Ledakan tangki-tangki minyak dan smelter. Kebakaran gudang dan pabrik. Runtuhnya jembatan dan jalan layang. Puluhan nyawa melayang. Kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Tragedi seperti ini bukan sekadar catatan statistik, ia seharusnya menjadi pengingat keras: satu keputusan teknik yang salah bisa berdampak fatal.
Dalam laporan audit, sering disebutkan penyebabnya sebagai “kesalahan teknis” begitu saja. Namun jika ditelusuri lebih dalam, kesalahan itu bisa saja berakar dari desain yang keliru, pengawasan lemah, atau perhitungan yang ceroboh. Dalam beberapa kasus bahkan disebutkan: “kelalaian dalam perhitungan tekanan akibat desain tidak kompeten.” Tapi siapa yang merancang? Siapa yang menyetujui pemasangannya? Apakah mereka benar-benar insinyur profesional?
“Berapa biaya tak terduga akibat satu baut salah spesifikasi?”
Pertanyaan itu tidak hanya menyindir, tapi membuka ke sistemik. Banyak pekerjaan teknik strategis tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dan lisensi sah. Padahal, dunia teknik bukan tempat untuk coba-coba.
Inilah mengapa STRI (Surat Tanda Registrasi Insinyur) seharusnya menjadi standar mutlak di dashboard HRD pengelola industri. STRI adalah bentuk legalitas dan jaminan kompetensi dari seorang insinyur. Ia bukan pajangan administratif, melainkan polis asuransi mutu, perlindungan terhadap risiko kesalahan fatal dalam perencanaan dan pelaksanaan kerja teknik.
Gelar Akademik Lama ≠ Lisensi Praktik Baru
Setelah tulisan saya yang lalu, saya menerima cukup banyak masukan dan tanggapan kritis. Salah satu yang paling sering muncul adalah kekeliruan dalam memahami status gelar “Insinyur” (Ir.).
Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 memang tetap mengakui penggunaan gelar Ir. bagi mereka yang lulus dari program studi teknik yang pada masanya memang memberikan gelar tersebut. Namun, Pasal 10 dari undang-undang yang sama secara tegas menyatakan bahwa setiap praktik keinsinyuran wajib disertai Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI). Dengan kata lain, mencantumkan gelar Ir. tanpa STRI memang sah secara administratif bagi lulusan lama, tetapi tidak berarti memiliki kewenangan untuk melakukan praktik profesional teknik.
Sebagai pengingat, ketentuan ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1993 yang diterbitkan pada Februari 1993. Dalam keputusan tersebut ditegaskan bahwa mulai Maret 1993, lulusan Sarjana Teknik tidak lagi diberikan gelar “Insinyur” secara langsung, melainkan menggunakan gelar S.T. (Sarjana Teknik). Sejak saat itu, gelar Ir. tidak lagi melekat otomatis pada lulusan teknik, melainkan harus diperoleh melalui pendidikan profesi insinyur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lalu muncul pertanyaan: mengapa STRI tidak langsung saja diterbitkan oleh organisasi profesi seperti PII? Jawabannya terletak pada dasar hukum yang berlaku. Berdasarkan UU Pendidikan Tinggi dan Permendikbudristek No. 39 Tahun 2022, gelar profesi, termasuk Insinyur, hanya dapat diberikan oleh perguruan tinggi, melalui program Pendidikan Profesi Insinyur (PS PPI). Dalam skema ideal, kampus bertanggung jawab mendidik dan menilai, PII menguji kompetensi dan menerbitkan STRI, sementara industri terlibat sebagai penyedia kasus dan pembimbing proyek lapangan.
Saat ini pasokan insinyur bersertifikat tidak langka. Secara nasional, lebih dari 40 kampus negeri dan swasta telah membuka PS PPI, Kampus-kampus tertentu seperti UGM, ITS dan USK misalnya, melantik sekitar 600-900 insinyur PS PPI setiap tahunnya. Namun, rata-rata kampus mendidik dan mewisuda sekitar 100 Insinyur baru. Sebagian besar Insinyur baru tersebut berasal dari Fakultas Teknik. Ya, regulasi kita memang membolehkan mereka yang punya latar belakang lulusan prodi non Teknik, seperti FMIPA, Fasilkom bahkan pendidikan kejuruan menjadi Insinyur. Tentu ada beberapa syarat dan ketentuan, seperti pengalaman kerja di lapangan keteknikan yang harus dipenuhi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!