Pernahkah kamu merasa bahwa waktu 24 jam dalam sehari tidak pernah cukup untuk menyelesaikan semua yang harus kamu lakukan? Saat satu pekerjaan selesai, kamu langsung disambut oleh pekerjaan lain yang sudah menunggu.Â
Hari-harimu berlalu di depan laptop, berpindah dari satu rapat virtual ke rapat berikutnya, mengejar deadline demi deadline, dan bahkan saat malam tiba pun, notifikasi dari gadget terus berbunyi.Â
Waktu istirahat terasa semakin langka, dan hubungan sosial pun kian memudar.
Sekilas, kamu terlihat seperti sosok yang produktif. Tapi di balik semua itu, tubuhmu kelelahan, pikiranmu penat, dan hatimu kosong.Â
Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi bisa jadi kamu sedang terjebak dalam apa yang disebut sebagai hustle culture, sebuah budaya yang menormalisasi kerja berlebihan, menomorsatukan produktivitas di atas segala hal, dan menjadikan kelelahan sebagai lambang keberhasilan.
Dalam hustle culture, kamu didorong untuk terus bergerak, terus bekerja, terus mencetak hasil, seakan hidup ini adalah kompetisi yang tak pernah boleh berhenti. Tapi sampai kapan kamu bisa bertahan seperti itu?
Self Care dan Jadwal yang Jelas Adalah Hak, Bukan Kemewahan
Bekerja adalah tanggung jawab, dan tentu saja tidak bisa dihindari. Tapi bekerja tanpa henti, apalagi melampaui batas waktu normal, adalah bentuk kekerasan terhadap diri sendiri yang kerap tak disadari.Â
Banyak dari kita yang menghapus waktu istirahat hanya demi mengejar target kerja, bahkan ketika hari libur seharusnya menjadi waktu untuk mengisi ulang tenaga dan semangat.
Di sinilah pentingnya untuk menetapkan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Jangan biarkan jadwal pekerjaan mengambil alih seluruh hidupmu.Â
Merawat diriatau "self care" bukan hanya soal memanjakan tubuh, tetapi juga memberi ruang bagi kesehatan mental.Â
Kamu berhak untuk sekadar rebahan tanpa rasa bersalah, menikmati hobi, bertemu teman-teman, atau bepergian untuk menyegarkan pikiran.
Mengatur waktu dengan baik dan disiplin pada jadwal istirahat bukan berarti kamu malas atau tidak ambisius.Â
Justru itu tanda bahwa kamu menghargai dirimu sendiri. Kehidupan yang seimbang adalah pondasi produktivitas yang berkelanjutan.
Temukan Makna Keberhasilan Versi Dirimu Sendiri
Sering kali, tekanan dalam hustle culture muncul dari perbandingan sosial.Â
Kita melihat orang lain yang tampaknya selalu sukses, selalu sibuk, selalu tampil hebat di media sosial. Lalu, kita merasa harus mengikuti ritme mereka. Padahal, setiap orang punya kapasitas, konteks, dan prioritas yang berbeda.
Apa arti keberhasilan buatmu? Apakah itu berarti mendapatkan promosi? Mencapai omzet tertentu? Atau justru mampu pulang tepat waktu dan tetap punya energi untuk bertemu keluarga?
Tak ada jawaban yang benar atau salah, karena keberhasilan itu bersifat personal. Maka dari itu, penting untuk mendefinisikan keberhasilan versi kamu sendiri. Jangan memaksakan diri mengikuti standar orang lain.Â
Misalnya, jika kamu seorang pebisnis, kamu tidak harus mempromosikan produkmu setiap jam tanpa jeda. Tentukan target harian yang realistis dan beri ruang untuk istirahat.
Jangan merasa bersalah jika kamu butuh jeda. Istirahat bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari strategi agar kamu bisa terus bertahan dan berkembang.Â
Jika di tengah hari kamu merasa jenuh, tak ada salahnya untuk berjalan sejenak keluar kantor, mencari udara segar, atau sekadar duduk diam tanpa suara.Â
Itu semua adalah bentuk perhatian terhadap kesehatan mental yang kerap terabaikan dalam dunia kerja modern.
Saatnya Berani Bertemu Profesional
Jika kamu sudah mencoba banyak cara untuk mengatur waktu, beristirahat, menetapkan batasan, namun tetap merasa lelah secara emosional, mungkin sudah saatnya kamu bicara dengan profesional.Â
Konsultasi ke psikolog bukan tanda bahwa kamu lemah atau gagal mengatasi masalah sendiri. Justru itu langkah berani dan bijak untuk menjaga kesehatan mentalmu.
Kamu bisa mulai dengan berdiskusi bersama orang terdekat, namun untuk mendapatkan pandangan yang objektif dan tidak bias, kehadiran seorang profesional sangat dibutuhkan.Â
Psikolog dapat membantumu melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, memberikan saran yang sesuai dengan kondisimu, dan membantumu memetakan langkah-langkah yang lebih sehat ke depan.
Budaya hustle sering kali membuat kita merasa harus mandiri dalam segala hal. Tapi pada kenyataannya, kita semua butuh bantuan. Mengakui itu adalah bentuk kekuatan.
Berani Menentukan Prioritas dan Menghargai Diri
Salah satu tantangan terbesar dalam melawan hustle culture adalah berani berkata "tidak."Â
Terutama ketika kamu berada dalam lingkungan kerja yang tidak memiliki batasan waktu yang jelas, seperti membalas chat kerja di malam hari atau saat libur. Padahal, tidak ada manusia yang bisa selalu tersedia 24/7. Kita bukan robot.
Menentukan prioritas artinya kamu tahu apa yang paling penting untukmu saat ini. Jika kamu sedang menikmati waktu libur, maka itu adalah prioritas.Â
Tidak perlu merasa bersalah karena tidak membalas pesan di luar jam kerja. Jika memang ada hal mendesak, kamu bisa komunikasikan dengan baik. Tegas bukan berarti kasar. Kamu tetap bisa menyampaikan batasanmu dengan santun dan profesional.
Di sinilah kamu ditantang untuk berani berdiskusi dengan rekan kerja, bahkan dengan atasanmu, jika perlu.Â
Jika ada aturan yang tidak masuk akal dan mengganggu waktu istirahatmu, kamu berhak untuk bertanya dan menyuarakan pendapat. Bukan untuk membangkang, tapi untuk menjaga hakmu sebagai pekerja dan sebagai manusia.
Rasa takut dianggap pemalas, tidak suportif, atau tidak loyal, sering kali menjadi penghalang.Â
Tapi kamu juga perlu melihat kenyataan: jika kamu terus memaksakan diri, lalu jatuh sakit, siapa yang akan menanggung semua beban itu?Â
Ujung-ujungnya, kamu sendiri yang akan rugi, dan pekerjaan pun tidak akan selesai sebagaimana mestinya.
Evaluasi: Apakah Lingkungan Kerjamu Masih Sehat?
Semua upaya menjaga keseimbangan ini pada akhirnya membawamu pada satu pertanyaan penting: apakah tempat kerja saat ini memang layak untuk kamu pertahankan?Â
Jika budaya hustle sudah menjadi norma yang tidak bisa diganggu gugat, jika segala batasanmu tidak dihargai, jika kesejahteraan mental dan fisikmu terus dikorbankan demi target dan produktivitas semu, maka mungkin sudah saatnya kamu mengevaluasi ulang.
Meninggalkan pekerjaan bukanlah keputusan mudah, dan tentu tidak bisa dilakukan secara impulsif.Â
Tapi kamu tetap punya hak untuk mencari ruang kerja yang lebih sehat, yang menghargai keseimbangan hidup, dan yang memperlakukan karyawan sebagai manusia, bukan mesin produksi.
Pertimbangkan secara matang, siapkan rencana, dan cari peluang dengan bijak. Jangan merasa bersalah jika kamu memilih untuk melindungi diri sendiri.
Penutup: Produktivitas Bukan Segalanya
Hustle culture sering menjebak kita pada narasi bahwa kesibukan adalah ukuran nilai diri. Padahal, hidup tidak harus selalu cepat, tidak selalu tentang target, dan tidak selalu soal hasil.Â
Kadang, yang kita butuhkan hanyalah berhenti sejenak, mendengarkan diri sendiri, dan bertanya: "Apakah aku benar-benar bahagia dengan cara hidupku saat ini?"
Kamu bukan pemalas hanya karena ingin istirahat. Kamu tidak egois hanya karena ingin menjalani hobi. Kamu tidak gagal hanya karena tidak selalu sibuk.Â
Yang kamu lakukan adalah merawat dirimu sendiri, dan itu adalah hal paling penting agar kamu bisa tetap sehat, bahagia, dan terus berkembang, tanpa harus kehilangan dirimu di tengah hiruk-pikuk dunia kerja.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI