Sepenuh hati. Â Perempuan itu mengasuh airmatanya sendiri. Â Setelah sekian lama membiarkannya menjadi dewasa. Â
Tanpa pengawasan atau perhatian secukupnya. Â Dibiarkan begitu saja. Â Terlunta-lunta. Â Lantas semena-mena. Â Menobatkan diri sebagai penguasa. Â Atas segala aniaya.
Selama ini airmata itu mengalir bukan atas kehendak tuannya. Â Bukan pula atas perintah luka atau nestapa. Airmata itu seolah menjadi simbol kuda troya bagi Yunani. Teruntuk sepi. Menyembunyikan pasukan kematian yang akan menghukum jika sedih semakin tak bertepi. Â Pada puncaknya sunyi.
Mengasuh airmata seperti memelihara ratapan. Menggerungkan bahagia ada di mana, namun tak sadar jika ternyata bahagia itu ada di belakangnya, dalam bentuk masa silam. Di sampingnya, dalam wujud keinginan. Dan di depannya, dalam sosok harapan.
Di suatu ketika saat menemukan bahagia, perempuan itu akhirnya tahu cara yang istimewa untuk mengasuh airmata. Sederhana saja rupanya. Â Tinggal melahirkannya di saat yang tepat. Â Merawatnya dengan alasan yang kuat. Â Membesarkannya dengan khidmat. Â Membanjirkannya jika memang khianat.Â
Tapi tidak bagi airmata yang pada akhirnya menjadi tiran bagi kehidupan. Menuntunnya selalu pada kegelapan. Â Lantas membuta begitu rupa. Â Meski dia mengasuhnya dengan kebesaran cinta.
Bogor, 23 September 2018