Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Citizen Scientist

M. Jojo Rahardjo is a prolific writer and the founder of Mindset Emas, a neuroscience-based mental health initiative. Since 2015, he has produced hundreds of articles, videos, and infographics, driven by a deep interest in technology, science, and the human mind. More info: https://linkedin.com/in/m-jojo-rahardjo Check out my services in Fiverr: https://www.fiverr.com/s/99qp8PY

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Untungnya Pelajaran Agama di Sekolah Dihapus?

6 Juli 2019   10:19 Diperbarui: 6 Juli 2019   13:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: SD. Darmono, usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis, 4/7/2019 (Fajar.co.id) 

Wacana menghapus pelajaran agama mengemuka akhir akhir ini. SD. Darmono, Chairmain Jababeka Group, mengusulkan itu baru-baru ini. Tak hanya itu, muncul pula wacana menghapus Kementerian agama. Tanda apa ini?

Nampaknya apa yg terjadi lebih dari 1 dekade terakhir ini yg mendorong wacana ini muncul. Agama sering dijadikan tunggangan demi tujuan politik. Itu terlihat pada di beberapa pemilu terakhir. Misalnya Prabowo terlihat berkolaborasi dengan kaum radikal pengusung ideologi Khilafah. Agama ditunggangi untuk memberi legitimasi pada kelompoknya. Agama ditunggangi untuk memfitnah atau menyebar kabar bohong. Agama ditunggangi untuk menjatuhkan kelompok lain.

Tak heran Singapura dulu di awal berdirinya negeri itu menghapus pelajaran agama di sekolah. Pelajaran agama rentan disusupi  kepentingan politik. Anak anak yg mestinya tetap menjadi kertas putih diracuni dengan paham radikal anti kemanusiaan, anti keberagaman atau anti berpikir kritis. Agama menjadi sumber konflik. Di Indonesia, masuknya paham radikal melalui sekolah dan kampus sudah terjadi sejak awal tahun 80an di Indonesia hingga sekarang.

Negeri negeri sejahtera dan maju dalam daftar "World Happiness Report" yang diterbitkan PBB tiap tahun juga tak memberi pelajaran agama di sekolah sekolahnya. Sedangkan negeri negeri yang masih memberi pelajaran agama di sekolahnya tetap menjadi negeri negeri yang dirundung konflik.

Jika pemerintah memenuhi tuntutan zaman ini, yaitu menghapus pelajaran agama di sekolah, maka tentu saja kaum radikal bakal dirugikan. Sekolah adalah tempat pertama yg paling bagus untuk menanam bibit mereka. Mereka tentu akan menuduh macam-macam, bahkan akan turun ke jalan untuk membuat "kekacauan".

Kita beruntung, karena mereka semua gagal di politik. Partai-partai politik mereka tetap gurem. Itu sebabnya mereka bergabung ke Prabowo. Mereka berharap jika Prabowo menang mereka mendapat panggung juga. Atau mereka akan mencoba "menikam" Prabowo kelak agar hanya mereka yang tinggal di panggung Indonesia nanti. Syukur lah mereka semua kalah, meski mereka masih terus melempar fitnah dan menjadi kerikil di sepatu bangsa Indonesia.

Agama sebagaimana menurut riset neuroscience memiliki peran penting bagi individu untuk memiliki positivity (kebahagiaan) yang besar. Namun agama tidak harus diberikan dalam bentuk pelajaran di sekolah, karena pelajaran agama di sekolah rentan ditunggangi oleh kepentingan politik. Biarlah agama menjadi urusan individu yg paling personal. Negara tinggal melindungi hak individu itu.

M. Jojo Rahardjo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun