Â
Dalam beberapa waktu terakhir, kabar mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan besar, seperti Gudang Garam yang melakukan perampingan tenaga kerja di sejumlah lokasi, kembali membuat banyak orang cemas.Â
PHK memang selalu menjadi isu sensitif karena berkaitan dengan keberlangsungan hidup para pekerja. Bagi yang mengalaminya langsung, PHK bisa menjadi pukulan berat secara finansial maupun mental.Â
Namun, yang menarik, rasa takut terhadap ketidakstabilan keuangan sering kali juga dialami oleh mereka yang sebenarnya masih berada dalam kondisi finansial aman.
Fenomena inilah yang belakangan disebut dengan istilah money dysmorphia. Istilah ini merujuk pada kondisi ketika seseorang selalu merasa kurang secara finansial, meskipun sebenarnya situasi ekonominya baik-baik saja.Â
Layaknya cermin yang memantulkan bayangan tidak sesuai realita, orang dengan money dysmorphia memandang kondisi keuangannya dengan cara yang keliru.Â
Ia terus merasa defisit, padahal faktanya ia mampu memenuhi kebutuhan bahkan masih bisa menabung.Fenomena ini bukan hanya sekadar perasaan sesaat.Â
Ia bisa berdampak serius, membuat seseorang hidup dalam lingkaran kecemasan, melakukan konsumsi berlebihan hanya demi pengakuan, atau justru terlalu menahan diri sampai tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya.Â
Pertanyaan pentingnya, mengapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya?
Tekanan Sosial yang Menggerus Rasa Cukup
Salah satu penyebab utama money dysmorphia adalah tekanan sosial. Sejak dulu, manusia cenderung hidup dalam kerangka penilaian orang lain.Â
Namun, di era modern, penilaian itu semakin intens karena hadirnya media sosial, gaya hidup serba cepat, dan standar kesuksesan yang terus berubah.