Aku berada di simpang malam. Tepat di bawah rembulan yang patah. Dan ketika langit tergelincir di mendung yang licin.
Gelap, hanyalah cahaya yang sedang disembunyikan. Oleh waktu. Sebelum nanti matahari kembali memenuhi janji. Menyeberangi ufuk, memenuhi titi wanci.
Tidak terdengar perbincangan. Karena semua mulut dikunci dinihari. Menjadi filosofi ketenangan. Di mana percakapan sama sekali tak dibutuhkan.
Hanya suara-suara bisikan. Dihembuskan angin dari delapan penjuru. Menembus ruang-ruang sunyi. Menjadi nyanyian yang lebih rupawan. Dibanding orkestra manapun yang paling menawan.
Di sinilah, diam menjadi maharaja. Menguasai kerajaan cinta. Di wilayah-wilayah tanpa peta.
Serangkaian gumam, perlahan menguar di sudut-sudut mushola. Manakala satu dua orang. Terbangun dari amnesia. Lalu mengingat Tuhannya.
Aku lantas berada di ujung malam. Tepat di bawah rembulan yang telah sempurna ditambal. Menggunakan cahaya bintang-bintang yang tanggal. Dan langit kembali berdiri tegak. Menyambut segenap doa-doa. Di pelatarannya yang berundak.
Aku ingin terlelap. Sambil mendekap jam dinding. Agar cepat terjaga. Dari amnesia. Yang nyaris saja melupakan segalanya.
Bogor, 30 Desember 2019