(October 7th Massacre dan Era Baru Propaganda Medsos yang Mencemaskan)
Dua tahun setelah tragedi 7 Oktober 2023, yang kini dikenal sebagai October 7th Massacre, dunia masih bergetar oleh dampak perang Israel-Hamas.
Bagi keluarga para sandera yang masih disembunyikan di Gaza, hari-hari ini adalah hari yang menegangkan. Begitu pula bagi para pendukung perdamaian yang berharap perang segera berakhir dan korban tidak terus berjatuhan.
Sebagaimana diberitakan berbagai media dunia, Israel, Hamas, dan Amerika Serikat tengah berupaya keras mencapai kesepakatan gencatan senjata. Tujuannya: menghentikan perang dan membebaskan para sandera dari kedua belah pihak.
Beberapa bulan terakhir, hasil dari upaya diplomasi ini mulai terlihat, seiring semakin banyaknya petinggi Hamas yang gugur di medan perang.
Dua tahun setelah tragedi itu, Gaza kini nyaris menjadi puing. Sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, dan rumah warga berubah menjadi medan perang. Israel menyatakan bahwa banyak lokasi sipil digunakan Hamas sebagai fasilitas militer. Tentu saja itu klaim yang dibantah keras oleh Hamas.
Namun yang mengejutkan dunia bukan hanya kehancuran fisik Gaza, melainkan perubahan drastis dalam opini global. Hanya dalam hitungan minggu setelah October 7th Massacre, dunia justru mengecam Israel. Padahal, 1.200 orang tewas dibantai di wilayah Israel, dan 250 lainnya diculik ke Gaza.
Israel berargumen bahwa serangannya memiliki dua tujuan:
1. Mencari dan menyelamatkan warga Israel yang disandera Hamas.
2. Memburu teroris yang melakukan pembantaian 7 Oktober di wilayah perbatasan.
Sebaliknya, Hamas nyaris luput dari hujatan dunia. Bahkan, di banyak universitas besar di dunia, demonstrasi besar-besaran justru mengecam Israel dan menuntut pembebasan Gaza. Hamas bukan hanya terbebas dari kritik, mereka bahkan mendapat dukungan luar biasa dari banyak negara.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa yang membuat opini global berpihak pada kelompok teroris yang melakukan pembantaian massal?
PERAN MEDSOS YANG MENCEMASKAN
Propaganda Hamas tidak akan mencapai skala global tanpa bantuan media sosial. Mereka memahami dengan sangat baik cara kerja algoritma yang menempatkan konten negatif sebagai magnet perhatian.
Ironisnya, sebagian besar industri media sosial didirikan atau dipimpin oleh individu Yahudi. Namun algoritma ciptaan mereka justru menjadi senjata yang berbalik arah, menjadi mesin penyebar kebencian terhadap Israel dan bangsa mereka sendiri.
Sejak awal pengembangan media sosial dua dekade lalu, algoritma dirancang untuk satu tujuan utama: meningkatkan jumlah pengguna dan membuat pengguna terus aktif selama mungkin. Para pengembang menggandeng para ilmuwan perilaku dan ahli neuroscience untuk menjawab satu pertanyaan: bagaimana membuat pengguna kecanduan berinteraksi di media sosial?
Jawabannya sederhana dan menakutkan: konten negatif lebih menarik.
Satu kata kasar seperti "bodoh" atau "goblok" bisa memicu interaksi berkali lipat lebih besar daripada kata positif. Algoritma kemudian belajar bahwa konten negatif menciptakan engagement yang tinggi, dan mulai "memberi reward" kepada mereka yang menyebarkannya.
Riset menunjukkan bahwa konten negatif menyebar enam kali lebih cepat daripada konten positif atau netral. Inilah sebabnya, saat perang pecah, linimasa media sosial dipenuhi kemarahan, kebencian, dan provokasi emosional.
Hamas memahami hukum algoritma ini. Mereka dan sekutunya membanjiri media sosial dengan konten-konten yang menggugah emosi negatif. Maka tak heran, ketika warga di berbagai kota dunia meneriakkan slogan seperti "From the river to the sea," "Free Palestine," atau bahkan "Death to Israel," namun banyak di antara mereka tidak benar-benar memahami arti dari slogan-slogan itu. Mereka mengira sedang membela kemanusiaan, padahal mereka sedang menggemakan propaganda yang dirancang dengan cermat oleh Hamas.
October 7th Massacre bukan serangan spontan. Itu adalah rencana yang disusun lama oleh Hamas, sebagaimana terungkap dalam berbagai dokumen yang kini bisa diakses publik (klik di sini: https://saturday-october-seven.com/ ).
Hamas tahu mereka akan kalah secara militer. Namun mereka juga tahu, mereka bisa menang dalam perang persepsi. Dan dalam hal ini, mereka berhasil.
Secara psikologis dan digital, Hamas menanamkan benih kebencian global terhadap Israel dan bangsa Yahudi. Dunia seolah lupa bahwa pada 7 Oktober 2023, genosida terhadap warga Yahudi terjadi kembali di tanah Israel.
Tujuan Hamas bukan hanya menghancurkan Israel secara fisik, tetapi juga menghancurkan legitimasi moral bangsa Yahudi di mata dunia. Jika mereka berhasil, kebencian yang sama dapat dengan mudah meluas ke seluruh dunia.
KEBERHASILAN HAMAS YANG LAIN
Keberhasilan Hamas tidak berhenti pada propaganda kebencian. Mereka juga berhasil memanipulasi sejarah.
Kini, banyak orang menganggap bahwa Israel menjajah Palestina, padahal negara "Palestina", bahkan belum pernah ada sebelum 1948. Wilayah itu dahulu merupakan tanah yang dihuni komunitas Arab dan Yahudi di bawah kekuasaan Ottoman, lalu Inggris.
Ketika Inggris mundur, PBB menawarkan UN Partition Plan pada tahun 1947, rencana yang menjadi cikal-bakal dari sebutan two-state solution, dua negara, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab.
Orang-orang Yahudi menerima dan mendirikan negara Israel pada 1948. Orang-orang Arab menolak dan justru berperang melawan Israel bersama negara-negara Arab di sekitarnya. Mereka kalah, dan sejak itu, sebagian besar komunitas Arab di wilayah tersebut menjadi pengungsi abadi.
Namun sejarah ini dibelokkan di media sosial. Narasi "Israel penjajah Palestina" tersebar luas, didorong oleh algoritma yang lebih menyukai amarah ketimbang akurasi.
PRO-HAMAS DI INDONESIA
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memandang konflik Israel-Palestina, bukan dari data sejarah, melainkan dari warisan ideologis masa lalu.
Di era 1950-an, Presiden Soekarno mengagumi sosok Gamal Abdel Nasser dari Mesir, seorang pemimpin dunia ketiga yang berani menantang Barat dan Israel. Namun kekalahan Nasser dari Israel pada 1967, yang membuat Gaza jatuh ke tangan Israel, tidak menghapus glorifikasi Soekarno tersebut.
Dari sinilah sentimen anti-Israel di Indonesia berakar.
Sebagai bangsa yang pernah dijajah, masyarakat Indonesia mudah bersimpati pada narasi "penjajahan," tanpa memahami konteks sejarah sebenarnya.
Kini, di era digital, kebencian itu menemukan bentuk barunya: bukan lagi pidato politik, melainkan algoritma yang menyebarkan kemarahan tanpa batas. Politisi hanya menunggangi sentimen itu demi kepentingan sempit mereka, bukan demi kemanusiaan.
PENUTUP: PERANG BARU DI ERA ALGORITMA
October 7th Massacre adalah salah satu tragedi paling kelam di abad ini, dan juga tonggak lahirnya era baru: perang digital berbasis algoritma.
Perang terbesar hari ini bukan lagi di Gaza, tetapi di pikiran manusia.
Jika dunia ingin keluar dari lingkaran kebencian ini, maka literasi digital dan pendidikan sejarah menjadi kuncinya. Karena di era algoritma, siapa yang mengendalikan emosi, dia yang mengendalikan "kebenaran".
M. Jojo Rahardjo
Penulis & Konsultan Neuroscience yang fokus pada hubungan antara otak, emosi, dan perilaku sosial sejak 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI