Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Empat Musim

20 September 2020   19:07 Diperbarui: 20 September 2020   19:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berapa banyak airmata yang bisa ditampung bumi. Saat mata air mengering secepat padamnya api. Di puncak musim penghujan. Pada masa ketika cuaca seringkali bertukar tempat. Dengan isi otak yang mampat.

Berapa juta ton plastik menggantikan ubur-ubur kotak. Mengambang di lautan yang kehabisan riak. Saat perahu nelayan terdampar di buritan pulau. Menunggu. Hingga purnama menyusut. Menyusul langkah kegelapan. Saat itulah mereka bisa menangguk ikan. Untuk sekali makan.

Musim dingin lalu dipanasi oleh sekian banyak tungku. Dari pabrik-pabrik raksasa yang membakar langit. Setiap harinya. Saat orang-orang menikmati segala ingin. Sambil duduk di ruangan berpendingin.

Musim gugur adalah saat yang tepat untuk menggali lubang kubur. Bagi kematian hutan dan segala perabotnya. Menjadi sebuah pesta. Dari sekian banyak upacara. Memperingati arus zaman. Ketika dunia perlahan kehilangan peradaban.

Musim panas menyengat dengan dahsyat. Mencairkan sejarah masa lalu. Dari gunung-gunung es beku. Terapung dan pecah. Seiring hati yang terbelah.

Musim hujan menghujani tundra. Bukan lagi menumbuhkan kayu Ara. Air bah dilepas dari busurnya. Seperti gendewa di padang Kurusetra.

Bogor, 20 September 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun