Mohon tunggu...
Anjani Eki
Anjani Eki Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Fiksi

Penikmat Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kematian Kota Tua

26 Desember 2019   11:15 Diperbarui: 26 Desember 2019   11:25 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alya mengenggam lengan kirinya yang berlumuran darah. Bergerak secepat mungkin dengan sisa tenaga. Dia merogoh kunci  di saku jeans dan sejenak menatap lorong apartemen yang sepi. Napasnya tertahan.

Langkah kaki penumpang berdentum di lantai stasiun MRT. Semua mengenakan masker dan sarung tangan. Saling menjaga jarak. Tak ingin bersentuhan. Penumpang berbaris rapih menunggu pintu kereta terbuka . Gadis pirang bersepatu merah turun perlahan. Serasi dengan cat kuku merahnya yang menyala.

Kota tua itu dilanda virus influenza atau mungkin mirip. Demam tinggi, sakit kepala, pilek, nyeri otot. Setelah satu minggu batuk yang tetinggal. Mestinya dengan istirahat akan sembuh dengan sendirinya. Tapi tidak. Batuk itu akan semakin dalam dan keras. Menghentakkan tubuh. Mengalirkan keringat. Mempompa darah keluar dari hidung dan telingga.

Alya membasuh lengannya dengan kain bersih seadanya. Menekan sekuat mungkin. Dia mengigit t-shirt untuk meredam suaranya. Peluh mengucur deras. Air mata menetes. Diambilnya napas panjang dan ditekan lengannya lebih keras lagi. Microchip keluar dari lengan dengan darah yang lebih pekat.

Korban berjatuhan. Sebagian penduduk mencoba pindah ke kota lain. Tapi gagal. Mereka ditolak. Tidak ada yang ingin tertular. Kota itu penjara besar. Tentara dengan senjata lengkap berjaga di perbatasan. Bahan makanan menipis. Apotek dijarah masa. Merebutkan antobiotik seperti harta karun.

Dengan adanya pelabuhan dan bandara, kota tua itu sangat strategis. Jenderal Max ingin menjadikan markas bagi pasukannya . Penolakan walikota membuatnya geram. Sang Jenderal meminta Dokter Drey untuk membunuh seluruh penduduk kota itu dengan virus sebagai senjata pembunuh massal. Dokter Drey menolak dan memilih ditahan. Namun dia berhasil menyimpan kloning virus itu dalam tabung khusus. 

Gadis pirang itu anak buah Jendral Max yang dikirim ke kota tua  untuk menghancurkan semua laboratorium dan membunuh ilmuwan. Kecuali putri Dokter Drey yang sengaja dibiarkan lolos. Namun gadis pirang itu merobek lengan kiri Alya dan menanam microchip didalamnya. Melacak laboratorium pribadi milik dokter Drey yang mungkin menyimpan penawar kematian.

Pukul 06.00 Pagi. China Town tampak sepi. Alya menatap deretan lapak berjajar tanpa penghuni. Lampion yang mengantung berayun. Tertiup angin bercampur gerimis. Dia mendekap kedua tangannya.

Samar seorang pria berbadan tegap muncul dari ujung jalan, memakai jas coklat bertopi hitam. Tangan kirinya membawa koran. Dia mendekat memasukkan tabung ke dalam mantel Alya dan berlalu sambil menghisap batang rokok.

Tabung itu berisi virus penghasil antibodi yang berwujud protein. Ayahnya telah melakukan rekayasa genetika dari jenis virus yang sama. Virus yang digunakan untuk membunuh secara massal.

Lengan kiri Alya berdenyut. Kali ini lebih kuat. Dia tersadar malam itu microchip tersebut patah. Yang tertinggal sebagian di dalamnya memperbaiki diri dan kembali menjadi utuh. Posisi Alya terbaca.

Gadis pirang masuk ke dalam laboratorium dengan lima pria berbadan kekar. Alya keluar melalui tangga darurat dan menuruni anak tangga dengan cepat. Tabung itu digenggam erat. Alya menengok ke belakang. Dentuman keras persis di atas kepalanya. Sebuah peluru meleset menghantam pintu besi. Alya panik. Kemeja tersangkut dan tabung itu terlepas dari tangan. Bergegas dia bangkit dan mengambilnya. Pria-pria itu semakin mendekat.

Gadis itu terpeleset dan jatuh di tangga terakhir di depan pintu keluar. Menyeret kakinya yang terkilir dia bangkit dan meraih engsel pintu. Berkali kali digerakkan pintu tidak terbuka. Salah seorang dari pria itu menarik tangan Alya . Menjatuhkan tubuh Alya ke lantai dan merebut tabung itu dari tangannya. Pria itu mengarahkan pistol tepat di dahi gadis itu dan seketika ambruk berlumuran darah.

Seseorang menarik tubuh Alya dari jenazah pria itu. Dia membekap bibir Alya dan bersembunyi di balik tumpukan kardus. Pria itu mengeluarkan alat untuk mematikan microchip dalam tubuh Alya. Empat pria berbadan kekar itu berjalan semakin menjauh dari keduanya.

Lelaki itu membuka topengnya . Alya memeluknya dengan erat dan menangis hingga tubuhnya terguncang. Pria bermata biru itu melepaskan pelukan Alya dengan perlahan dan menatapnya dengan lembut.

"Kamu aman Nak. Tapi waktu kita sedikit."

Alya mengangguk dan menunjukkan tabung itu kepada Ayahnya. Keduanya bergegas menuju laboratorium nasional di kota itu untuk memperbanyak virus penawar kematian . Sebuah sedan mendekati keduanya. Pria berjas coklat dan bertopi hitam, membuka pintu dan tersenyum dengan ujung rokok masih menempel di bibirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun