Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Wayahe Nandur Srengenge

1 Januari 2020   10:55 Diperbarui: 2 Januari 2020   07:01 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isuk-isuk ngene. Wes wayahe nandur srengenge. Ing pelataran kang kademen. Amergo udane ora lerem-lerem.

Aku bakal ngrabuk wohing jeruk nipis. Nganggo esemmu sing paling manis. Kowe kuwi angin semribit. Kang tak gandeng dadi sarimbit.

Wis pirang-pirang ukara aku nulisake udan kang andum cerita. Anoman kang ngobong Alengka, Rahwana kang tresnane nyundul langite rasa Dewi Shinta, Ugo Sri Rama kang crigis marang sak kabehane perkara.

Wis pirang-pirangane udan tak pendem ing geguritan. Dadi padang kurusetra nalika angkara lan kabecikan nandang ontran-ontran. Podo karo sliramu kang isih setio nyimpen sisane kenangan. Kanggo lawuh sarapan.

Lungguho kene. Aku wis kasil nangkep srengenge. Saiki dudu mung pelataran kang kademen. Nanging sliramu tak tamatne yo digegem rasa njarem.

Bogor, 1 Januari 2020

-----

Saatnya Menanam Matahari

Pagi seperti ini. Saat yang tepat menanam matahari. Di halaman yang kedinginan. Karena hujan datang tanpa jeda maupun perhentian.

Aku akan memupuk tanaman jeruk nipis. Menggunakan senyummu yang paling manis. Kamu adalah angin yang bergerak lirih. Akan aku dekap untuk menghilangkan rasa pedih.

Sudah berapa banyak kata tentang hujan yang berbagi cerita. Hanoman yang membakar Alengka, Rahwana yang cintanya hingga menggapai langit rasa Dewi Shinta, juga Sri Rama yang bergaduh dengan sekian banyak perkara.

Sudah berapa banyak hujan yang jadikan rahim puisi. Menjadi padang Kurusetra tempat peperangan antara angkara dengan kebaikan janji. Sepertimu yang masih setia menyimpan kenangan. Sebagai salah satu menu utama sarapan.

Duduklah di sini. Aku telah berhasil menangkap matahari. Sekarang bukan hanya halaman yang kedinginan. Namun dirimu terlihat menggigil dalam irama kebekuan.

Bogor, 1 Januari 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun