Mohon tunggu...
Poem Poespa
Poem Poespa Mohon Tunggu... Penulis Puitis

Aku percaya bahwa tulisan ini mampu merangkul siapa saja—anak-anak yang berimajinasi bebas, remaja yang mencari makna, hingga dewasa yang ingin kembali mengingat. Setiap kata yang kuuntai membawa harapan untuk sekedar pelukan hangat atau tempat singgah bagi hati yang rindu menemukan diri dalam cerita.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ramadan di Kota Perantauan, Rindu Ibu yang Tak Tersaji di Depan Hidangan

1 Maret 2025   04:50 Diperbarui: 1 Maret 2025   13:14 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit menorehkan jingga yang kian pudar, seolah menumpahkan luka senja ke pelataran kota yang tak pernah menghafal namaku. Di kamar sempit yang hanya berteman bayangan, aku duduk menatap sepiring nasi yang dingin, sendok beradu dengan piring dalam sunyi yang menggema. Di kejauhan, azan magrib berkumandang---suara yang dulu melantunkan panggilan pulang, kini hanya nyanyian jauh yang tak lagi menemukanku di hari yang petang.  

Dulu, magrib adalah tentang tangan ibu yang penuh kasih, menyodorkan mangkuk sup hangat, memastikan perutku tak pernah kosong. Tentang ayah yang diamnya menenangkan, duduk di ujung meja dengan tatapan teduh yang tak perlu banyak kata. Tentang adik yang tergelak, mencuri gorengan terakhir dengan kepolosan yang selalu kutertawakan. Rumah adalah tempat magrib menemukan maknanya, tempat rindu tak pernah punya ruang untuk tumbuh.  

Tapi kini, magrib hanya batas antara siang dan malam yang tak membawaku ke mana-mana. Tak ada langkah tergesa menuju meja makan, tak ada gelas yang saling beradu penuh keakraban. Hanya ada aku, mengunyah sesuatu yang terasa hambar, menyuapi diri sendiri dengan rindu yang tak bisa kusampaikan.  

Sahur pun tak lebih hangat. Alarm berdering, mata terbuka dengan enggan, nasi dingin dan lauk sisa malam menemani tanpa suara. Tak ada panggilan ibu yang lembut tapi tegas, tak ada teh manis ayah yang selalu terlalu manis. Hanya ada kehampaan yang duduk di seberangku, mengingatkan bahwa esok pun akan serupa---dan rumah masih sejauh doa.  

Tapi beginilah hidup yang kupilih, bukan? Beginilah perjalanan yang harus ditempuh oleh mereka yang ingin mengubah nasib, membiarkan sepi menjadi teman, menjadikan rindu sebagai bara agar tak goyah. Sebab tak ada mimpi yang tumbuh tanpa pengorbanan, tak ada kepulangan yang tak dibayar dengan jarak.  

Maka biarlah magrib ini tak lagi memanggil pulang, biarlah rindu ini tetap menjadi nyeri yang kupeluk dalam diam. 

Sebab aku tahu, di ujung malam yang sama, ada seorang ibu yang menyebut namaku dalam doanya. Dan sejauh apa pun langkah ini membawaku pergi, hatiku tak pernah benar-benar meninggalkan rumah.

-Puspitt

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun