Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Citizen Scientist

M. Jojo Rahardjo is a prolific writer and the founder of Mindset Emas, a neuroscience-based mental health initiative. Since 2015, he has produced hundreds of articles, videos, and infographics, driven by a deep interest in technology, science, and the human mind. More info: https://linkedin.com/in/m-jojo-rahardjo Check out my services in Fiverr: https://www.fiverr.com/s/99qp8PY

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pelajaran Empati di Sekolah Denmark

14 Maret 2025   18:04 Diperbarui: 17 Maret 2025   16:39 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | SHUTTERSTOCK

Ada 5 negeri Skandinavia: Denmark, Finland, Iceland, Norway, Sweden. Semuanya negeri terbahagia menurut "World Happiness Report" (WHR) yang diterbitkan tiap tahun oleh UN SDSN. Sedangkan kebahagiaan Indonesia dinyatakan buruk, karena berada di posisi 80an dari tahun ke tahun di antara 150an negeri di dunia.

Kebahagiaan ini kata lain dari kesehatan mental yang baik. Jika rusak kesehatan mental, maka rusak pula kebahagiaan. Begitu juga sebaliknya.

Tentu ada banyak faktor yang membuat Denmark (dan semua negeri Skandinavia lainnya) berada di urutan atas dalam soal kebahagiaan. Sebagaimana disyaratkan oleh WHR, Skandinavia ini selalu unggul dalam 6 indikator ini:
1. GDP per capita (bukan GDP saja ya).
2. Social support.
3. Healthy life expectancy.
4. Freedom to make life choices.
5. Generosity.
6. The absence of corruption.

Ini yang seharusnya dikejar oleh Indonesia, jika mau cepat melesat maju. Bukan cuma mengejar indikator ekonomi saja, seperti angka pertumbuhan ekonomi di atas 5% atau besarnya angka GDP.

Namun di Denmark, semua sekolahnya memberikan pelajaran untuk menumbuhkan empathy selama 1 kali seminggu kepada siswanya yang berusia 6-16 tahun. 

Baca artikel mengenai itu pada link di bawah.
Empathy? In Denmark, They’re Learning It In School

Pelajaran untuk menumbuhkan empathy juga ada di negeri Skandinavia yang lain, namun dengan sebutan yang berbeda, seperti value-based education (Sweden), social and emotional learning (Norway), well-being and social cohesion (Finland) dan lainnya.

Empathy menurut neuroscience adalah sebuah hasil interaksi antar bebeberapa bagian otak yang penting. Interaksi ini dan beberapa bagian penting itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kondisi otak sejak lahir, atau apa-apa yang terjadi di sekitar Anda atau terjadi pada diri Anda. Itu termasuk juga apa yang diajarkan kepada Anda sejak kecil (parenting) dan apa yang "diajarkan" oleh lingkungan Anda setiap hari.

Ada anak yang terlahir dengan memiliki ciri ASPD (Antisocial Personality Disorder). Parenting yang biasa tidak akan punya pengaruh pada anak seperti ini. Jika tidak ditangani secara khusus (parenting khusus), maka anak ini akan tumbuh dengan ciri ASPD atau sebutan populernya: sociopath, narcissist, psychopath.

Sedangkan sebagian besar anak akan lahir normal, namun akan dipengaruhi oleh apa yang terjadi di sekitarnya atau apa yang terjadi padanya sejak masih anak-anak, termasuk parenting yang diberikan. Sebagian kecil dari mereka akan tumbuh menjadi sociopath.

Apa ciri utama mereka yang menyandang ASPD ini (selanjutnya digunakan sebutan sociopath saja)?
1. Cenderung untuk melanggar social norms, aturan, hukum.
2. Kekurangan empathy yang bisa tidak terlihat oleh orang awam, namun terlihat jelas oleh para ahli.
3. Manipulatif atau tukang ngibul yang membuatnya sering disangka orang baik, hebat, pintar, bahkan suci.
4. Impulsive, melakukan satu tindakan tanpa didahului oleh pertimbangan matang atau oleh kewarasan.
5. Agresif atau cenderung menyerang orang lain secara verbal atau fisik.
6. Intelegensi mereka hanya rata-rata atau di bawah rata-rata, namun mereka mampu menampilkan dirinya seperti jenius.

Semua itu ada penjelasan panjangnya dari neuroscience tentang tiap-tiap ciri itu dan mengapa mereka memiliki ciri itu.

Semua ciri itu adalah ciri dominan dari hampir semua politisi atau beberapa profesi tertentu lainnya. Makanya Anda harus berhati-hati pada tiap politisi, karena Anda bisa mengira politisi yang Anda kagumi sebagai orang baik, padahal ia seorang pemangsa, penghisap darah, atau toxic.

Mengenai ciri itu bisa dibaca di setidaknya 2 buku berikut: "Why We Elect Narcissists & Sociopaths" (Bill Eddy), atau "Assholes" (Aaron James) dan juga beberapa buku atau artikel lainnya.

Akhir-akhir ini persoalan korupsi di Indonesia sedang mengemuka. Puluhan tahun, bahkan sejak awal kemerdekaan RI, Indonesia sudah dirongrong oleh korupsi, bahkan beberapa dekade terakhir malah makin menggila.

Korupsi dilakukan oleh mereka yang memiliki ciri sociopath. Dan korupsi tidak bisa diberantas di Indonesia, karena para politisi yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, malah banyak yang terindikasi sosiopath juga.

Sebagaimana disebutkan di atas, sociopathy adalah persoalan kesehatan mental yang menghambat naiknya 6 indikator yang disebutkan di WHR di atas. Tanpa memperhatikan kesehatan mental, maka pemberantasan korupsi di Indonesia hanya akan bermain di soal hukuman yang lebih berat, atau hukuman sosial, juga soal bagaimana membuat sistem untuk mencegah korupsi. Sementara itu akar korupsi, yaitu kesehatan mental tidak disentuh sama sekali.

Sekarang saya tanya pada Anda, pernahkah ada program untuk menyempurnakan kesehatan mental di Indonesia? Jangan tanyakan itu ke politisi, karena kesehatan mental mereka diragukan.

M. Jojo Rahardjo
Satu-satunya penulis sejak 2015 yang telah menghasilkan ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
linkedin.com/m-jojo-rahardjo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun