Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melalui Buku-buku, Aku Berdamai dengan Waktu

23 Agustus 2019   16:11 Diperbarui: 23 Agustus 2019   16:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melalui buku-buku, aku menuliskan bagaimana Sun Tzu menyarankan kepadaku agar tak perlu berperang melawan masa lalu. Menurutnya aku harus lebih menata hati dan mata agar bisa melakukan strategi desa mengepung kota.

Aku sungguh menyukainya. Aku dilahirkan di sebuah lembah sepi yang dijahit rapi oleh pepohonan kopi. Dari lembah itulah aku sempat mengatakan bahwa sepi adalah keramaian yang dihukum mati. Sedangkan keramaian itu tak lebih dari rasa sepi yang tergesa-gesa menyalakan api.

Aku pergi ke kota hanya untuk meletakkan sebanyak-banyaknya tanda tanya yang aku sudah tahu jawabannya. Sebuah retorika yang aku letakkan di kantong celana. Kapan saja bisa aku buang. Sampai habis semua idiom tentang ketelanjangan.
-----
Melalui buku-buku yang aku baca, aku juga coba berbincang dengan Emha. Bersetuju dengan filosofinya tentang jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tak bisa dibawa mati. Karena pada akhirnya juga kita tak sanggup membawa tanda mata apa-apa. Di lubang sempit yang ruangnya hanya bisa dibagi berdua. Kita dan malaikat yang membawa cemeti di tangannya.

Emha juga mengingatkan secara samar; Kepandaian adalah kelicikan yang menyamar, kebodohan adalah kebaikan yang bernasib buruk.

Aku harus membenturkan kepala ke tubuh senja yang sedang terpuruk. Mencoba memahami agar menjadi pandai seketika, tapi gagal seketika itu juga. Lalu aku merasa sebagai orang bodoh yang ingin menjadikan rembulan sebagai peliharaan. Dan aku berpikir kalau aku bernasib baik karena rembulannya bisa aku tanam di pelataran. Dalam wujud cinta yang tak berkesudahan.

Jadi dalam hal ini aku membantahmu wahai Mpu. Mudah-mudahan kita bisa didamaikan oleh waktu.

Jakarta, 23 Agustus 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun