumentasi dan sampean diskusikan dg jajaran pngurus NasDem. Evaluasi kekur-kelebih utk modal komunikasi yg lbh baik ke depan...

(Masak sih permisalan anjing sampean persoalkan segitunya. Wong intinya Bung IB Bonjol yg bukan dari Sumatera itu hny ingin mnyampaikan kpd sampean/NasDem: kami ingin mngritisi dulu sblm mmtuskan sikap thd NasDem, kami tdk bs langsung percaya & mnerima bgt sj apa yg dikatakan NasDem. Kan biasa aja toh ini, knp dpersoalkan).

Sy rasa penutup sampean di atas sdh cukup bagus. Komen sampean selanjutnya justru mrusak penutup sampean yg sdh bagus itu!

Sekali lg, ini hny saran loh mas Eksan, dperhatikan monggo, enggak dprhatikan jg nggak papa.

(Oh ya mas Eksan, sekedar nanya, apakah sampean punya pikiran bhw sinis dan "merendahkan" almamater sendiri adalah sebuah tindakan tepat dan mulia, atokah sampaen tdk pnya pikiran semacam itu?)

Sabtu pukul 6:25 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Adim, mantan Ketua HMI Komisariat Sunan Ampel, yang juga yunior saya dan Mas Bonjol, pernah mengupload buku: "Teori Sosial dan Proses Islamisasi dalam Sciences, karya Mas Bonjol. Seraya dengan nada menantang penuh inspirasi dan motivasi: "ayo mana karya kanda2 yang lain?". Saya melihat buku tersebut sangat senang, senang tak kepalang. Karena saya ingin tahu lebih dalam, saya berselancar di google books. Ternyata, saya tak menemukannya. Saya akhirnya jalan2 di toko buku Gramedia, untuk membaca buku kedua Mas Bonjol, kale dapat informasi baru sebagai perspektif dalam mengkaji dan menganalisa fenomena2 sosial kontemporer. Eh, ternyata setelah saya baca, kagak ada hal yang baru. Buku ini tak lebih dari hasil CTM (Copy, Teliti dan Modifikasi) dari teori2 sosial yang sudah ada berabad2 lamanya, demikian pula tema islamisasi sains. Kata seorang teman jurnalisme, lebih baik satu artikel yang dimuat Kompas sekali yang original, segar dan rujukan daripada 1000 judul yang tak bisa jadi rujukan publik. Saya bersyukur Mas Bonjol, sepuluh tahun sebelum buku Mas Bonjol dipajang di Gramedia, buku saya: Kiai Kelana, udah dipajang di toko buku tersebut. Saya sekarang menulis buku, makalah, artikel dan semacamnya bukan untuk mendapatkan royalti, seperti tujuan Mas Bonjol. Akan tetapi udah lebih pada berbagi informasi dengan publik dalam membangun keadaban komunikasi. Soalnya, ini adalah kunci democratic civility (keadaban demokrasi) ala Robert W Hefner. Saya benar2 menunggu sejak lama, analisa2 sosial Mas Bonjol tentang problematika sosial dan politik saat ini, yang bisa dibaca dan didiskusikan di hadapan publik. Artikelmu, ku tunggu kawan. Hahaha

Kemarin jam 0:11 melalui seluler · Telah disunting · Suka · 1

·

Moch Eksan Mas Bonjol bebas mengkritisi siapa pun, inklusif di dalamnya Paloh dan Nasdem. Namun kritik, tentu harus memperhatikan dan mempertimbangkan keadaban komunikasi. Kata anjing, dan bangsa hewan yang lain, tak patut untuk perumpamaan sekalipun. Ada jutaan kata yang lebih layak dan pantas sebagai akademisi yang kaya idiom. Soal Mas Bonjol dan teman2 lain masih sangsi terhadap visi misi dan program Paloh dan Nasdem dalam merestorasi Indonesia, kagak apa2. Biarkan sejarah yang menjawab. Bukan begitu kawan? Masykurlak.

Sabtu pukul 23:59 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, Mas ingat tidak, saat Mas menyampaikan materi OPSPEK pada mahasiswa baru angkatan 1994/1995. Saya salah satu peserta dari mahasiswa baru tersebut. Saya benar2 tertarik tatkala Mas memaparkan khalifatullah fil 'ard, sambil mengutip ayat 30 Albaqarah. Paparannya runtut, dengan suara lirih lembut dan merangsang untuk lebih tahu mendalam. Karena itu, saya terdorong untuk membaca lebih dalam tema tersebut. Saya akhirnya jadi kenal Muhammad Iqbal, yang memberi wacana baru soal tema tersebut. Saya berterima kasih banyak, Mas tak bosan2 tetap mengingatkan saya soal keadaban komunikasi ini. Sampai ketika dalam berdebat beberapa hari ini. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam2nya. Demi kebaikan bersama, kita semua boleh saling kritik dan mengkritisi, tapi jangan saling melecehkan. Saya ingat, Tahajjud Call Bupati Hasan Aminuddin Probolinggo: "Muhammad Idris Asy-Syafi'i berkata;
"JAGALAH Lisanmu! Jangan kau sebut-sebut KEKURANGAN orang, karena engkau memiliki kekurangan dan orang lain pun memiliki lisan.
JAGALAH Matamu! Jika terlihat olehmu Aib orang lain, katakanlah; "Wahai Mataku, orang lain pun memiliki mata." Jadi, dalam konteks ini, kita saling menjaga keadaban komunikasi ini. Indah, bukan? Ini biasa dalam tradisi nahdliyin, awalnya gegeran dan akhirnya ger-geran. Amien.

Kemarin jam 0:07 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

M Saiful Anam Right, mas Eksan, yg baik akhir disks or debt adlh shrusnya mmng ger2an...

Etika komnksi, ya jg right, sprti itu. Itu krangka dasarnya. Utk konteks khusus, sesama teman akrab misalnya, biasanya norma etiknya agak longgar, justru krn dekat/akrab itu. Kita wong jawa timur pasti pernah dengar yg spt ini ato smsl ini: "jangkrik kamu, kemana aja mnghilang!?" mslnya. Beberapa kawan di forum ini kadang jg saling pake kata-kata agak keras, justru krn sdh akrab ato mrasa sdh akrab. Sy kira Bung Imam yg lbh suka dpanggil Jauhari drpd Bonjol itu sdh sangat akrab dg sampean. Sy kira dia agak bebas bermanufer dg kata2 ekstrim itu justru krn sdh akrab dg sampean. (Mngkin dugaan sy salah ya?) Aplg klo khusus ttg anjing itu, mestinya kami anggota forum ini yg kena. Dia kan bilang, "klo forum ini... anjing...". Kan kami yg jauh lbh berhak gak terima, seharusnya. He he he (Coba dicek lg mngkn sy kurang tliti...)

Ya, yg penting, setahu saya loh, smg tdk salah, politisi hrs brsaha tdk mudah trsinggung & marah bahkan ketika diejek sekalipun. Aplg skrg ini, masy di "luar" bgt bebas mngeluarkan kata-kata trmsuk yg "berbau" binatang. Mas Eksan sy yakin sdh mnyadari itu. Ketika Gus Dur, saat msh jd presiden, "di-karikatur-i" brupa gambar babi, konon beliau berkomentar: "memang saya gemuk kayak babi, kok!" Coba, mas Eksan, babi loh (dan padahal gambar karikatur, nohok moto!)

Ok dech, bangsa sdg butuh pemimpin yg didambakan, mwujudkan indonesia yg makmur, adil, dan mandiri. Slmt berjuang mmehumi kebutuhan itu. Trim's, salam ke mas Athor Hatta klo ketemu.

Sabtu pukul 15:51 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mohon maaf Mas Anam senior, mohon ijin saya berbeda pendapat ya. Betapa pun kita akrab, kalau di ruang publik dan/atau di media sosial, seperti FB, twitter dan semacamnya, seyogyanya menjaga keadaban komunikasi. Pantang berucap atau menulis kata anjing, babi, jangkrik dalam semacamnya. Sebab, banyak orang lain yang juga ikut membaca. Saya pribadi tak ada soal. Tapi, orang lain yang berhubungan langsung atau tidak dengan tokoh dan/atau institusi tertentu boleh jadi justru tersinggung. Perasaan korp Paloh dan Nasdem ini yang saya jaga. Eksan pribadi kagak masalah. Saya sudah terbiasa Mas Anam Senior didemo, dicerca, dicaci, bahkan dilempar batu demonstran waktu masih di KPU. Insya Allah, teman2 belum pernah didemo kan? Kalau mendemo, pasti. Setidaknya waktu jadi mahasiswa. Terima kasih Mas Anam, salam Mas akan saya sampaikan khusus ke Mas Attor Hatta. Sukses selalu buat kita semua. Amien.

Kemarin jam 0:14 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Imam B. Jauhari Walau syi'naa larofa'nahu biha, walakinnahu akhlada ilal ardl, famatsaluhu kamatsalil kalbi, in tahmil 'alaihi yalhats au tatrukhu yalhats, dzalika matsalul qoumil ladzina kadzzabu biaayaatina.. Jd gk enak ni, klo bw2 ayat, tp smg mas eksan faham maksud ayat yg trkandung kata ”anjing” dsitu, tdk akan mngurangi ksucian alqur'an sm skali, aplg cm skedar qiyas org yg tdk kritis thdp fenomena sosial tertentu. Tp klo drenung lebih jauh ayat trsbut diatas bisa kena thdp politisi (ato siapapun sebetulx) persis sperti analisis pak masjid Nurul Muhajirin Vtb diatas..
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu pukul 19:14 melalui · Suka

·

M Saiful Anam Trimakasih juga, mas Eksan, pendapat sampean yg beda itu ada bagusnya dan mnjadi nasehat yg baik utk saya. Insyllh itu akan mnjadi pemandu sy dlm brkomunikasi lewat media sosial. Selamat berjuang merestorasi Indonesia...

Sabtu pukul 20:01 melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Bonjol, ayat yang disebut di atas surat apa dan ayat berapa? Kalau boleh tahu. Sesampai di rumah, biar bisa baca beberapa tafsir yang berkait dengan ayat tersebut. Kebetulan saya OTW dari Surabaya ke Jember. Habis dari Rakor Partai Nasdem di Hotel Utami Juanda Surabaya. Masykurlak.

Kemarin jam 0:17 melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Ayat yang disebut Mas Bonjol di atas adalah QS Al-A-raf/7:176. Ayat berkaitan dengan perumpamaan orang2 yang mendustakan ayat2 Allah, tak berkait dengan qiyas terhadap orang2 yang bersikap tak kritis terhadap fenomena sosial, seperti yang diutarakan Mas Bonjol di atas. Ayat ini erat hubungannya dengan satu ayat sebelumnya dan satu ayat sesudahnya. Dibawah ini saya kutipkan 3 ayat tersebut berikut ini: "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat" (QS Al-A'raf/7:175). "Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir" (QS Al-A'raf/7:176). "Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim" (QS Al-A'raf/7:177). Jadi tegasnya, qiyas terhadap orang2 yang tak kritis terhadap fenomena sosial, amat sangat tak relevan dari teks dan konteks ayat tersebut.

21 jam yang lalu melalui seluler · Telah disunting · Suka

·

Moch Eksan Dalam Tafsirul Quranil 'Adhim Lil Imamainil Jalalaini Juz 1 halaman 145, dijelaskan konteks sosial 3 ayat di atas berkait dengan seorang ulama bani Israil yang bernama Bul'am Bin Ba'ura. Ia seorang ulama yang memiliki pengetahuan Al-Kitab yang dalam, namun ia memilih untuk mendustakan ayat-ayat Allah dalam Al-Kitab tersebut, lantaran al-mailu ilad dunya (kecenderungan pada dunia), serta itba'ul hawa (memperturutkan hawa nafsu). Karena iri dan benci kepada Nabi Musa AS, ia berkoalisi dengan Fir'aun, dan memilih sebagai "penjilat" penguasa yang terkenal lalim tersebut. Alquran mengumpamakan Bul'am seperti anjing yang terus menerus mengulurkan lidahnya, baik kala dihalau maupun dibiarkan, sebagai seburuk2nya perumpamaan bagi orang2 yang mendustakan ayat2 Allah. Singkat kata, perumpamaan Mas Bonjol sangat tidak kontekstual dengan ayat di atas. Kebanyakan umat Islam meruju' pada Tafsir Jalalain dalam menafsirkan ayat2 Alquran, sementara Mas Bonjol tanpa sengaja mempertontonkan pandangan dan pendapatnya pada "tafsir jalan lain". Hahaha.

21 jam yang lalu melalui seluler · Telah disunting · Suka · 1

·

Muhammad Khodafi Dalam sebuah perdebatan/dialog yg panjang selalu ada sisi-sisi positif yg bisa diambil sebagai pelajaran. paling tidak kita tahu karakter seseorang dari bahasa yg digunakan. Ayo lanjutkan!

21 jam yang lalu · Suka

·

Imam B. Jauhari Sblum dtutup diskusi sy msh pny bbrp statemen; 1. Mas eksan mgkn tanpa sngaja melecehkn sy, masak sy dberi referensi tafsir jalalain yg sdh sy makan wkt sd (tafsir kata perkata +mahal I'robx.) pdhl sy pake dsini referensi tafsir ar razi,& almunir (wahbah z, 17 jilid asli bukan terjemahan) 2. Mas eksan dgn sngaja mengubah nama Bul'am bin Ba ura' (pdhl yg bnr BAl'am bin baAuro'). Bs dbyangkan klo nama mas eksan sndiri yg diubah, misalny jd ekson (prush. Migas AS) ato nama sy diubah imam bEnjol, ato bung Anam jd Inem., waa gawat tu. 3. Analisis ayat datas, trdpat relasi antara pngetahuan & kkuasaan. Pngetahuan dinamis, tdk statis, ia brimplikasi pd pnguasaan. makax konsep tuhan dlm islam tdk utk dketahui, krn stlh pny pngetahuan, pasti manusia brusaha mnguasai tuhan sbgmn dlm agama yg lain. Intinya; pngetahuan yg tdk diamalkan dgn benar (yg slama ini pasti polisi) itulah org yg mndustakan agama yg oleh qur'an dibaratkan anjing tsb. Mereka pny pngetahuan, trs buat partai, trus berkuasa, kmudian mereka brtindak tdk ssuai pngetahuan (baca: undang2, norma2) yg brlaku. Persis keyakinan pak Masjid Nurul Muhajirin Vtb. Diatas. Jd mas eksan komenx lgsg ke pak masjid aja. Krn dialah yg sngt apatis & apriori ke nasdem (bc lg komen pak masjid). 3. Sy mngutip prof. Arif furqon; bhw bedany politisi dgn akademisi, klo politisi boleh boong tp gk boleh salah. (artinx janji2 palsu, kacang oto'/kakean cangkem omong to' itu boleh bahkan wajib boong ke rakyat biar trpilih) tp gk boleh salah, krn klo trbukti salah &korupsi dpngadilan pasti dpenjara. Sbalikx akademisi tdk boleh boong tp boleh salah. Akademisi tdk bleh boong dgn memanipulasi data, metode ilmiah dll, tp boleh salah krn bs dperbaiki dgn riset lbh lanjut. Bukankah analisis sgt sesuai dgn khitob ayat diatas mas eksan? (seandainya kami inginkan niscaya kami tinggikan derajat mereka dgn pngetahuan trhdp ayat2 itu, tapi mereka tdk mau, alih2 bahkan mereka MENGEKALKAN DIRI KE BUMI /kehinaan dgn senantiasa boong & kacang oto', maka perumpamaan mrk adalh sprt anjing..dst. Bukankah pas mas eksan? Rasional? Logis? Sekali lg bukan sy yg apatis & apriori, tp sy hny analisa kritis dr komen pak mas masjid datas, serta mngutip p.arif furqon. Dgn tdk mgurang respek sy thdp tman akrab, kiranx klo tdk brkenan thdp analisa sy ya mohon dmaafkan.. Hehehe.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

16 jam yang lalu melalui · Suka

·

M Saiful Anam Weh, ikut senang atas bakat humor yg baru mulai tampak... Bertahun-tahun kumpul, lurus-lurus dan kenceng-kenceng terus omongane ra ono lekuk-an guyonane blass!

Saiki bedho tenan. Selamat, terus tumbuh-kembangkan bakat humornya. Sbg rasa syukur, besuk klo ketemu aku, tak traktir wis njaluk makan nang warung endhi wae oleh, pokok-e sik nang wilayah Jember, wabilkhusus wilayah Mangli. Ini serius kang BEnjol... (kyaknya panggilan ini lebih pas ya, biar nggak mngecoh orang banyak dikiranya dari Sumatera, kikkikkikkikkik...) Ning gak oleh nggowo rombongan loh... Resikonya berat di dompet! Kekkekkekkek...

14 jam yang lalu melalui seluler · Suka

·

Muhammad Khodafi Waduh tuwase wes tak cuplik dadi status lakok salah....ra popo wes ono seng bener ke...ini lho pentingnya diskusi..lanjut terusss

14 jam yang lalu · Suka · 1

·

Imam B. Jauhari Hahaha.. Sy garis bawahi kata ”wabilkhusus” karena sy curiga nanti bisa dkembangkan jd wabilkhusus dtraktir nasi kuning dkoperasi STAIN + tahu isi, jemblem, hongkong& bala2..

14 jam yang lalu melalui seluler · Suka · 1

·

M Saiful Anam Dosamu krono suudhon, tak ganjar dhisik nang kene, sak urunge diganjar sesuk nang akhirot: pertama: nang mangli iku ono warung Terapung, iku okeh bule-bule sing mrono, larang regone yo nemen banget. Iki sak iki gak oleh dipilih; kedua, aku tetep nyeluk kang bEnjol sak teruse... (smg dg hukuman sy ini, nanti hukumane sampean nang akherot iso diperingan, amin.

13 jam yang lalu melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan As-Syeikh Muhammad Bin Soleh Al-Uthaimin, menyebut Bul'am bin Baa'uura' dalam Tafsir Jalalain di atas. Sementara, yang masyhur menyebut Bal'am Bin Ba'ura. Dalam The Holy Quran, malah menyebut Bileam Bin Beor. Jadi, saya menyebut Bul'am Bin Ba'ura punya dasar, bukan mengada2, apalagi salah ucap karena baca terjemahan. Lain halnya kalau Mas Benjol, kan sengaja dirubah sendiri dari nama asli Bonjol. Saya ikut menyebut nama pasca amandemen saja, Mas Benjol. Hahaha. Saya sangat bangga, Bila Mas Benjol sudah melahap Tafsir Jalalain sejak SD. Sehingga, saya boleh dong kutipkan tafsir Ar Razi dan Tafsir Munir versi arab, sehingga saya bisa sambil belajar Bahasa Arab ke Mas Benjol. Please dong...

13 jam yang lalu melalui seluler · Suka · 1

·

Moch Eksan Mas Benjol, secara teks dan konteks ayat yang dikutip Mas Benjol terkait dengan perumpamaan orang2 yang mendustakan ayat2 Allah. Orang-orang tersebut terpersonifikasikan ke sosok legandaris, Bul'am dan ulama semacamnya, yang lebih memilih dunia daripada akhirat, dan memilih ikut nafsu daripada wahyu. Dengan demikian, ayat tersebut tak terkait dengan para tokoh intelektual yang gabung Paloh dan Nasdem, yang memilih berjuang, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar keindonesiaan, daripada memilih menjadi "penjilat" kekuasaan yang fir'auni. Yang mata, telingga dan hatinya, tak melihat, mendengar dan merasakan problematika besar keindonesiaan kita lalu, kini dan nanti. Insya Allah, temanmu ini bukanlah politisi yang boleh bohong tapi tak boleh salah. Sebab, bohong atau salah, ya sama2 salah. Biarlah sejarah yang membuktikannya. Amien.

12 jam yang lalu melalui seluler · Suka

·

Moch Eksan Mas Anam, kalau soal traktir mentraktir untuk menyelamati perubahan nama Mas Bonjol ke Mas Benjol, biar saya yang bayar Mas. Udah pilih Mas Benjol, mau rumah makan mana, dengan menu apa, dan dengan porsi berapa. Balaas. Deal? Hahaha

12 jam yang lalu melalui seluler · Telah disunting · Suka · 1

·

M Saiful Anam He he he... Aq ki mnsyukuri sisi bakat humornya yg seumur-umur baru kali ini kelihatan. Klo isi gagasannya ya tanggung-jawab beliau sendiri, mongko didiskusikan dlm suasana kulkas klo bisa.

Yen masalah nama, iku malah hukuman dr sy krn tlah suudzan thd niat baik Yang Mulia dan Dipertuan Agung Raden Mas Muhammad Saiful Anam... Kikkikkikkikkik

12 jam yang lalu melalui seluler · Suka

·

احمد شمس الدين Kalo di ilmu I'lal nama Bonjol jadi Benjol kemudian jadi bronjol dan terakhir jadi Brojol.....hahaha...agejek ra imaaaam....

10 jam yang lalu · Suka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun