Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Harga Diri

23 Juni 2021   22:01 Diperbarui: 23 Juni 2021   22:05 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Harga Diri

Hujan masih belum reda. Sementara petir terus menyambar memecah kegelapan malam yang pekat. Jalanan sepi. Seorang lelaki setengah baya tampak berjalan dengan mengendap-ngendap melewati semak-semak. Mata liarnya sesekali melihat sekelilingnya dengan penuh kewaspadaan. 

Saat tiba dibelakang rumah, pintu belakang rumah yang menghadap ke hutan kecil itu diketuknya. Seorang membukanya. lalu menarik tangan lelaki setengah baya itu yang tampak berkeringat. Dengan tangan gemetar, lelaki setengah baya itu menutup pintu itu dengan rapat. Lalu mengunci. 

Wajahnya terlihat sumringah. Ada segurat kebahagian yang mengalir dari sekujur tubuhnya bercampur dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya.  Sementara perempuan, sang empunya rumah mematikan ruang tamunya, sehingga terlihat remang-remang. Lalu menghampiri tamunya yang duduk dengan kaki berselonjoran diatas kursi.

" Gampangkan cara masuk ke rumah ini," ujar wanita pemilik rumah dengan nada manja sembari merebahkan diri di kursi tamu itu.

" Sungguh mati, Aku gugup. Takut dilihat orang Kampung," jawab lelaki itu.

" Apakah karena baru pertama kali,ya," tanyanya

Wanita, sang pemilik rumah tertawa kecil. 

" Bapak tentunya capek habis kerja seharian di Kantor. Melayani warga dengan segala tetek bengek persoalannya," ujar wanita itu.

" Tidurlah. Beristirahatlah dan aku harap Bapak betah beristirahat di sini," lanjutnya.

Usai mengikat perahunya di pinggir pantai, Matkayu segera melangkah menyusuri jalan pulang ke rumahnya. Siulan terus digemuruhkannya dari mulutnya. Siulan itu menyenandungkan sebuah lagu yang bernada riang. Bagaimana tidak riang hati nelayan itu, hasil tangkapan malam ini sungguh melimpah ruah. 

" Kalau tiap malam tangkapan ikan ku seperti ini, apa yang diiinginkan istriku akan tercapai," gumamnya sembari mulutnya terus bersiul.

Dalam beberapa hari ini, istrinya minta dibelikan televisi.

" Aku kan tiap malam sendirian di rumah. Sepi.  Tak ada teman. Nah, kalau ada televisi, aku bisa nonton acara televisi sebelum tidur," rengek istrinya.

" Insya Allah. Kamu doakan saja, agar hasil tangkapan ikan ku banyak terus," ujar Matkayu.

" Janji, ya," ujar istrinya.

Matkayu mengangguk.

Tiba-tiba, hati Matkayu berdebar saat tiba di halaman rumahnya. Lelaki yang berprofesi sebagai nelayan itu melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. 

Dengan langkah kaki perlahan, dia masuk ke dalam rumah. Dan dari arah kamar tidurnya, kupingnya mendengar suara desahan. Mendengar itu dada Matkayu terasa sesak. Tangannya tiba-tiba genetar. Sementara seluruh tubuhnya berkeringat. 

Brukk...

Matkayu menendang pintu kamar tidurnya dengan sangat keras. Dan pintu terbuka lebar. Tampak oleh matanya, istrinya sedan bersama seorang lelaki yang amat dikenalnya. Ya, lelaki itu pemimpin Kampungnya. 

Matkayu mendekati ranjang tidurnya. Dan dengan satu sabetan dari parang pemotong ikan yang terselip di pinggangnya, keduanya langsung terkapar dengan penuh darah. Sementara teriakan minta tolong terdengar dari dalam kamar tidurnya.

Beberapa warga kampung yang hendak menuju masjid untuk melakasanakan sholat subuh dan melewati rumah Matkayu, seketika langsung berhenti saat mendengar jeritan suara minta tolong dari dalam rumah itu.

" Ada apa, ya? Ayo kita mendekat. Tampaknya butuh pertolongan," ajak seorang warga kepada warga lainnya. 

Mereka pun memasuki halaman rumah Matkayu. Seketika Matkayu keluar dari rumahnya dengan baju yang penuh darah. Para warga kaget.

" Aku telah membunuh istriku dan Pak Pemimpin Kampung kita," ujarnya dengan nada suara dingin.

" Aku akan segera ke kantor polisi dan menyerahkan diri," lanjutnya semabri meninggalkan kerumunan warga di halaman rumahnya.

Suara azan subuh telah berkumandang dengan indahnya. Relegiuskan alam semesta. Para jemaah pun menyegerakan diri sholat subuh berjemaah di masjid kampung. 

Usai para warga selesai sholat Subuh dan berangsur-angsur hendak meninggalkan masjid, tiba-tiba tetangga Matkayu berlari kecil ke arah para jemaah dengan nafas yang terengah-engah.

" Ada apa?," tanya Imam Masjid.

" Saya diperintah oleh Pak RT untuk menyampaikan berita duka," ujarnya.

" Siapa yang meninggal dunia," tanya Pak Imam Masjid lagi.

" Pak Kepala Kampung dan istrinya Matkayu," jelasnya.

" Innalillahi Wainnalillahi Rojiun," ujar Pak Imam Masjid secara serempak bersama para jemaah masjid.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun