Cerpen : Harga Diri
Hujan masih belum reda. Sementara petir terus menyambar memecah kegelapan malam yang pekat. Jalanan sepi. Seorang lelaki setengah baya tampak berjalan dengan mengendap-ngendap melewati semak-semak. Mata liarnya sesekali melihat sekelilingnya dengan penuh kewaspadaan.Â
Saat tiba dibelakang rumah, pintu belakang rumah yang menghadap ke hutan kecil itu diketuknya. Seorang membukanya. lalu menarik tangan lelaki setengah baya itu yang tampak berkeringat. Dengan tangan gemetar, lelaki setengah baya itu menutup pintu itu dengan rapat. Lalu mengunci.Â
Wajahnya terlihat sumringah. Ada segurat kebahagian yang mengalir dari sekujur tubuhnya bercampur dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya. Â Sementara perempuan, sang empunya rumah mematikan ruang tamunya, sehingga terlihat remang-remang. Lalu menghampiri tamunya yang duduk dengan kaki berselonjoran diatas kursi.
" Gampangkan cara masuk ke rumah ini," ujar wanita pemilik rumah dengan nada manja sembari merebahkan diri di kursi tamu itu.
" Sungguh mati, Aku gugup. Takut dilihat orang Kampung," jawab lelaki itu.
" Apakah karena baru pertama kali,ya," tanyanya
Wanita, sang pemilik rumah tertawa kecil.Â
" Bapak tentunya capek habis kerja seharian di Kantor. Melayani warga dengan segala tetek bengek persoalannya," ujar wanita itu.
" Tidurlah. Beristirahatlah dan aku harap Bapak betah beristirahat di sini," lanjutnya.
Usai mengikat perahunya di pinggir pantai, Matkayu segera melangkah menyusuri jalan pulang ke rumahnya. Siulan terus digemuruhkannya dari mulutnya. Siulan itu menyenandungkan sebuah lagu yang bernada riang. Bagaimana tidak riang hati nelayan itu, hasil tangkapan malam ini sungguh melimpah ruah.Â