Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerakan Kebudayaan Perempuan di Era Digital

26 Februari 2017   22:07 Diperbarui: 26 Februari 2017   22:16 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tantangan Kekinian

Pada saat ini, ragam isu yang menyangkut perempuan, dan kelompok identitas lain, tampaknya masih akan terus berkembang dan bahkan mendapatkan tantangan keras dari identitas budaya yang mendasarkan bangunan paradigmatiknya pada nilai-nilai agama.

Bahkan berbagai tindakan intoleransi dalam berbagai catatan dan laporan, bukan menurun tetapi malah semakin terus meningkat. Tindak kekerasan hampir merambah seluruh ruang publik, termasuk pembunuhan dan tindak kekejian seksual terhadap perempuan.

Tetapi pada saat bersamaan, ruang-ruang membangun nalar kebudayaan di Indonesia juga terus terbuka dengan menguatnya tingkat melek teknologi di Indonesia. Manakala kita bersetuju pada gerakan kebudayaan, tanpa sedang mengabaikan gerakan politik dengan melakukan perubahan berbasis kebijakan, perkembangan teknologi akan sangat mendukung gagasan ini.

Sebab kekuatan melek informasi pada aras budaya—dalam pengertian praktik-praktik keseharian, sungguh sangat menakjubkan. Ketika menguatnya gerakan penolakan poligami seperti yang disetujui dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, mengalami jalan buntu, sekelompok perempuan peserta pengajian tafsir di Majenang, Cilacap, meminta kepada Kiai untuk tidak mengaji ayat 3-4 Surat An-Nisa’ kalau akhirnya hanya akan diajarkan bolehnya poligami.

Situasi ini merupakan gambaran gerakan-gerakan kecil pada level kebudayaan. Sebuah kemenangan pertempuran memang, belum memenangkan peperangan. Tetapi apapun kemenangan peperangan, pastilah berangkat dari kemenangan-kemenangan dalam pertempuran.

Dengan meningkatnya akses teknologi informasi, saatnya memulai sebuah strategi baru dalam membentuk kebudayaan yang adil bagi semua. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, gerakan perempuan bisa melakukan perlawanan terhadap wacana dominan yang digarap secara sistematis dan sungguh-sungguh.

Perlawanan ini bisa diawali dengan menyediakan informasi dan pengetahuan dalam ragam konten yang bisa disebarkan secara masif melalui berbagai bentuk media (teks, gambar, audio, dan audio-visual), dan menjangkau berbagai ragam identitas dalam semua lapisan masyarakat.

Tetapi situasi semakin rumit sebab kebudayaan dan peradaban yang berkembang saat ini menunjukkan adanya kawin mawin dengan korporasi. Sehingga agenda yang dikembangkan tentu akan diarahkan pada keuntungan pasar. Sehingga orang berperilaku seperti yang diinginkan pasar dan mengikuti citra yang dibangunnya.

Artinya, tantangan membangun kebudayaan yang adil bagi semua, tak hanya menghadapi perlawanan dari wacana kebudayaan dominan yang menyingkirkan identitas perempuan, dan kelompok lain yang disingkirkan, tetapi juga harus melakukan perlawanan terhadap pasar yang menghancurkan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri dengan mengatasnamakan modernitas.

Gerakan ini tentu saja tidak mudah. Banyak hal yang harus disiapkan secara teoritik-konseptual, pengolahannya, dan teknik penyebarannya. Pendidikan kritis-masal dengan demikian sedang dimulai sehingga bisa memasukkan ide-ide mengenai kebudayaan plural, dan kemenangan melemparkan wacana melalui pesan-pesan inilah yang diyakini akan mampu meruntuhkan wacana dominan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun