Mohon tunggu...
Jannu A. Bordineo
Jannu A. Bordineo Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Jannu A. Bordineo, lahir di Gersik, sebuah kampung di Kabupaten Penajam Paser Utara yang sering disalah kira dengan salah satu kabupaten di Jawa. Lulusan teknik yang menggandrungi sastra. Mulai menulis cerita sejak ikut lomba mengarang cerpen sewaktu SD. Buku kesukaannya adalah Jiwa Pelaut karya Moerwanto. Temui dia di kedalaman hutan atau di keluasan lautan, karena dia pendamba ketenangan. http://www.lautankata.com/ fb.com/bordineo IG: @bordineo.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malaka Jatuh...

17 Juni 2020   17:22 Diperbarui: 17 Juni 2020   17:12 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar peta Majapahit dari Wikipedia.

Peranggi koplak!
Peranggi koplak!
Maunya Maluku,
dapatnya Malaka.
Peranggi koplak!
Peranggi koplak!

Senyuman terbit di wajah Sakti kala mendengar dendangan itu. Kabar jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi begitu menggemparkan, menjadi perbincangan di mana-mana, sampai-sampai memapar bocah-bocah yang tidak tahu perkara. Ya, bocah-bocah tak tahu perkara. Keluguan merekalah yang membangkitkan senyum di bibir Sakti. Senyum yang berasa tawar.

"Sama sekali tidak koplak, Nak," Sakti membatin muram. "Sama sekali...."

Langkah dan keberhasilan Peranggi mengusai Malaka adalah siasat yang sangat cemerlang. Bisa dibilang mereka telah separuh jalan menguasai Nusantara, menggenggam separuh kejayaannya.

Benar bahwasanya kekayaan dan kejayaan Nusantara perpangkal pada perdagangan rempah-rempah. Kepulauan Maluku yang merupakan satu-satunya[] tempat di muka bumi ini yang menumbuhkan pala dan cengkeh---salah dua barang dagang utama dalam perdagangan dunia---menjadi tempat yang paling berharga. Letaknya dicari-cari sejak zaman kuno, juga dijaga ketat dan bahkan dirahasiakan oleh siapa pun yang menjadi penguasanya.


Namun, yang namanya perdagangan membutuhkan jalan. Keduanya tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi kepeng, sama pentingnya. Jika wilayah timur Nusantara menjadi berharga karena rempah-rempahnya, maka wilayah barat Nusantara menjadi penting karena menjadi gerbang yang mengantarkan barang-barang itu ke Atas Angin, ke seluruh penjuru dunia. Menguasai salah satunya saja sudah menjadi jaminan akan datangnya kejayaan. Riwayat Kedatuan Sriwijaya menjadi bukti nyatanya.

Negeri bercorak Melayu yang berpusat di Sumatra itu mencapai puncak kejayaannya setelah menguasai Ujung Medini[] dan mendapatkan kendali mutlak atas Selat Malaka, juga Selat Karimata dan perairan lain di sekitarnya. Jajak-jejak kebesarannya bahkan masih terasa sampai sekarang, karena memang, sedikit banyak, memberi pengaruh akan perubahan wajah kawasan menjadi seperti sekarang.

Di masa sebelum kekuatan Sriwijaya hadir, perairan Selat Malaka dan Selat Karimata bukanlah jalur pilihan para saudagar. Perairan kedua selat ini sangat rawan, penuh perompak yang berkeliaran. Kala itu, rempah-rempah dari Maluku bisa sampai ke Atas Angin melalui jalur lain. Jalur yang sudah ada sejak zaman yang tidak lagi bisa dibilang.

Ada dua jalur. Pertama, melalui Selat Sunda melantas pesisir barat Pulau Sumatra. Di sana ada Barus, negeri bandar yang menjadi titik tolak para pelaut Nusantara dalam menjajakan rempah-rempah hingga sampai ke Atas Angin sebelah barat. Meski menghadap langsung ke samudra yang mahaluas, negeri bandar ini termasuk yang paling awal terhubung dengan negeri-negeri di India, Parsi[], Mesir, juga Malagasi di sisi lain lautan. Sejak zaman kuno, para pelaut Nusantara yang telah mengakrabi ombak dan angin samudralah yang menghubungkannya.

Jalur yang kedua melalui sebelah timur dan utara Pulau Kalimantan, yaitu melalui Selat Makassar dan Laut Sulu. Di sini, yang tampil sebagai jantung perdagangannya adalah Kutai.

Sebenarnya bisa saja pedagang rempah setelah dari Maluku langsung ke utara, lalu berbelok ke barat melintasi Laut Sulawesi dan sampailah ke Laut Sulu. Akan tetapi, jangan lupa bahwa jalur perdagangan rempah ini adalah satu kesatuan. Dari pesisir barat Sumatra, Selat Sunda, Laut Jawa, Selat Makassar, hingga Laut Sulu, semuanya merupakan satu kesatuan. Pada gilirannya, jalur rempah ini terhubung dengan jaringan perdagangan dunia yang menghubungkan Tiongkok dengan India.

Luputnya Maluku dari jalur utama perdagangan dunia kendati wilayahnya merupakan sumber dari beberapa barang utama yang diperdagangkan, Sakti menduganya sebagai sebuah kesengajaan. Pemikiran Sakti sejalan dengan para cendekiawan Perguruan Naga, bahwa ini adalah bentuk nyata dari upaya merahasiakan letak sumber-sumber rempah Maluku. Pada awalnya, para pedagang dari Maluku sendiri yang membawa barang-barang hasil bumi mereka ke bandar lain di Nusantara untuk diperdagangkan. Mereka adalah para Orang Kaya[] Banda. Mereka yang mengumpulkan pala dan fuli dari Kepulauan Banda, mereka jugalah yang mengumpulkan cengkeh dari Ternate, Tidore dan Bacan di utara Maluku. Para pedagang dari daerah lain di Nusantara di masa kemudian juga mendapatkan pala dan cengkeh, serta barang selain rempah seperti bulu burung cenderawasih asal Wanin[], dari para Orang Kaya Banda.

Seiring maraknya kekuatan Sriwijaya di Selat Malaka, pamor jalur rempah kuno ini pun meredup, tergantikan kedudukannya sebagai jalur perdagangan utama. Hal yang sama terjadi pula dengan Barus dan Kutai, yang tidak lagi terdengar denyut nadi kehidupannya.

Pergeseran jalur perdagangan ini dapat dimaklumi secara sederhana. Walau pelayaran samudra bukanlah masalah bagi para pelaut Nusantara, bukan berarti mudah melakukannya. Perairan pedalaman seperti selat tentu lebih mudah diarungi daripada perairan terbuka seperti samudra. Dengan hadirnya gugus laut Sriwijaya yang berhasil menghalau para perompak di Selat Malaka dan Selat Karimata, tidak ada lagi alasan bagi para pedagang untuk menghindari kedua perairan ini. Amannya Selat Malaka juga membuat arus pedagang Atas Angin yang menuju atau melintasi Nusantara semakin banyak. Para pedagang dari Arab, Parsi, India, yang ingin ke Tiongkok atau sebaliknya, bisa mencapai tujuan cukup dengan berlayar menyusuri pantai.

Roda waktu terus berputar. Tiba masanya kekuatan Sriwijaya goyah sampai tidak lagi bisa dipertahankan atau mempertahankan. Negeri-negeri Melayu di Sumatra dan Ujung Medini pun tercerai-berai tanpa ada yang punya pengaruh besar di kawasan. Antara sama waktunya, di tempat lain yang jauh di utara, bangsa Tartar[] membangkitkan kuasanya hingga tampil sebagai kekuatan adidaya. Pasukan berkuda mereka yang masyhur perkasa sedang dan telah menggagahi sebagian besar dunia sebelah utara. Kubilai Khan, penguasa Tartar di Tiongkok, yang haus akan pengakuan, pada akhirnya mulai mengincar permata yang bertaburan di laut selatan.

Kertanegara, maharaja Singasari---negara terkuat di Nusantara kala itu dan salah satu kekuatan utama di kawasan tenggara Asia, menyadari ancaman yang mungkin akan datang dari utara. Ancaman itu semakin nyata setelah dia menolak permintaan hina Kubilai Khan untuk tunduk menghamba, lantas mempermalukan utusan penguasa Tiongkok itu.

Untuk membendung serangan bangsa Tartar yang tinggal menunggu waktu datangnya saja, Kertanegara mengirim utusan ke negeri-negeri Melayu. Dia sadar akan arti penting Ujung Medini dan perairan di sekitarnya bagi kelangsungan kemakmuran Nusantara. Pengiriman utusan yang kelak di kenal dengan sebutan Pamalayu itu menuai hasil yang gilang-gemilang. Negeri-negeri Melayu di Sumatra dan Ujung Medini bersedia bersatu di bawah panji-panji Singasari demi menghadapi kekuatan bangsa asing yang datang mengancam. Selain itu, Kertanegara juga menjalin persekutuan yang erat dengan mitreka satata [mitra sejajar] di kawasan, yaitu dengan Campa. Dengan demikian Nusantara telah dibentengi dengan baik oleh Kertanegara.

Meski pada akhirnya Kertanegara tidak sampai berhadapan dengan bala tentara Tartar lantaran ditikung oleh Jayakatwang dari Gelang Gelang, raja besar ini meninggalkan warisan penting, yaitu wawasan Nusantara[] yang disebut dengan cakrawala mandala dwipantara. Kelak, gagasan Kertanegara untuk menyatukan Nusantara dibawah satu panji terwujud di zaman Majapahit, penerus langsung Singasari.

Di bawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk yang termasyhur, Majapahit tidak hanya mempertahankan pengaruh atas negeri-negeri Melayu, tetapi juga melebarkan pengaruhnya hingga ke seluruh penjuru Nusantara.

Sayangnya, sepeninggal Gajah Mada dan Hayam Wuruk, wawasan Nusantara agaknya dilupakan oleh para anggota keluarga kerajaan yang pada sibuk rebutan takhta. Dengan dilupakannya wawasan Nusantara, arti penting Ujung Medini dan Selat Malaka dengan sendirinya ikut terlupa. Puncak kemerosotan itu adalah perang saudara Paregreg yang tidak hanya merontokkan kekuatan laut Majapahit, tetapi juga pengaruh atas negeri-negeri bawahan di seberang lautan yang mulai berani berdiri sendiri. Bahkan pelarian asal Tumasik, Parameswara, bisa membangun negeri baru di Ujung Medini yang dinamai Malaka---belakangan nama ini yang lebih sering digunakan orang untuk menyebut selat dan daratan semenanjung tempatnya berdiri.

Segera, Malaka menggantikan Majapahit sebagai kekuatan yang berkuasa atas Ujung Medini dan perairan di sekitarnya. Malaka menjadi semakin maju seiring berlalunya waktu, meninggalkan Majapahit yang kian terpuruk sampai menjadi negeri pedalaman kecil yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak diperhitungkan lagi keberadaannya.

Sekarang, riwayat negeri semenanjung itu tiba-tiba saja pungkas.

Barangkali jatuhnya Malaka memanglah diluar perkiraan semua orang. Negeri itu tidak sedang dalam sengketa kuasa. Perniagaan di Selat Malaka, baik rempah maupun umum, juga tidak sedang dalam keadaan buruk. Walau arus kapal dari Atas Angin sempat tersendat akibat gejolak yang terjadi di Atas Angin sana beberapa waktu yang lalu, itu pun tidak cukup untuk meruntuhkan negeri sebesar Malaka. Apalagi keadaan sekarang sudah membaik, dan bahkan mulai meningkat.

Satu-satunya hal yang diperhitungkan orang bakal terjadi adalah serangan Peranggi.

Sepak terjang negeri yang muncul dari antah-berantah ini sudah lama terdengar, tak terkecuali perbuatan mereka di Atas Angin. Mereka mengamuk di sana. Berbekal senjata yang mengungguli cetbang, mereka membabat habis pasukan laut negeri-negeri Atas Angin yang mencoba menghalangi.

Jika ada yang bertanya-tanya, apa garangan yang Peranggi cari sampai-sampai membawa kehancuran di setiap negeri yang mereka datangi, maka orang akan tertawa, lantas terheran-heran bilamana tahu. Rempah-rempah jualah yang mereka cari. Akan tetapi, menilik perangai yang mereka tunjukkan, bangsa ini agaknya berbeda dengan bangsa lain yang selama ini berdagang rempah.

Sepertinya Peranggi ini tidak merasa cukup mendapatkan rempah hanya dari pedagang saja. Sepenuturan para nakhoda, Sakti dengar harga rempah-rempah di Atas Angin sana bisa melonjak ribuan kali lipat dari harga di Nusantara. Tentu hal ini tidak memuaskan Peranggi yang menunjukkan gejala ingin lebih.

Sampai di sini orang tidak akan terheran-heran lagi. Mengerti. Hasrat ingin lebih, keserakahan, salah satu watak bawaan manusia yang paling merusak bila tidak diimbangi dengan usaha untuk menahannya. Dan Peranggi ini, alih-alih menahan, yang terlihat malah mereka melepaskan.

Saat keserakahan menjadi semangat penggerak langkah, maka kehancuranlah yang akan mengiringi.

Jika Peranggi merasa kurang untung mendapatkan rempah dari pedagang, mudah saja menebak langkah mereka selanjutnya, yaitu mencari sumbernya, untuk kemudian menguasai semua untuk dirinya sendiri. Bila begitu adanya, akan muncul pertanyaan: kenapa mereka malah menduduki negeri di tanah Hindi?

Tidak ada jawaban lain selain mereka---pada waktu itu---belum tahu letak sebenarnya Kepulauan Rempah.

Empu Gatta pernah bercerita, para pedagang rempah di Atas Angin sana, karena persaingan, enggan saling berbagi keterangan. Keterangan palsu pun berseliweran terkait letak Kepulauan Rempah. Yang paling umum disebut adalah India, dan inilah yang sampai ke telinga orang-orang di atas Atas Angin---yang merupakan pelanggan akhir rempah yang mendapatkannya dengan harga selangit.

Tipu-tipu ini sungguh meyakinkan, mengingat India adalah persinggahan rempah-rempah Nusantara sebelum mencapai tempat yang lebih jauh. Maka, bangsa-bangsa dari atas Atas Angin yang telah terkena demam rempah---ya, Peranggi hanyalah salah satunya---berbondong-bondong mengarungi samudra mencari India.

Tentu Peranggi dan kawan-kawannya juga tidak mengetahui bahwa para pedagang rempah Atas Angin baru-baru ini saja mendapatkan jalan ke Maluku. Sebelumnya, kendati telah ke Nusantara dan mendengar mengenai Maluku, mereka tidaklah tahu letak pastinya, apalagi jalur yang harus ditempuh untuk menuju ke sana. Ingat bahwa ada usaha untuk merahasiakan letak kepulauan ini.

Orang-orang Atas Angin cukup tahu diri untuk tidak mengusik adat bangsa-bangsa Nusantara ini. Terlebih lagi, di zaman Majapahit hanya pedagang Nusantara yang bisa dan boleh membeli rempah langsung di Maluku. Majapahit menjaga betul-betul wilayahnya yang berharga ini.

Segala usaha, yang paling sembunyi-sembunyi sekalipun, dari pedagang Atas Angin yang lancang mencari jalan ke Maluku, besar kemungkinan akan berakhir sia-sia. Sebab, kapal-kapal dari gugus tempur Majapahit pimpinan Laksamana Nala bertebaran di seluruh perairan Nusantara. Jalan menuju Maluku baru benar-benar terbuka lebar setelah kekuatan laut Majapahit runtuh tanpa ada yang sanggup menggantikan kedudukannya sampai sekarang.

Barangkali karena merasa telah ditipu mentah-mentah yang membuat amuk Peranggi semakin menjadi-jadi. Bagaimana tidak? Mereka telah bersusah payah memerangi negeri-negeri di Atas Angin, di India, dan bahkan telah menduduki Goa. Namun, ternyata di sana bukan tempat asal pala.

Kelakuan Peranggi dapat diumpamakan sebagai anak-anak yang keinginannya tidak mengenal keadaan, harus terpenuhi. Jika tidak, mengamuklah dia.

Beberapa orang tua yang Sakti jumpai memanglah menganggap Peranggi tak ubahnya anak kemarin sore yang kurang ajar. Anak kemarin sore dalam pergaulan antarbangsa dunia, dan kurang ajar karena tak tahu aturannya.

/Tetapi, bukankah aturannya sama belaka di zaman apa pun? Bahwa bangsa yang maju unggul akan menindas bangsa yang terbelakang./

Sakti nyaris menyeletuk begitu ketika mendengar percakapan orang-orang sepuh itu. Untung saja waktu itu dia bisa menahan diri. Jika tidak, dia bisa saja dijadikan contoh anak yang kurang ajar dalam percakapan mereka.

Jikalau Peranggi dianggap sebagai anak kemarin sore yang kurang ajar, maka pemain lama dalam perdagangan rempah---bangsa-bangsa di Atas Angin, termasuk juga bangsa-bangsa di Nusantara---bisa dianggap sebagai tua bangka yang tidak sadar diri sedang tenggelam dalam kekolotannya.

Sakti lebih suka mengibaratkan Peranggi---dengan segala tindak tanduknya---sebagai seorang perjaka yang tengah membirahikan seorang perawan kinyis-kinyis. Jika dia tidak menahan diri, besar kemungkinan dia akan berlaku kurang ajar. Apalagi bila sampai rasanya tak berbalas, kelebihan semangat mudanya yang menggebu-gebu bisa mendorongnya menyusun akal bulus. Akal bulus untuk mengangkangi si perawan.

Peranggi, dengan keunggulan senjata meriamnya, sekarang telah mengangkangi Malaka, salah satu bandar utama dalam perdagangan dunia. Dipilihnya Malaka sebagai tempat pertama menancapkan cakar di Nusantara membuktikan bahwa Peranggi bukanlah anak ingusan, bukan pula pemuda nekat. Mereka mengerti benar apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan keinginannya.

Pamor#2.2
Naga Angin 2
Bab XX


Baca Naga Angin 1 -> https://play.google.com/store/books/details?id=lp-cDwAAQBAJ

Google Play
Google Play

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun