Di sebuah tempat yang lengang. Malam larut dalam ruang senggang. Suara-suara yang terdengar adalah percakapan antara pohon cemara dan kegelapan yang mengelilinginya. Sebagian berupa bisikan. Memperbincangkan langit yang sedang jatuh cinta.
Di sebelahnya. Pokok kamboja memunguti kegelapan yang tercecer di antara bunga-bunga yang luruh ke tanah basah bekas hujan sesorean. Aroma yang disiarkan seperti berita-berita menyenangkan yang dibacakan oleh wanita cantik di televisi. Tentang cuaca cerah, pantai yang ramah, dan program selamat tinggal gelisah.
Di kota besar, langkah-langkah kecil orang sangat kecil ada di mana-mana. Bersepeda menyusuri jalanan, sembari menghindar dari tumpukan sisa galian. Berbagai macam judul kopi sasetan, termos yang nyaris karatan, dan segala macam merk minuman menggelayut di stang sepeda seolah anak-anak balita yang memegangi leher ibundanya.
Sementara puncak dinihari makin mendekat dengan membawa sekian banyak filosofi. Bagaimana cara terbaik untuk menghindari sunyi, dan juga seperti apa cara terhebat untuk tidak terjebak dalam situasi harakiri.
Di tempat lain. Mungkin. Malam hanyut di wilayah-wilayah yang mampat. Suara-suara yang terdengar adalah perbincangan penat antara menara kaca yang tak bisa untuk berkaca dengan lampu-lampu yang cahayanya nampak begitu pekat.
Tidak ada lagi percakapan tentang langit yang jatuh cinta. Karena ada kabar bahwa hatinya sedang patah akibat hujan yang tak kunjung tiba.
Jakarta, 21 November 2019