Walaupun bukan ahli fiqih, sependek pengetahuan penulis, dalam hukum Islam, keharaman suatu benda tidak hanya ditentukan oleh asalnya, tetapi juga oleh sifat dan tujuannya.Â
Barang najis tidak otomatis haram digunakan, terutama jika tidak dikonsumsi secara langsung; tidak dipakai untuk ibadah; atau telah mengalami istihalah (perubahan total zat).
Sejumlah ulama besar, seperti Imam al-Qarafi, Ibn Taimiyah, hingga ulama kontemporer seperti Dr. Wahbah Zuhayli, menyatakan bahwa zat najis yang telah berubah secara total (istihalah tammah) menjadi zat baru yang suci dan boleh digunakan.
Contoh sederhananya: alkohol yang berubah menjadi cuka. Atau limbah najis yang menjadi pupuk organik. Maka, sangat tidak tepat jika semua barang yang pernah bersentuhan dengan unsur najis harus diwajibkan melalui prosedur sertifikasi halal yang panjang dan mahal.
Solusi Sederhana: Edukasi, Bukan Sertifikasi
Daripada mewajibkan semua produk non-pangan untuk bersertifikat halal, akan jauh lebih bermanfaat jika pemerintah menyusun dan menyosialisasikan daftar bahan haram/najis yang sering digunakan dalam industri non-pangan.
Daftar ini bisa mencakup, misalnya: lem dari babi; Enzim pelunak dari hewan tidak disembelih secara syar’i; Pewarna atau pelapis dari bahan najis
Pelaku usaha dapat diberi panduan untuk menghindari bahan tersebut, dan konsumen diberi pemahaman agar dapat bertanya atau memilih produk dengan lebih sadar. Tidak semua harus disertifikasi formal, cukup dengan transparansi dan pendidikan.
Belajar dari Negara Lain
Pendekatan moderat seperti ini sudah lebih dahulu diterapkan oleh banyak negara Muslim: