Ya jelas dua-duanya gagal! Tapi kalau ujiannya "Siapa yang paling jago nangkap tikus?", kucing menang telak! Kalau ujian renang? Ya sudah pasti ikan menang!
Tapi kalau tetap dipaksa, kucing malah frustrasi dan ikan stres berkepanjangan. Nah, kira-kira seperti itulah yang terjadi di dunia pendidikan kita. Sistem sekolah sering kali masih menilai anak-anak dengan cara yang seragam, padahal tiap anak punya kelebihan yang berbeda.
Kalau Thomas Alva Edison saja dulu hampir dianggap idiot, gimana anak-anak kita?
Bayangkan kalau Edison hidup di zaman sekarang. Bisa-bisa dia sudah didiagnosis sebagai "anak susah fokus", "kurang perhatian di kelas", atau "tidak memenuhi standar pembelajaran abad ke-21".
Lalu solusinya apa?
Disuruh ikut les tambahan!
Padahal, kalau anak nggak suka matematika, les matematika sebanyak apa pun tetap saja nggak akan bikin dia jadi Einstein!
Atau, kalau anak lebih suka menggambar daripada menghafal rumus, kita malah bilang, "Menggambar itu cuma hobi, Nak! Masa depanmu ditentukan oleh matematika dan IPA." Lha, kalau begitu, Leonardo da Vinci nggak akan pernah jadi terkenal sedunia!
Jangan-jangan, di rumah kita ada calon penemu hebat, musisi jenius, atau atlet berbakat, tapi bakatnya tenggelam karena kita sibuk ngecek nilai raportnya doang.
Makanya, penting banget buat orang tua dan guru untuk mengenali kecerdasan tersembunyi anak sejak dini. Jangan cuma lihat angka di raport, tapi lihat juga bakat aslinya.
Nah, solusinya?