Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Luka] Hati Belantara yang Terkapar

11 November 2018   11:33 Diperbarui: 11 November 2018   11:40 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://alamendah.org


Sebatang lagi pohon tumbang. Maka lengkaplah upacara kematian hari ini. Tadi pagi Meranti. Menjelang siang pokok Mersawa. Bila bilah tajam gergaji itu menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka matilah juga pohon Ara.

Ibu belantara melihat semuanya dengan hati terluka. Apalagi dia melihat sesuatu yang mencekam. Di antara dahan besar terakhir pohon Ara itu terdapat sarang Orang Utan. Sarang yang juga barangkali yang terakhir di belantara ini.

Setiap harinya. Selalu ada upacara kematian. Ibu belantara harus selalu merelakan anak-anaknya bertumbangan, cedera, terkapar, menggelepar.

Setiap harinya. Doa-doa Ibu belantara membubung menaiki undak-undakan langit. Bukan agar tak ada lagi kematian. Tapi doa-doa yang dikirimkan supaya bumi masih sanggup menyangga banyak kuburan. Kematian tak terelakkan. Tapi ada batas untuk banyaknya jumlah kuburan.

----

Ibu belantara maklum bahwa zaman itu berlarian. Kadang berlompatan. Meninggalkan jejak-jejak peradaban yang seringkali terhuyung-huyung mengikuti kecepatannya.

Manusia sebagai penguasa diberikan keleluasaan untuk menyetir peradaban. Memenuhi semua hajat hidupnya. Memenuhi segala kebutuhannya.

Pada awalnya semua baik-baik saja. Manusia menggantungkan hidup dari hutan secukupnya. Mengambil rotan, memanen buah dan umbi-umbian, juga membangun rumah tak sampai di bibir hutan. Manusia lebih menyukai bergerombol di pinggiran kali.

Tapi semuanya berubah ketika manusia beranak pinak secepat Lebah. Bertingkah polah seberantakan kawanan Hyena. Kebutuhan yang begitu melonjak membuat manusia seserakah Piranha. Semua dihabiskan. Semua diluluh lantakkan.

Hutan seolah barang receh bagi manusia. Uang kembalian yang tak apa-apa jika diabaikan. Dalam waktu yang tak terlalu lama, mendadak hutan nyaris menjadi sejarah. Ditulis secara berdarah-darah.

Banyak sekali kematian yang tidak diupacarakan. Di sinilah Ibu belantara mulai terluka. Oleh sebab itu, dengan sekuat tenaga Ibu belantara mengadakan upacara setiap ada anaknya yang mati. Hewan maupun tumbuhan. Mata air maupun telaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun