Indonesia tengah membangun reputasi sebagai pusat industri halal dunia. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi tonggak ambisi besar nan mulia ini. Implementasi bertahap  sudah mulai dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).Â
Dalam beberapa tahun ke depan, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia—dari makanan hingga pakaian—ditargetkan wajib memiliki sertifikat halal.
Secara ilmiah, rekayasa genetika memungkinkan gen dari organisme haram, seperti babi atau manusia, atau barang najis, disisipkan ke dalam tanaman pangan, bahan tekstil, atau resin sintetis.Â
Meski tak terlihat, informasi genetik tetap terbawa. Inilah sebabnya sebagian produk non-pangan pun bisa mengandung unsur haram jika tak diawasi asal-usul gennya.
Di balik semangat itu, muncul pertanyaan bernada khawatir dari masyarakat dan pelaku usaha kecil: benarkah semua produk, termasuk pakaian, sabun, detergen, bahkan sajadah, harus bersertifikat halal? Apakah tidak ada cara lain yang lebih proporsional dan tetap sesuai dengan syariat?
Beban Berat Bagi UMKM
Sertifikasi halal tentu sangat penting bagi produk pangan, minuman, dan obat-obatan, karena itu semua masuk ke tubuh dan memengaruhi ibadah.Â
Tetapi bagaimana dengan produk non-pangan seperti pakaian, tas, atau alat rumah tangga? Banyak pelaku UMKM merasa terbebani oleh biaya pendaftaran dan audit; kerumitan dokumentasi bahan; kewajiban pelabelan; dan ketakutan terhadap sanksi administratif.
Bagi pelaku usaha skala kecil, ini bisa mematikan inovasi dan justru menjauhkan mereka dari niat baik untuk patuh pada syariat.
Fiqih: Najis Tak Selalu Haram, Istihalah Diperhitungkan
Walaupun bukan ahli fiqih, sependek pengetahuan penulis, dalam hukum Islam, keharaman suatu benda tidak hanya ditentukan oleh asalnya, tetapi juga oleh sifat dan tujuannya.Â
Barang najis tidak otomatis haram digunakan, terutama jika tidak dikonsumsi secara langsung; tidak dipakai untuk ibadah; atau telah mengalami istihalah (perubahan total zat).
Sejumlah ulama besar, seperti Imam al-Qarafi, Ibn Taimiyah, hingga ulama kontemporer seperti Dr. Wahbah Zuhayli, menyatakan bahwa zat najis yang telah berubah secara total (istihalah tammah) menjadi zat baru yang suci dan boleh digunakan.
Contoh sederhananya: alkohol yang berubah menjadi cuka. Atau limbah najis yang menjadi pupuk organik. Maka, sangat tidak tepat jika semua barang yang pernah bersentuhan dengan unsur najis harus diwajibkan melalui prosedur sertifikasi halal yang panjang dan mahal.
Solusi Sederhana: Edukasi, Bukan Sertifikasi
Daripada mewajibkan semua produk non-pangan untuk bersertifikat halal, akan jauh lebih bermanfaat jika pemerintah menyusun dan menyosialisasikan daftar bahan haram/najis yang sering digunakan dalam industri non-pangan.
Daftar ini bisa mencakup, misalnya: lem dari babi; Enzim pelunak dari hewan tidak disembelih secara syar’i; Pewarna atau pelapis dari bahan najis
Pelaku usaha dapat diberi panduan untuk menghindari bahan tersebut, dan konsumen diberi pemahaman agar dapat bertanya atau memilih produk dengan lebih sadar. Tidak semua harus disertifikasi formal, cukup dengan transparansi dan pendidikan.
Belajar dari Negara Lain
Pendekatan moderat seperti ini sudah lebih dahulu diterapkan oleh banyak negara Muslim:
Malaysia (JAKIM): Fokus sertifikasi halal pada makanan, minuman, dan obat. Produk non-pangan tidak diwajibkan, kecuali atas permintaan produsen. Turki dan Uni Emirat Arab: Menyasar pangan dan ekspor halal. Barang seperti pakaian atau alat rumah tangga tidak dibebani kewajiban sertifikasi.Â
Brunei Darussalam: Memprioritaskan halal pada industri kuliner dan layanan publik. Arab Saudi dan Qatar: Tidak mengenakan sertifikasi halal wajib untuk barang non-konsumsi. Â
Indonesia bisa belajar bahwa semangat halal tidak harus birokratis. Ia bisa bersifat edukatif, transparan, dan bertahap.
Berikan Ruang untuk Pemahaman
Pemerintah bersama BPJPH tidak harus mewajibkan sertifikasi halal untuk semua. Berikan ruang bagi pendekatan edukatif, bukan administratif.Â
Berikan kepercayaan kepada UMKM untuk jujur atas bahan yang digunakan, dan sediakan sistem self-declare halal yang mudah diakses.Â
Pihak MUI dan ormas-ormas Islam bisa digandeng untuk mendidik masyarakat. Cara ini barangkali akan lebih membuat kehadiran negara dan ulama sangat dirasakan.Â
Biarkan masyarakat yang menilai, bukan hanya berdasarkan label, tetapi dari informasi bahan yang disampaikan secara jujur. Sertifikat halal tetap penting untuk produk konsumsi, tetapi untuk barang non-pangan, pemahaman lebih penting daripada cap stempel.
Halal adalah prinsip hidup. Tapi prinsip ini akan kehilangan maknanya jika dijadikan beban prosedural yang tidak proporsional. Mari kembali ke esensi: kejujuran terhadap bahan dan segala yang kita gunakan, kesadaran syariat, dan perlindungan yang adil bagi warga negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI