Berulang kali saya meyakinkan diri saya sendiri: bahwa saya akan baik-baik saja, bahwa waktu akan menyembuhkan, bahwa semuanya pasti ada hikmahnya. Berulang kali saya menguatkan hati: mencoba berdamai dengan kenyataan, membisikkan pada diri sendiri bahwa semua ini bagian dari takdir. Tapi nyatanya, ikhlas memang tidak semudah itu.
Saya pikir, ikhlas itu seperti menekan satu tombol di hati, lalu semua rasa sakit akan hilang. Tapi ternyata tidak. Ada luka yang menetap meskipun saya sudah memaafkan. Ada kehilangan yang tetap terasa kosong, meskipun saya sudah menerima. Ada kenangan yang terus muncul tanpa diundang, meskipun saya sudah berusaha melupakannya.
Saya pernah duduk lama, termenung dalam diam, bertanya kepada diri sendiri: mengapa hati ini masih berat? Mengapa masih ada air mata yang jatuh diam-diam ketika semua orang mengira saya sudah kuat? Mengapa saya masih berharap pada sesuatu yang sudah jelas bukan milik saya?
Ikhlas bukan tentang pura-pura bahagia. Bukan juga tentang memaksa diri tersenyum di atas luka yang belum sembuh. Ikhlas, saya pelajari, adalah proses panjang antara hati yang terluka dan jiwa yang perlahan belajar menerima. Bukan berarti saya tidak mencoba. Setiap hari saya belajar untuk menerima apa pun yang Tuhan gariskan, meskipun sering kali hati saya tertinggal beberapa langkah di belakang kenyataan.
Ada hari-hari di mana saya merasa kuat, merasa ikhlas sudah menjadi bagian dari diri saya. Tapi ada pula hari-hari di mana semuanya kembali terasa berat, dan saya terjatuh lagi. Saya mengulang doa yang sama, menangis dalam sujud yang sama, berharap pada Tuhan yang sama, agar hati ini tenang, agar dada ini lapang.
Ikhlas adalah jalan sunyi, karena tak semua orang mengerti perjuangan batin yang saya hadapi. Mereka hanya melihat senyum, tanpa tahu berapa banyak luka yang harus saya peluk sendiri. Tapi justru di jalan sunyi itulah, saya menemukan bahwa Tuhan benar-benar dekat. Bahwa ketika semua orang tak memahami, hanya Dia yang bisa memberi kekuatan yang tak terlihat.
Saya mulai belajar bahwa ikhlas bukan berarti melupakan, tapi merelakan. Bukan berarti tidak pernah sakit, tapi tidak lagi mempersoalkan rasa sakit itu. Ikhlas bukan tentang tidak merasa kehilangan, tapi percaya bahwa yang hilang memang tidak untuk saya pertahankan.
Kini, saya tak lagi terburu-buru. Saya izinkan diri saya merasakan semua emosi yang datang. Saya beri ruang untuk kecewa, marah, dan sedih karena semua itu manusiawi. Tapi setelah itu, saya bangkit lagi. Pelan-pelan, meski tertatih, saya terus melangkah. Karena saya tahu, setiap langkah menuju ikhlas adalah bentuk cinta saya pada diri sendiri dan kepercayaan saya pada takdir-Nya.
Dan mungkin, itulah bentuk ikhlas yang paling tulus: bukan yang sempurna, tapi yang terus diperjuangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI