Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Belantara Hujan di Rimba Tak Bertuan

14 Desember 2019   03:59 Diperbarui: 14 Desember 2019   04:04 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Tuan, hujan sudah tiba di beranda. Haruskah kita mengajaknya berbincang mengenai genangan yang tercipta hingga mendekati anak tangga? Halaman depan tempat menyimpan kenangan sudah penuh dengan serasah basah. Sedangkan halaman belakang yang kita gunakan untuk menyembunyikan kekacauan tertutupi lumpur pekat yang membelasah.

Tuan, hujan meminta segelas teh pahit untuk membasahi tenggorokannya yang katanya terasa begitu kehausan. Perjalanan yang ditempuhnya teramat panjang. Harus melalui partikel udara yang kesepian, langit yang dipenuhi keraguan, juga potongan kecil angin yang bergerak tak beraturan.

Tuan, bertahun-tahun kita berjanji untuk menyusuri jejak-jejak belantara hujan. Kita juga bersumpah untuk menumbuhkan pepohonan agar hujan yang jatuh tidak terluka. Hujan yang tersayat tubuhnya nyaris tak punya guna. Namun jika sempat hujan tersangkut di dedaunan, maka manfaatnya akan menjadi sangat paripurna.

Atau mestikah kali ini kita menipunya Tuan?

Kita bisa bercerita bahwa semua baik-baik saja. Cuaca seperti apapun juga sanggup kita cerna karena kita begitu sempurna.

Kemarau dan kekeringannya adalah tungku tempat kita menjerang rasa dingin yang beku. Hujan dan segala amuk badainya adalah pancuran kecil tempat kita berwudu dan mengenang sekian banyak masa lalu.

Kita tidak punya musim gugur. Kita juga tak ada musim salju yang bisa membuat pikiran kita berseluncur. Jadi tak perlu bersusah payah tenggelam dalam kegelisahan. Kita hanya punya dua musim yang perlu dicemaskan.

Tapi tentu kita tidak benar-benar cemas bukan, Tuan?

Bukankah kita disebut yang dipertuan karena kita terkenal pintar sekali menyimpan alasan?

Meskipun sesungguhnya kita tak lebih dari sesosok bajingan.

Pontianak, 13 Desember 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun