Sesekali motor melintas pelan. Selebihnya, hanya ada kami dan suara sendok mengaduk kopi.
Di kejauhan, azan subuh terdengar sayup, menggema di udara dingin.
Rasanya damai sekali --- momen di mana waktu seperti melambat, dan hati terasa penuh.
Kopi, Keluarga, dan Waktu yang Mengalir Pelan
Kami berbincang ringan. Istri saya melilitkan syal di leher sambil berkata, "Ini dinginnya Jogja yang asli." Anak-anak menggigil sedikit tapi tetap tersenyum, menikmati momen langka ini.
Tak ada agenda besar pagi itu, tak ada daftar tempat yang harus dikunjungi.
Hanya menunggu pagi bersama, dengan secangkir kopi, obrolan kecil, dan rasa syukur bahwa kami masih bisa menikmati perjalanan sederhana ini.
Kadang yang paling indah dari sebuah perjalanan bukanlah destinasi besarnya, tapi justru waktu jeda di antaranya --- saat kita berhenti, menghela napas, dan menikmati keheningan bersama orang-orang terdekat.
Menjelang Pagi
Menjelang pukul lima, langit mulai berwarna jingga. Pedagang kopi menutup termosnya dan bersiap kembali mengayuh sepedanya, mencari pelanggan lain yang baru bangun pagi. Kami pun berkemas perlahan, bersiap menuju penginapan.
Sebelum pergi, saya sempat menatap sekali lagi ke arah Tugu Jogja Kembali.
Dalam diamnya subuh, tugu itu seakan memberi pesan: "Selamat datang di Jogja, nikmatilah setiap detiknya --- bahkan yang paling sederhana sekalipun."
Catatan Kecil Perjalanan
Lokasi: Tugu Jogja Kembali (Monjali), Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY
Waktu kunjungan: 03.30 -- 05.00 pagi
Suasana: Sepi, dingin, dan tenang --- hanya terdengar suara motor sesekali melintas
Kopi subuh: Dari pedagang keliling dengan sepeda, disajikan hangat dengan gorengan sederhana